Waris Janin Dalam Kandungan Menurut Ulama Faraid
Oleh: Muhammad Habib & Uswatun Hasanah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan anak dalam
keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak merupakan penyambung
keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk
menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk
meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi.
Dalam
membicarakan manusia sebagai subyek hukum atau kedudukan mukallaf, ilmu fiqih
membagi seseorang itu mempunyai dua kecakapan atau dalam istilah fiqihnya
“ahliyah”, ialah ahliyatul ada’ atau cakap bertindak dan ahliyatul wujub atau
cakap berhak. Cakap bertindak (ahliyatul ada), dibagi menjadi dua; ahliyatul
ada kamilah (sempurna) dan ahliyatul ada naqishah (tidak sempurna). Demikian
pula ahliyatul wujub dibagi menjadi dua; ahliyatul wujub kaamilah dan ahliyatul
wujud naqishah. Yang termasuk orang yang mempunyai ahliyatul ada kaamilah ialah
yang telah mencapai umur dewasa dan sehat akalnya atau ‘aqil baligh. Sedang
yang termasuk mempunyai ahliyatul ada naqishah ialah mumayyiz, yakni anak yang
belum mencapai dewasa, tetapi sudah mempunyai kemampuan tamyiz. Orang yang
mempunyai ahliyatul wujub kaamilah ialah anak yang dilahirkan dalam keadaan
hidup, sedang yang mempunyai ahliyatul wujud naqishah ialah anak yang masih
dalam kandungan.
Seseorang
yang mempunyai ahliyatul wujud naaqishah ialah orang yang mempunyai hak sesuatu
yang digantungkan pada keadaannya, yakni apabila bayi yang dalam kandungan itu
nanti lahir dalam keadaan hidup, maka ia mendapat pusaka dari muwaris.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian bayi dalam kandungan menurut ulama faroid ?
2.
Apa
saja syarat bayi dalam kandungan mendapat waritsan menurut ulama faroid ?
3.
Bagaimana
cara memberikan
bagian anak yang masih dalam kandungan di
kalangan ulama faroid ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian bayi dalam kandungan
Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat Lc (2010:29)
menjelaskan bahwa kata waris berasal dari bahasa Arab yakni Al-miirats Diambil
dari bentuk mashdar (infinitif) yakni kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Sehingga menurut bahasa Waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan secara syariah waris
diartikan sebagai. "berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'I. Ahmad
Sarwat Lc (2010:30) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (BBI) waris diartikan
sebagai Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Waris adalah
berpindahnya sesuatu baik itu berupa barang maupun harta dari seseorang yang
sudah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (ahli waris).
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa
Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al
quran surah Al-Ahqof : 15
“kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan
susah payah pula”.
Menurut istilah para
fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun
perempuan”.
Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan di antara ahli warisnya
terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan
masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang
meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li,
karena hidupnya ketika muwaris meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah
satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang
masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,
karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan
lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.[1]
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar
menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan
sampai dia lahir karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketika muwarisnya
meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli warits yang
mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena
itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk
mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta
warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan
karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat
diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.
B.
Syarat anak dalam kandungan mendapat warisan.
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya
meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama
seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam
kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian
pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan
berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu
diketahui.[2]
Pasal 250 BW menyatakan, bahwa anak sah adalah anak yang lahir atau tumbuh
selama adanya perkawinan. Bunyi lengkap Pasal 250 BW adalah sebagai berikut:
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan
memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Anak sah memiliki kedudukan yang paling tinggi di mata hukum, sebab anak
sah menyandang seluruh hak yang difasilitasi oleh hukum. Diantara hak
istimewa anak sah terlihat antara lain dalam kedudukannya sebagai hak waris
yang berada dalam level tertinggi di antara golongan-golongan ahli waris
lainnya. Selain hak waris, anak sah juga mendapatkan legitimasi dalam struktur
hak sosial, image, dan lain-lain. Pasal 99 KHI menyatakan bahwa anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau perkawinan yang sah, dan hasil suami istri yang
sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[3]
Oleh
karena itu, dapat dijelaskan bahwa syarat anak dalam kandungan menerima
waritsan sebagai berikut :
a.
Anak
yang dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup. Kalau anak lahir dalam
keadaan mati maka tidak akan mendapat warisan dari muwarits. Adapun tanda-tanda
hidup itu seperti menangis. Sabda Nabi SAW.
اِذَااسْتَهَل
المَوْلُودُوُرِثَ .(رواه ابو داود عن جابر)
Artinya :
Apabila anak yang lahir itu menjerit (menangis), diberikan bagian
harta peninggalan. (H.R. Abu Daud dari Jabir).
Penentuan hidup bayi tersebut ditentukan oleh Hakim. Kalau hakim
tidak dapat menentukannya maka minta bantuan seseorang dokter untuk memberi
keterangan apakah bayi itu lahir dalam keadaan hidup atau mati. Adapun mengenai
kematian bayi itu, baik matinya itu karena jinayah atau tidak.
b.
Anak
itu telah wujud dalam kandungan ibunya, ketika orang yang meninggalkan harta
peninggalannya itu meninggal dunia. Wujudnya anak dalam kandungan sangat erat
hubungannya dengan adanya hubungan nasab antara anak tersebut dengan orang yang
meninggal dunia. Karena hubungan nasab anak tersebut yang pertama adalah;
melalui kedua orang tuanya, maka dalam menentukan telah wujudnya anak dalam
kandungan ibunya, ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal dunia, tidak
dapat delepaskan dari kapan terjadinya dan putusnya perkawinan orang tuannya,
baik karena thalaq atau kematian. Maka untuk menentukan telah wujudnya anak
dalam kandungan, harus diperhatikan :
1)
Jarak
waktu sekurang-kurangnya seseorang anak lahir setelah terjadinya akad perkawinan.
Maka yang menjadi persoalan ialah, berapa lamakah sekurang-kurangnya seorang
perempuan itu mengandung sampai dengan melahirkan? Dalam hal ini para ‘ulama
sepakat bahwa waktu yang sekurang-kurangnya bagi seorang perempuan mengandung
sampai dengan melahirkan yaitu enam bulan. Pendapat itu didasarkan kepada
kesimpulan Ibnu Abbas dalam memahami dua ayat al-Qur’an, sebagai berikut:
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Q.s. 46 :15).
dan menyapihnya dalam dua tahun (Q.S. 31 : 14).
Dalam ayat pertama, masa mengandung dan masa
menyapihnya selama 30 bulan. Dengan demikian masa mengandung saja, 30 bulan
dikurangi 24 bulan, yaitu 6 bulan. Dari sinilah maka diambil pengertian bahwa
mengandung itu sekurang-kurangnya enam bulan.
2)
Jarak
waktu terpanjang seseorang anak itu lahir semenjak putusnya perkawinan orang
tuanya, baik karena thalaq atau kematian. Jadi, yang menjadi persoalan, ialah
beberapa lamakah sepanjang-panjangnya seorang perempuan mengandung sampai
dengan melahirkan ? dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat
bahwa waktu terpanjang bagi seorang perempuan mengandung sampai dengan
melahirkan yaitu dua tahun, berdasarkan perkataan Aisyah RA:
ماتزيدالمرأةفى
الحمل على سنتين بقدرما يتحول ظل عمودالمعزل. (رواه الدارقطنى والبيهقى وسندهم)
Artinya :
Tidak wanita menambah masa hamilnya dua tahun
dengan sepergeseran bayang-bayang tiang berdiri. (H.R. Ad-Daruquthniy dan
Al-Baihaqiy dalam Musnad mereka).
Imam laits bin Sa’ad berpendapat bahwa waktu
terpanjang seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan yaitu tiga
tahun.
Ulama Syafi’iyyah dan Imam Ahmad menurut pendapat
yang lebih shahih berpendapat waktu terlama seorang perempuan mengandung sampai
dengan melahirkan yaitu empat tahun.
Muhammad Ibnu Abdul Hakam dari ‘ulama
Malikiyah menentukan satu tahun. Menurut Ibnu Rusyd, masalah ini dikembalikan
kepada kebiasaan. Pendapat Dhahiriyyah dan Muhammad Ibnu Abdil Hakam mendekati
pada yang biasa terjadi, demikian menurut pendapat Ibnu Rusyd.
Menurut penyusun, hal itu dikembalikan kepada
penentuan Hakim berdasar kepada kebiasaan saja. Menurut keterangan dokter pada
umumnya, maksimum mengandung ialah satu tahun syamsiyyah, yakni 365 hari.
Sebaiknya ketentuan kebiasaan lamanya mengandung itu diserahkan pada hakim dan
hakim dapat mendengarkan keterangan dokter ahli kandungan.
Penentuan kebiasaan mengandung ini penting,
untuk memperhitungkan apakah bayi yang ada dalam kandungan itu sudah ada pada
waktu muwarrits meninggal dunia.
Contoh :
A adalah seorang ayah meninggal dunia,
meninggalkan istrinya B yang sedang mengandung. Untuk menentukan apakah yang
dalam kandungan itu betul-betul anak dari yang meninggal tersebut, bukan anak
yang dilahirkan karena hubungan B dengan orang lain. Dengan ditetapkannya waktu
yang terpanjang itu dapatlah ditetapkan anak yang lahir dalam waktu antara
waktu meninggalnya A dengan waktu B melahirkan anak tidak melebihi waktu
terpanjang seseorang mengandung adalah benar-benar anak A. Sebaliknya kalau
lahirnya anak tersebut melampaui batas maksimal waktu mengandung, maka anak
yang lahir dari B tadi bukan anak A, sehingga tidak mempunyai hak warisan dari
A.
Contoh lain :
Kalau seorang wanita D misalnya, dicerai oleh
suaminya C, kemudian bekas suami tadi meninggal dunia. Pada waktu dicerai tadi
tidak mengetahui bahwa D tadi mengandung. Selang beberapa lama C meninggal
dunia tadi D mengandung. Maka timbul persoalan, anak siapakah yang dikandung D
itu? Apakah anak dalam kandungan itu dapat menerima pusaka C. Maka untuk
menentukan itu perlu diketahui apakah pada waktu melahirkan itu masih dalam
batas maksimal seseorang mengandung dihitung dari D tadi bercerai dengan
suaminya ialah C. Bila anak yang lahir tadi masih dalam batas maksimal
seseorang mengandung, maka yang lahir tadi tetap anak C, bukan anak orang lain,
begitu pula kalau lahirnya sudah melampaui batas waktu maksimum dapat
ditetapkan bahwa bayi yang lahir itu bukan anak C, sehingga tidak mendapatkan
harta warisan dari C.
C. Cara memberikan bagian anak yang masih dalam kandungan
Seperti disebutkan di muka bahwa anak yang dalam kandungan akan menerima
warisan apabila memenuhi syarat-syaratnya. Antara lain keadaan anak itu, lahir
dalam keadaan hidup.
Ada dua cara pembagiannya :
a. Dengan menunggu setelah bayi itu lahir. Hal ini akan memudahkan untuk
menentukan status anak itu, apakah benar-benar ahli waris, dan berapakah
bagiannya, karena sudah dapat diketahui laki-laki atau perempuan.
Menurut
KUHPerdata
Bayi
dalam kandungan berhak waris sebagai berikut, sebagaiman di jelaskan dalam
pasal 2 KUHPerdata: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap
sebagai telah dilahirkan,bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. mati
sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”.
b. Apabila ahli waris yang lain menghendaki pembagian itu segera dilakukan
tanpa menunggu kelahiran bayi itu maka warisan dapat dibagi dengan
memperhitungkan bagian bayi itu untuk seorang, sekalipun dapat pula lahir dalam
keadaan kembar. Ini menurut pendapat Abu Yusuf. Hal ini perlu adanya jaminan
bahwa ahli warits yang telah menerima itu mau mengembalikan warisan yang
menjadi hak bayi kalau bayi itu nanti lahir kembar. Kalau tidak ada jaminan
untuk itu, maka pembagian ditangguhkan/ditunggu kalau sudah melahirkan.[4]
Menurut hemat penyusun kalau masa sekarang ini sudah
dapat ditentukan oleh dokter ahli kandungan apakah bayi itu kembar atau tidak,
maka penentuan itu dapat ditentukan berdasar pada keterangan dokter ahli
tersebut. Selanjutnya ketentuan bagian bayi itu diambil jumlah yang terbanyak
dalam kedudukannya sebagai ahli warits, misalnya sebagai seorang ahli waris itu
anak akan mendapat lebih banyak kalau diperhitungkan bayi akan lahir laki-laki.
Berbeda bila sebagai ahli waris itu anak akan berkedudukan sebagai saudara,
sedang ahli waris hanya suami, ibu dan bayi yang ada dalam kandungan itu, maka
akan lebih besar bila diperhitungkan/diperkirakan lahir perempuan. Adakalanya
baik anak yang dalam kandungan itu diperhitungkan laki-laki maupun perempuan
adalah sama saja bagiannya, maka bayi yang dalam kandungan itu dapat
diperhitungkan baik laki-laki mapun perempuan.
Mengenai perkiraan untuk memberikan bagian pada bayi
dalam kandungan ini harus diperhitungkan yang akan membawa mashlahat bagi
kandungan itu, kalau dengan memperkirakan akan lahir perempuan akan mendapat,
maka diperkirakan lahir perempuan, seperti bayi yang dalam kandungan itu
saudara seayah dari yang meninggal dunia, dalam maksud seorang meninggal dunia
akan meninggalkan ahli waris : suami, seorang saudara perempuan kandung dan
saudara seayah yang masih dalam kandungan. Kalau bayi dalam kandungan itu lahir
laki-laki tidak mendapat warisan karena habis dibagi ahli waris yang mempunyai
bagian (ashhaabul furudl), sedang kalau bayi itu lahir wanita akan mendapat
bahagian 1/6 sebagai penyempurna 2/3 saudara perempuan kandung.
Dalam kasus lain akan membawa mashlahah kalau
diperhitungkan lahir perempuan, seperti ahli waris yang ada terdiri dari :
suami, saudara perempuan kandung dan isteri ayah yang mengandung. Kalau
kandungan diperkirakan lahir laki-laki maka tidak akan mendapat warisan, karena
habis dibagi.
Kasus yang terakhir ialah bayi dalam kandungan itu
diperhitungkan lahir laki-laki, seperti kalau seorang meninggal dunia dan
meninggalkan anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga isteri dari saudara
laki-laki yang mengandung. Kalau yang dikandung itu diperkirakan nanti akan
lahir laki-laki, maka akan mendapat bagian, sedang kalau yang dalam kandungan
itu diperkirakan lahir perempuan maka tidak mendapat bagian karena termasuk
kerabat arham (dzawil arham).
Melihat kasus-kasus di atas, dapat kita lihat adanya lima
macam peng-andaian untuk memberikan bagian warisan bagi bayi yang ada dalam
kandungan. Untuk jelasnya marilah kita peragakan dalam bentuk contoh-contoh
yang agak nyata.
I.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli
waris :
a) Seorang isteri,
b) Seorang ibu dan
c) Anak yang masih dalam kandungan.
Ketentuan bagian ahli-ahli waris itu sebagai berikut :
a)
Isteri
menerima 1/4, kalau anak lahir mati, dan mendapat 1/8 bagian kalau anak dalam
kandungan nanti lahir hidup, baik laki-laki maupun perempuan, atau 3/24 bagian.
b)
Ibu
mendapat 1/6 bagian atau 4/24 bagian.
c)
Anak
dalam kandungan menerima kalau laki-laki sebagai ‘ashabah, jadi menerima 17/24
bagian; dan kalau perempuan akan menerima 1/2 atau 12/24 bagian.
II.
Seorang
meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)
Suami,
b)
Ibu
yang mengandung, berarti
c)
Saudara
(yang masih dalam kandungan).
Ketentuan
bagian mereka adalah sebagai berikut :
a)
Suami
menerima 1/2 bagian atau 3/6 bagian.
b)
Ibu
meneriama 1/3 bagian atau 2/6 bagian.
c)
Kalau
lahir laki-laki menjadi ‘ashabah, yakni mendapat 1/6 bagian; dan kalau lahir
perempuan akan mendapat 1/2, atau 3/6 bagian.
Karena
asal masalah lebih kecil dari jumlah bahagian seluruhnya maka ini termasuk
dalam masalah aul, yang pemecahannya dengan menjadikan asal masalah menjadi
jumlah bahagian, sedang jumlah bahagian yang diterima masing-masing sama, yakni
suami 3/8 bahagian, ibu 2/8 bahagian dan anak perempuan yang masih dalam
kandunagn menerima 3/8 bahagian.
Melihat perbandingan di atas, maka
ternyata, kalau anak dalam kandungan diperhitungkan sebagai saudara perempuan
akan lebih besar daripada kalau diperhitungkan akan lahir laki-laki.
III.
Seorang
meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)
Suami,
b)
Seorang
saudara perempuan kandung,
c)
Saudara
se ibu yang masih dalam kandungan.
Ketentuan
pembagiannya adalah sebagai berikut :
a)
Suami
mendapat 1/2 bagian.
b)
Seorang
saudara perempuan kandung mendapat 1/2 bagian.
c)
Seorang
saudara se-ibu yang masih dalam kandungan, kalau lahir laki-laki maka bagiannya
1/6 dan bila lahir perempuan sama bagiannya, yakni 1/6 bagian.
IV.
Seorang
meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)
Suami,
b)
Saudara
perempuan kandung,
c)
Isteri
ayah dalam keadaan mengandung (ibu tiri).
Ketentuan
bagian mereka, adalah :
a)
Suami
mendapat 1/2 atau 3/6 bagian.
b)
Saudara
perempuan kandung 1/2, atau 3/6 bagian.
c)
Isteri
ayah atau ibu tiri tidak menerima bahagian.
d)
Saudara
seayah (yang masih dalam kandungan) mendapat 1/6 bagian, kalau diperhitungkan
lahir perempuan.
Ketentuan
bagian menjadi 7, maka menjadi; suami mendapat 3/7, saudara perempuan kandung
mendapat 3/7 dan saudara perempuan se-ayah yang masih dalam kandungan mendapat
1/7 bagian. Kalau sekiranya saudara se-ayah itu diperkirakan laki-laki, maka
tidak mendapat bagian warisan, karena habis dibagi untuk para ahli waris dzawil
furudl, sebab kedudukan saudara se-ayah tadi sebagai ahli waris ‘ashabah.
V.
Seorang
meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki (kemenakan).
b)
Seorang
isteri dari saudara laki-laki yang mengandung.
Ketentuan
bagian ahli waris itu ialah :
a)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung sebagai ‘ashabah.
b)
Anak
saudara yang masih dalam kandungan, kalau diperhitungkan lahir laki-laki,
mendapat 1/2 bagian sebagai ahli waris ‘ashabah, karena yang termasuk ahli
waris ‘ashabah terdiri dari dua orang, yakni anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang ada, dengan anak laki-laki dari saudara laki-laki yang lain yang
masih dalam kandunagn. Kalau sekiranya anak saudara laki-laki yang masih dalam
kandungan itu diperkirakan akan lahir perempuan, maka tidak akan menerima
warisan, karena termasuk dzawil arhaam.
c)
Isteri
saudara tidak mendapat bagian.
Semua
contoh-contoh di atas, menunjukkan cara pembagian harta pusaka kalau ahli waris
menghendaki, sedang sebahagian ahli waris statusnya belum jelas karena masih
dalam kandungan, dengan memperkirakan ahli waris yang masih dalam kandungan itu
akan lahir dalam kedudukan yang memungkinkan anak itu menerima bahagian yang
terbanyak. Bahagian yang diambil itu disimpan untuk diberikan sewaktu bayi
lahir dapat diberikan sedang harta warisan yang lain dibagi kepada ahli waris
yang ada.
Selanjutnya
kalau ternyata bahwa kandungan yang bahagiannya itu telah disimpan itu lahir dalam
keadaan mati, maka bahagian itu dibagi kepada ahli waris sesuai dengan
ketentuan bahagian semestinya. Demikian pula kalau ternyata bayi yang dalam
kandungan itu tidak lahir seperti yang diperkirakan, sehingga mendapat bahagian
yang lebih sedikit dari harta yang disimpan, maka sisanya dikembalikan pula
kepada ahli waris yang telah mendapat bahagian sebelumnya menurut ketentuan
yang ada.
Sesuatu
yang menjadi masalah kalau bayi itu lahir kembar, padahal perkiraan tidak. Maka
seperti tersebut di muka, sebaiknya harta dibagi dalam keadaan ahli waris masih
ada yang berada dalam kandungan, kalau ada jaminan bila nanti ternyata bahagian
yang masih dalam kandungan itu kurang mencukupi, ahli waris yang telah
menerima, bersedia mengembalikan kelebihan yang telah diterimanya. Dengan
demikian kalau ternyata bayi yang dalam kandungan itu lahir kembar ahli waris
yang telah menerima mengembalikan sesuai dengan ketentuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya
meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama
seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam
kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian
pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan
berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu
diketahui.
Janin dalam
kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan yaitu, Janin
tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika
pewaris wafat dan Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya,
sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan. Anak yang
dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari
laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari
ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris
ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Ada dua cara pembagian waritsan bagi
bayi dalam kandungan :
·
Dengan menunggu setelah bayi itu lahir. Hal
ini akan memudahkan untuk menentukan status anak itu, apakah benar-benar ahli
waris, dan berapakah bagiannya, karena sudah dapat diketahui laki-laki atau perempuan.
·
Apabila ahli waris yang lain menghendaki
pembagian itu segera dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi itu maka warisan
dapat dibagi dengan memperhitungkan bagian bayi itu untuk seorang, sekalipun
dapat pula lahir dalam keadaan kembar.
B.
Saran-saran
Demikianlah
makalah ini kami paparkan dan kami merasa bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kepada pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk perbaikan
makalah ini. Dan kami berharap semoga isi makalah ini bermanfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012).
Ahmad Sarwat Lc. Fiqih
Mawaris. (2010)
Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar
Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014).
Drs.H.Suparman Usman,S.H & Drs.Yusuf Somawinata. Fiqh
Mawaris; Sebtamber 1997: Gaya Media Pratama Jakarta.
Hasbiyallah. 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Prof. H. A. Timur Djaelani, MA., Ilmu
Fiqih 3 Cetakan Kedua. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama. 1986.
Mughniya, Muhammad
Jawad, fiqih Lima Madzab. Jakarta : Lentera 2006.
Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Sayyid sabiq, Fiqh
Assunah, Bairut Dar Al-Tsaqofah : jilid II.
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.
[1]
Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
[2] Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 149.
[3]
Bahruddin
Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa
Publishing, 2014), hlm. 287-288.
[4]
Prof. H. A. Timur Djaelani, MA., Ilmu Fiqih 3 Cetakan Kedua. Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1986.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang