Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Penghapusan Hukuman Ta'zir
Oleh: Muhammad Habib & Mikel Armando
Oleh: Muhammad Habib & Mikel Armando
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia.
Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain
manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu
oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan
akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara
perilaku yang dibenarkan (halal), dengan perbuatan yang disalahkan (haram). Di
dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya
preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam
makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai
dengan perbuatannya itu. Maka dari itu di dalam makalah ini akan dibahas
mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi
macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan
muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang
akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Hapusnya hukuman di kalangan fuqoha’ ?
2.
Hukuman
apa saja yang di hapuskan menurut fuqoha’ ?
3.
Apa
saja sebab-sebab hapusnya hukuman ta’zir menurut fuqoha’ ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
antara lain :
1.
Untuk
Mengetahui hapusnya hukuman ta’zir di kalangan ulama fiqh,
2.
Untuk
mengetahui alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukuman
Hukuman
dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari
‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan
datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah
barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya
Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang
dilakukannya.
Dari
pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena
mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang
telah dilakukan.
Dalam
bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang
dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama
dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono
Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana,
oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya
ganti rugi.[1]
Menurut
Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat karena adanya pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan syara’.[2]
B.
Macam-Macam Hukuman
Hukuman
dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a.
Hukuman
ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan
al-Hadits. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
·
Hukuman
yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman
bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar
istrinya.
·
Hukuman
yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti
percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.
b.
Ditinjau
dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat
dibagi menjadi empat yaitu:
·
Hukuman
pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi suatu kejahatan,
seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina
ghayru muhshan.
·
Hukuman
pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok
apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum
diyat bagi pembunuh yang sudah dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban atau
hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
·
Hukuman
tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku
atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk
mendapat waris dari harta terbunuh.
·
Hukuman
pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai
pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.
Jinayah
atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan
ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas
dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a)
Jarimah
Hudud,
b)
Jarimah
Qishash
c)
Jarimah
Ta’zir
C.
Hapusnya Hukuman
Pada
dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat
badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau
waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a)
Meninggalnya
Pelaku
b)
Hilangnya
Anggota badan yang akan di Qishas
c)
Tobatnya
pelaku
d)
Perdamaian
e)
Pengampunan
D.
Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.
1)
Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
·
Jarimah
Hudud.
Yaitu
perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash
yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas
terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban
atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat
bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh
zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-minuman
keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara
hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
·
Hukuman
pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur
syar’i sesudah dinasihatkan.
·
Hukum
qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
·
Hukuman
sebat kepada orang yang membuat fitnah.
·
Hukuman
rotan 100 kali pada penzina yang belum menikah, dirajam sampai mati pada
penzina yg sudah menikah.
·
Hukuman
rotan 80 kali kepada orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
·
Rotan
80 kali untuk peminum arak
2)
Hukuman yang bisa dihapuskan
a.
Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik
qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak
ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan
walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata.
Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman
qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan
akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara
lain:
·
Pembunuhan
sengaja
·
Pembunuhan
semi sengaja
·
Pembunuhan
keliru
·
Penganiayaan
sengaja
·
Penganiayaan
Diantara
jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada
dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan
Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain
pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin
dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an-nisa’:
93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara
manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam
Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak
bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi
hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta. Di dalam Hukum
Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman
mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian
maaf dari keluarganya.
b.
Jarimah Ta’zir.
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu
lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan
jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan
(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip
syar’i (nash).
Abd
Qodir Audah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
1.
Jarimah
hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi
syarat, baik itu shubhat fi al-fi’li, fi al-fa’il, maupun fi al-mahal, namun
hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta
syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta
benda.
2.
Jarimah
ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh
syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu,
mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan
menghina agama.
3.
Jarimah
ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang
penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak
menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dilihat
dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah
yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam
ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah penguasa atau
imam, namun diperkenankan pula untuk:
a)
Ayah;
seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil
dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk
memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
b)
Majikan;
seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya
maupun hak Allah.
c)
Suami;
seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apabila istrinya
melakukan nusyuz.[3]
Hukuman-hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman
yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman
tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri
pembuatnya.
Hukuman-hukuman ta’zir antara lain:
1.
Hukuman
Mati
Pada
dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan
pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum
ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan
tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut,
yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki
demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan.
namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada
hukuman mati.
2.
Hukuman
Jilid
Dikalangan
fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir.
Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi
diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan
masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan
Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39
kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
3.
Hukuman-Kawalan
(Penjara Kurungan)
Ada
dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama
waktu hukuman.
Pertama,
Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dalam hukuman ini adalah satu hari,
sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan
batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan
pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan
semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua,
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini
tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai
terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini
adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah
yang berbahaya. Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung
terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang
dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang
melakukan jarimah yang berbahaya.
4.
Hukuman
Salib
Hukuman
salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk
jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah
ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati,
melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak
dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan
isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
5.
Hukuman
Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman
juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan
bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan
atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara
hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang
memaki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata,
“Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau
adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah.”
Hukuman
peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat,
kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur’an
sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Para ulama mazhab berpendapat di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir
dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan
dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar
kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tempat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah
ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad
rahimahumullah.[4]
6.
Hukuman
Pengucilan (al Hajru)
Hukuman
pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh
Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap
tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik,
Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima
puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
“Dan
terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan
menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”
7.
Hukuman
Denda (tahdid)
Hukuman
Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai
pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan
lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan
perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa
sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya beserta hukuman.”
Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang
hilang.
3)
Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada
dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat,
sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu
sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
1.
Paksaan
Beberapa
pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.
Pertama,
paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain
dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya.
Kedua
paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan
menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya
untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan.
Ketiga
paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi
untuk mengerjakaannya.
Keempat
paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan
dan menyakitinya.
2.
Mabuk
Syari’at
Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum
khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai
hukuman pokok.
Mengenai
pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat
dari empat kalangan mazhab fiqih ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas
jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau
dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu
bisa mengakibatkan mabuk.
3.
Gila
Seseorang
dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan
berpikir dan kekuatan memilih. Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak
ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila
tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan
kekuatan memilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.
4.
Di
Bawah Umur
Konsep
yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa
merupakan konsep yang baik sekali, dan meskipun telah lama usianya, namun
menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut
Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu
ketentuan berpikir dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan
anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu
kelahirannya sampai memiliki kedua perkara tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum
positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau
anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah
(kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash
diyat dan ta’zir. Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat
dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik,
tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun
terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan
hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir
dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara
jenis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat
dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah
tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan
hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang
sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’
Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut
Ali,
Zaimudin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich,
Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Ash-Shon’ani. Subulussalam
Syarah Bulughul Maram. Juz. 7
Prodjodikoro,
Wirjono. 1967. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
Santoso,
Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.
Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa,
Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press,Hal. 76
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989
________________________________
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
[1]
Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:
Sumur Bandung.
[3]
Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Ash-Shon’ani. Subulussalam Syarah Bulughul
Maram. Juz. 7
[4]
Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin
bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press,Hal. 76