Friday, 15 January 2016

PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TENTANG PENGHAPUSAN HUKUMAN TA’ZIR

Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Penghapusan Hukuman Ta'zir
Oleh: Muhammad Habib & Mikel Armando


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan (halal), dengan perbuatan yang disalahkan (haram). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu di dalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah:
      1.            Apa yang dimaksud dengan Hapusnya hukuman di kalangan fuqoha’ ?
      2.            Hukuman apa saja yang di hapuskan menurut fuqoha’ ?
      3.            Apa saja sebab-sebab hapusnya hukuman ta’zir menurut fuqoha’ ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
1.      Untuk Mengetahui hapusnya hukuman ta’zir di kalangan ulama fiqh,
2.      Untuk mengetahui alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.[1]
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.[2]
B.     Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a.       Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan al-Hadits. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
·         Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
·         Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.
b.      Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu:
·         Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayru muhshan.
·         Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang sudah dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
·         Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
·         Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.
Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a)      Jarimah Hudud,
b)      Jarimah Qishash
c)      Jarimah Ta’zir

C.    Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a)      Meninggalnya Pelaku
b)      Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c)      Tobatnya pelaku
d)     Perdamaian
e)      Pengampunan
D.    Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.
1)      Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
·         Jarimah Hudud.
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
·         Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan.
·         Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
·         Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
·         Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum menikah, dirajam sampai mati pada penzina yg sudah menikah.
·         Hukuman rotan 80 kali kepada orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
·         Rotan 80 kali untuk peminum arak

2)      Hukuman yang bisa dihapuskan
a.      Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
·         Pembunuhan sengaja
·         Pembunuhan semi sengaja
·         Pembunuhan keliru
·         Penganiayaan sengaja
·         Penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an-nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta. Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
b.      Jarimah Ta’zir.       
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash).
Abd Qodir Audah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
      1.            Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al-fi’li, fi al-fa’il, maupun fi al-mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
      2.            Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
      3.            Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah penguasa atau imam, namun diperkenankan pula untuk:
a)      Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
b)      Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah.
c)      Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apabila istrinya melakukan nusyuz.[3]
Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman-hukuman ta’zir antara lain:
      1.            Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.
      2.            Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
      3.            Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dalam hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah yang berbahaya. Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.
      4.            Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
      5.            Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah.”
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Para ulama mazhab berpendapat di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tempat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[4]
      6.            Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”
      7.            Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya beserta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
3)      Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
1.      Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.
Pertama, paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya.
Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan.
Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya.
Keempat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.
2.      Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqih ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3.      Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih. Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.
4.      Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali, dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikir dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kedua perkara tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir. Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jenis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan


DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut
Ali, Zaimudin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Ash-Shon’ani. Subulussalam Syarah Bulughul Maram.  Juz. 7
Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press,Hal. 76
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989
________________________________
  #makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang


[1] Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
[2] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut
[3] Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Ash-Shon’ani. Subulussalam Syarah Bulughul Maram. Juz. 7
[4] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press,Hal. 76
loading...