Friday, 15 January 2016

WARIS JANIN DALAM KANDUNGAN MENURUT ULAMA FARAID

Waris Janin Dalam Kandungan Menurut Ulama Faraid
Oleh: Muhammad Habib & Uswatun Hasanah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua. Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
            Dalam membicarakan manusia sebagai subyek hukum atau kedudukan mukallaf, ilmu fiqih membagi seseorang itu mempunyai dua kecakapan atau dalam istilah fiqihnya “ahliyah”, ialah ahliyatul ada’ atau cakap bertindak dan ahliyatul wujub atau cakap berhak. Cakap bertindak (ahliyatul ada), dibagi menjadi dua; ahliyatul ada kamilah (sempurna) dan ahliyatul ada naqishah (tidak sempurna). Demikian pula ahliyatul wujub dibagi menjadi dua; ahliyatul wujub kaamilah dan ahliyatul wujud naqishah. Yang termasuk orang yang mempunyai ahliyatul ada kaamilah ialah yang telah mencapai umur dewasa dan sehat akalnya atau ‘aqil baligh. Sedang yang termasuk mempunyai ahliyatul ada naqishah ialah mumayyiz, yakni anak yang belum mencapai dewasa, tetapi sudah mempunyai kemampuan tamyiz. Orang yang mempunyai ahliyatul wujub kaamilah ialah anak yang dilahirkan dalam keadaan hidup, sedang yang mempunyai ahliyatul wujud naqishah ialah anak yang masih dalam kandungan.
            Seseorang yang mempunyai ahliyatul wujud naaqishah ialah orang yang mempunyai hak sesuatu yang digantungkan pada keadaannya, yakni apabila bayi yang dalam kandungan itu nanti lahir dalam keadaan hidup, maka ia mendapat pusaka dari muwaris.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian bayi dalam kandungan menurut ulama faroid ?
2.      Apa saja syarat bayi dalam kandungan mendapat waritsan menurut ulama faroid ?
3.      Bagaimana cara memberikan bagian anak yang masih dalam kandungan di kalangan ulama faroid ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian bayi dalam kandungan
Dalam bukunya yang berjudul Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat Lc (2010:29) menjelaskan bahwa kata waris berasal dari bahasa Arab yakni Al-miirats Diambil dari bentuk mashdar (infinitif) yakni kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Sehingga menurut bahasa Waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan secara syariah waris diartikan sebagai. "berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'I. Ahmad Sarwat Lc (2010:30) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (BBI) waris diartikan sebagai Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Waris adalah berpindahnya sesuatu baik itu berupa barang maupun harta dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (ahli waris).
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15

kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”.
Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan”.
Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan di antara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li, karena hidupnya ketika muwaris meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.[1]
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan sampai dia lahir karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketika muwarisnya meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli warits yang mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.

B.     Syarat anak dalam kandungan mendapat warisan.
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diketahui.[2]
Pasal 250 BW menyatakan, bahwa anak sah adalah anak yang lahir atau tumbuh selama adanya perkawinan. Bunyi lengkap Pasal 250 BW adalah sebagai berikut:
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan  memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Anak sah memiliki kedudukan yang paling tinggi di mata hukum, sebab anak sah menyandang seluruh hak yang difasilitasi oleh hukum. Diantara  hak istimewa anak sah terlihat antara lain dalam kedudukannya sebagai hak waris yang berada dalam level tertinggi di antara golongan-golongan ahli waris lainnya. Selain hak waris, anak sah juga mendapatkan legitimasi dalam struktur hak sosial, image, dan lain-lain. Pasal 99 KHI menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau perkawinan yang sah, dan hasil suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[3]
            Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa syarat anak dalam kandungan menerima waritsan sebagai berikut :
a.       Anak yang dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup. Kalau anak lahir dalam keadaan mati maka tidak akan mendapat warisan dari muwarits. Adapun tanda-tanda hidup itu seperti menangis. Sabda Nabi SAW.
اِذَااسْتَهَل المَوْلُودُوُرِثَ .(رواه ابو داود عن جابر)
Artinya :
Apabila anak yang lahir itu menjerit (menangis), diberikan bagian harta peninggalan. (H.R. Abu Daud dari Jabir).
Penentuan hidup bayi tersebut ditentukan oleh Hakim. Kalau hakim tidak dapat menentukannya maka minta bantuan seseorang dokter untuk memberi keterangan apakah bayi itu lahir dalam keadaan hidup atau mati. Adapun mengenai kematian bayi itu, baik matinya itu karena jinayah atau tidak.     
b.      Anak itu telah wujud dalam kandungan ibunya, ketika orang yang meninggalkan harta peninggalannya itu meninggal dunia. Wujudnya anak dalam kandungan sangat erat hubungannya dengan adanya hubungan nasab antara anak tersebut dengan orang yang meninggal dunia. Karena hubungan nasab anak tersebut yang pertama adalah; melalui kedua orang tuanya, maka dalam menentukan telah wujudnya anak dalam kandungan ibunya, ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal dunia, tidak dapat delepaskan dari kapan terjadinya dan putusnya perkawinan orang tuannya, baik karena thalaq atau kematian. Maka untuk menentukan telah wujudnya anak dalam kandungan, harus diperhatikan :
1)      Jarak waktu sekurang-kurangnya seseorang anak lahir setelah terjadinya akad perkawinan. Maka yang menjadi persoalan ialah, berapa lamakah sekurang-kurangnya seorang perempuan itu mengandung sampai dengan melahirkan? Dalam hal ini para ‘ulama sepakat bahwa waktu yang sekurang-kurangnya bagi seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan yaitu enam bulan. Pendapat itu didasarkan kepada kesimpulan Ibnu Abbas dalam memahami dua ayat al-Qur’an, sebagai berikut:

mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Q.s. 46 :15).

dan menyapihnya dalam dua tahun (Q.S. 31 : 14).
Dalam ayat pertama, masa mengandung dan masa menyapihnya selama 30 bulan. Dengan demikian masa mengandung saja, 30 bulan dikurangi 24 bulan, yaitu 6 bulan. Dari sinilah maka diambil pengertian bahwa mengandung itu sekurang-kurangnya enam bulan.
2)      Jarak waktu terpanjang seseorang anak itu lahir semenjak putusnya perkawinan orang tuanya, baik karena thalaq atau kematian. Jadi, yang menjadi persoalan, ialah beberapa lamakah sepanjang-panjangnya seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan ? dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa waktu terpanjang bagi seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan yaitu dua tahun, berdasarkan perkataan Aisyah RA:
ماتزيدالمرأةفى الحمل على سنتين بقدرما يتحول ظل عمودالمعزل. (رواه الدارقطنى والبيهقى وسندهم)
Artinya :
Tidak wanita menambah masa hamilnya dua tahun dengan sepergeseran bayang-bayang tiang berdiri. (H.R. Ad-Daruquthniy dan Al-Baihaqiy dalam Musnad mereka).
Imam laits bin Sa’ad berpendapat bahwa waktu terpanjang seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan yaitu tiga tahun.
Ulama Syafi’iyyah dan Imam Ahmad menurut pendapat yang lebih shahih berpendapat waktu terlama seorang perempuan mengandung sampai dengan melahirkan yaitu empat tahun.
Muhammad Ibnu Abdul Hakam dari ‘ulama Malikiyah menentukan satu tahun. Menurut Ibnu Rusyd, masalah ini dikembalikan kepada kebiasaan. Pendapat Dhahiriyyah dan Muhammad Ibnu Abdil Hakam mendekati pada yang biasa terjadi, demikian menurut pendapat Ibnu Rusyd.
Menurut penyusun, hal itu dikembalikan kepada penentuan Hakim berdasar kepada kebiasaan saja. Menurut keterangan dokter pada umumnya, maksimum mengandung ialah satu tahun syamsiyyah, yakni 365 hari. Sebaiknya ketentuan kebiasaan lamanya mengandung itu diserahkan pada hakim dan hakim dapat mendengarkan keterangan dokter ahli kandungan.
Penentuan kebiasaan mengandung ini penting, untuk memperhitungkan apakah bayi yang ada dalam kandungan itu sudah ada pada waktu muwarrits meninggal dunia.
Contoh :
A adalah seorang ayah meninggal dunia, meninggalkan istrinya B yang sedang mengandung. Untuk menentukan apakah yang dalam kandungan itu betul-betul anak dari yang meninggal tersebut, bukan anak yang dilahirkan karena hubungan B dengan orang lain. Dengan ditetapkannya waktu yang terpanjang itu dapatlah ditetapkan anak yang lahir dalam waktu antara waktu meninggalnya A dengan waktu B melahirkan anak tidak melebihi waktu terpanjang seseorang mengandung adalah benar-benar anak A. Sebaliknya kalau lahirnya anak tersebut melampaui batas maksimal waktu mengandung, maka anak yang lahir dari B tadi bukan anak A, sehingga tidak mempunyai hak warisan dari A.
Contoh lain :
Kalau seorang wanita D misalnya, dicerai oleh suaminya C, kemudian bekas suami tadi meninggal dunia. Pada waktu dicerai tadi tidak mengetahui bahwa D tadi mengandung. Selang beberapa lama C meninggal dunia tadi D mengandung. Maka timbul persoalan, anak siapakah yang dikandung D itu? Apakah anak dalam kandungan itu dapat menerima pusaka C. Maka untuk menentukan itu perlu diketahui apakah pada waktu melahirkan itu masih dalam batas maksimal seseorang mengandung dihitung dari D tadi bercerai dengan suaminya ialah C. Bila anak yang lahir tadi masih dalam batas maksimal seseorang mengandung, maka yang lahir tadi tetap anak C, bukan anak orang lain, begitu pula kalau lahirnya sudah melampaui batas waktu maksimum dapat ditetapkan bahwa bayi yang lahir itu bukan anak C, sehingga tidak mendapatkan harta warisan dari C.

C.    Cara memberikan bagian anak yang masih dalam kandungan
Seperti disebutkan di muka bahwa anak yang dalam kandungan akan menerima warisan apabila memenuhi syarat-syaratnya. Antara lain keadaan anak itu, lahir dalam keadaan hidup.
Ada dua cara pembagiannya :
a.       Dengan menunggu setelah bayi itu lahir. Hal ini akan memudahkan untuk menentukan status anak itu, apakah benar-benar ahli waris, dan berapakah bagiannya, karena sudah dapat diketahui laki-laki atau perempuan.
Menurut KUHPerdata
            Bayi dalam kandungan berhak waris sebagai berikut, sebagaiman di jelaskan dalam pasal 2 KUHPerdata: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”.
b.      Apabila ahli waris yang lain menghendaki pembagian itu segera dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi itu maka warisan dapat dibagi dengan memperhitungkan bagian bayi itu untuk seorang, sekalipun dapat pula lahir dalam keadaan kembar. Ini menurut pendapat Abu Yusuf. Hal ini perlu adanya jaminan bahwa ahli warits yang telah menerima itu mau mengembalikan warisan yang menjadi hak bayi kalau bayi itu nanti lahir kembar. Kalau tidak ada jaminan untuk itu, maka pembagian ditangguhkan/ditunggu kalau sudah melahirkan.[4]
Menurut hemat penyusun kalau masa sekarang ini sudah dapat ditentukan oleh dokter ahli kandungan apakah bayi itu kembar atau tidak, maka penentuan itu dapat ditentukan berdasar pada keterangan dokter ahli tersebut. Selanjutnya ketentuan bagian bayi itu diambil jumlah yang terbanyak dalam kedudukannya sebagai ahli warits, misalnya sebagai seorang ahli waris itu anak akan mendapat lebih banyak kalau diperhitungkan bayi akan lahir laki-laki. Berbeda bila sebagai ahli waris itu anak akan berkedudukan sebagai saudara, sedang ahli waris hanya suami, ibu dan bayi yang ada dalam kandungan itu, maka akan lebih besar bila diperhitungkan/diperkirakan lahir perempuan. Adakalanya baik anak yang dalam kandungan itu diperhitungkan laki-laki maupun perempuan adalah sama saja bagiannya, maka bayi yang dalam kandungan itu dapat diperhitungkan baik laki-laki mapun perempuan.
Mengenai perkiraan untuk memberikan bagian pada bayi dalam kandungan ini harus diperhitungkan yang akan membawa mashlahat bagi kandungan itu, kalau dengan memperkirakan akan lahir perempuan akan mendapat, maka diperkirakan lahir perempuan, seperti bayi yang dalam kandungan itu saudara seayah dari yang meninggal dunia, dalam maksud seorang meninggal dunia akan meninggalkan ahli waris : suami, seorang saudara perempuan kandung dan saudara seayah yang masih dalam kandungan. Kalau bayi dalam kandungan itu lahir laki-laki tidak mendapat warisan karena habis dibagi ahli waris yang mempunyai bagian (ashhaabul furudl), sedang kalau bayi itu lahir wanita akan mendapat bahagian 1/6 sebagai penyempurna 2/3 saudara perempuan kandung.
Dalam kasus lain akan membawa mashlahah kalau diperhitungkan lahir perempuan, seperti ahli waris yang ada terdiri dari : suami, saudara perempuan kandung dan isteri ayah yang mengandung. Kalau kandungan diperkirakan lahir laki-laki maka tidak akan mendapat warisan, karena habis dibagi.
Kasus yang terakhir ialah bayi dalam kandungan itu diperhitungkan lahir laki-laki, seperti kalau seorang meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga isteri dari saudara laki-laki yang mengandung. Kalau yang dikandung itu diperkirakan nanti akan lahir laki-laki, maka akan mendapat bagian, sedang kalau yang dalam kandungan itu diperkirakan lahir perempuan maka tidak mendapat bagian karena termasuk kerabat arham (dzawil arham).
Melihat kasus-kasus di atas, dapat kita lihat adanya lima macam peng-andaian untuk memberikan bagian warisan bagi bayi yang ada dalam kandungan. Untuk jelasnya marilah kita peragakan dalam bentuk contoh-contoh yang agak nyata.
         I.            Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)      Seorang isteri,
b)      Seorang ibu dan
c)      Anak yang masih dalam kandungan.
Ketentuan bagian ahli-ahli waris itu sebagai berikut :
a)      Isteri menerima 1/4, kalau anak lahir mati, dan mendapat 1/8 bagian kalau anak dalam kandungan nanti lahir hidup, baik laki-laki maupun perempuan, atau 3/24 bagian.
b)      Ibu mendapat 1/6 bagian atau 4/24 bagian.
c)      Anak dalam kandungan menerima kalau laki-laki sebagai ‘ashabah, jadi menerima 17/24 bagian; dan kalau perempuan akan menerima 1/2 atau 12/24 bagian.
      II.            Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)      Suami,
b)      Ibu yang mengandung, berarti
c)      Saudara (yang masih dalam kandungan).
Ketentuan bagian mereka adalah sebagai berikut :
a)      Suami menerima 1/2 bagian atau 3/6 bagian.
b)      Ibu meneriama 1/3 bagian atau 2/6 bagian.
c)      Kalau lahir laki-laki menjadi ‘ashabah, yakni mendapat 1/6 bagian; dan kalau lahir perempuan akan mendapat 1/2, atau 3/6 bagian.
Karena asal masalah lebih kecil dari jumlah bahagian seluruhnya maka ini termasuk dalam masalah aul, yang pemecahannya dengan menjadikan asal masalah menjadi jumlah bahagian, sedang jumlah bahagian yang diterima masing-masing sama, yakni suami 3/8 bahagian, ibu 2/8 bahagian dan anak perempuan yang masih dalam kandunagn menerima 3/8 bahagian.
     Melihat perbandingan di atas, maka ternyata, kalau anak dalam kandungan diperhitungkan sebagai saudara perempuan akan lebih besar daripada kalau diperhitungkan akan lahir laki-laki.
   III.            Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)      Suami,
b)      Seorang saudara perempuan kandung,
c)      Saudara se ibu yang masih dalam kandungan.
Ketentuan pembagiannya adalah sebagai berikut :
a)      Suami mendapat 1/2 bagian.
b)      Seorang saudara perempuan kandung mendapat 1/2 bagian.
c)      Seorang saudara se-ibu yang masih dalam kandungan, kalau lahir laki-laki maka bagiannya 1/6 dan bila lahir perempuan sama bagiannya, yakni 1/6 bagian.
   IV.            Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)      Suami,
b)      Saudara perempuan kandung,
c)      Isteri ayah dalam keadaan mengandung (ibu tiri).
Ketentuan bagian mereka, adalah :
a)      Suami mendapat 1/2 atau 3/6 bagian.
b)      Saudara perempuan kandung 1/2, atau 3/6 bagian.
c)      Isteri ayah atau ibu tiri tidak menerima bahagian.
d)     Saudara seayah (yang masih dalam kandungan) mendapat 1/6 bagian, kalau diperhitungkan lahir perempuan.
Ketentuan bagian menjadi 7, maka menjadi; suami mendapat 3/7, saudara perempuan kandung mendapat 3/7 dan saudara perempuan se-ayah yang masih dalam kandungan mendapat 1/7 bagian. Kalau sekiranya saudara se-ayah itu diperkirakan laki-laki, maka tidak mendapat bagian warisan, karena habis dibagi untuk para ahli waris dzawil furudl, sebab kedudukan saudara se-ayah tadi sebagai ahli waris ‘ashabah.
      V.            Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :
a)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki (kemenakan).
b)      Seorang isteri dari saudara laki-laki yang mengandung.
Ketentuan bagian ahli waris itu ialah :
a)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung sebagai ‘ashabah.
b)      Anak saudara yang masih dalam kandungan, kalau diperhitungkan lahir laki-laki, mendapat 1/2 bagian sebagai ahli waris ‘ashabah, karena yang termasuk ahli waris ‘ashabah terdiri dari dua orang, yakni anak laki-laki dari saudara laki-laki yang ada, dengan anak laki-laki dari saudara laki-laki yang lain yang masih dalam kandunagn. Kalau sekiranya anak saudara laki-laki yang masih dalam kandungan itu diperkirakan akan lahir perempuan, maka tidak akan menerima warisan, karena termasuk dzawil arhaam.
c)      Isteri saudara tidak mendapat bagian.
Semua contoh-contoh di atas, menunjukkan cara pembagian harta pusaka kalau ahli waris menghendaki, sedang sebahagian ahli waris statusnya belum jelas karena masih dalam kandungan, dengan memperkirakan ahli waris yang masih dalam kandungan itu akan lahir dalam kedudukan yang memungkinkan anak itu menerima bahagian yang terbanyak. Bahagian yang diambil itu disimpan untuk diberikan sewaktu bayi lahir dapat diberikan sedang harta warisan yang lain dibagi kepada ahli waris yang ada.
Selanjutnya kalau ternyata bahwa kandungan yang bahagiannya itu telah disimpan itu lahir dalam keadaan mati, maka bahagian itu dibagi kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan bahagian semestinya. Demikian pula kalau ternyata bayi yang dalam kandungan itu tidak lahir seperti yang diperkirakan, sehingga mendapat bahagian yang lebih sedikit dari harta yang disimpan, maka sisanya dikembalikan pula kepada ahli waris yang telah mendapat bahagian sebelumnya menurut ketentuan yang ada.
Sesuatu yang menjadi masalah kalau bayi itu lahir kembar, padahal perkiraan tidak. Maka seperti tersebut di muka, sebaiknya harta dibagi dalam keadaan ahli waris masih ada yang berada dalam kandungan, kalau ada jaminan bila nanti ternyata bahagian yang masih dalam kandungan itu kurang mencukupi, ahli waris yang telah menerima, bersedia mengembalikan kelebihan yang telah diterimanya. Dengan demikian kalau ternyata bayi yang dalam kandungan itu lahir kembar ahli waris yang telah menerima mengembalikan sesuai dengan ketentuan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam hukum Islam, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Namun demikian, karena keadaannya masih dalam kandungan belum bisa dipastikan apakah akan lahir hidup atau mati. Demikian pula belum dapat diketahui secara persis jenis kelaminnya. Untuk menentukkan berapa bagian yang akan diterimanya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diketahui.
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan yaitu, Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat dan Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan. Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Ada dua cara pembagian waritsan bagi bayi dalam kandungan :
·         Dengan menunggu setelah bayi itu lahir. Hal ini akan memudahkan untuk menentukan status anak itu, apakah benar-benar ahli waris, dan berapakah bagiannya, karena sudah dapat diketahui laki-laki atau perempuan.
·         Apabila ahli waris yang lain menghendaki pembagian itu segera dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi itu maka warisan dapat dibagi dengan memperhitungkan bagian bayi itu untuk seorang, sekalipun dapat pula lahir dalam keadaan kembar.
B.     Saran-saran
Demikianlah makalah ini kami paparkan dan kami merasa bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk perbaikan makalah ini. Dan kami berharap semoga isi makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012).
Ahmad Sarwat Lc. Fiqih Mawaris.  (2010)
Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014).
Drs.H.Suparman Usman,S.H & Drs.Yusuf Somawinata. Fiqh Mawaris; Sebtamber 1997: Gaya Media Pratama Jakarta.
Hasbiyallah. 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Prof. H. A. Timur Djaelani, MA., Ilmu Fiqih 3 Cetakan Kedua. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1986.
Mughniya, Muhammad Jawad, fiqih Lima Madzab. Jakarta : Lentera 2006.
Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Sayyid sabiq, Fiqh Assunah, Bairut Dar Al-Tsaqofah : jilid II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010.  Fiqh Mawaris. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.




[1] Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
[2] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ed. Rev, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 149.
[3] Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak di Luar Perkawinan, (Semarang: Fatawa Publishing, 2014), hlm. 287-288.
[4] Prof. H. A. Timur Djaelani, MA., Ilmu Fiqih 3 Cetakan Kedua. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1986.

  #makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...