Friday, 15 January 2016

TARJIH MENURUT ULAMA USHUL FIQH

Tarjih Menurut Ulama Ushul Fiqh
Oleh: Muhammad Habib & Rezasasmi Hidayat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kajian tentang pengetahuan agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengeahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu’aqidah”. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syariah”. Ilmu syariah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat tertentu yang harus dilakukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasilkan materi Fiqh tersebut. Hal yang kedua ini, secara mudahnya disebut “Ushul Fiqh”.
Ushul Fiqih merupakan sarana untuk menggali hukum Islam yang sudah ada yakni bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Di dalam mengkaji Al-Qur’an dan Hadist ini,  janganlah menela’ah mentah-mentah, agar tidak keliru didalam mengamalkanya. Supaya menjadi hukum syar’i yang sesuai haruslah memakai metode yang benar. Karena didalam penginstimbatan hukum Islam terdapat beberapa metode yang harus dipahami betul-betul. Yang salah satunya yaitu dengan metode ta’arud ad-dilalah yang di dalam metode ini terdapat teori al-tarjih (dua dalil yang sama tetapi bisa bertolak belakang) . Ilmu tarjih itu sendiri merupakan bagian dari cabang ilmu ushul fiqh, yang membicarakan tentang “menguatkan“ baik itu menguatkan nash, hadits, ijma’, qiyas, maupun yang lainnya agar tidak ada kelemahan dalam pengamalan hukum yang dikeluarkan oleh berbagai metode tadi, sehingga tidak lagi ada keraguan bagi pengamalnya, namun untuk mencapai kesemuaan di atas kita juga perlu melihat bagaimana kriteria yang dibuat ulama terdahulu supaya kita dapat melaksanakannya dan mengeluarkan hukum dari setiap permasalahan yang ada dihadapan kita.
B.     Rumusan Masalah
      1.            Bagaimana definisi Tarjih di kalangan ulama ushul fiqh ?  
      2.            Bagaimana cara penarjihan suatu dalil di kalangan ulama ushul fiqh ?
      3.            Apa saja syarat-syarat untuk melakukan pentarjihan menurut ulama ushul fiqh ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tarjih
Secara etimologi perkataan tarjih (  تر جيح   ) adalah masdar dari kata Arab "rajjaha" (رجح) yurajjihu" ( يرجح   ), " tarjihan" (ترجيحا   ), yang berarti ”menguatkan”. Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh.
a.       Menururut ulama Hanafiyah:
اظهار زيادة لأحد المتماثلين على الأخربما لايستقل.
Artinya:
Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
            Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.
b.      Dalam kitab al-Ta`rifat karya `Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu: 
الترجيح هو اثبات مرتبة فى احدالدليلين على الاخر
Artinya:
"Tarjih adalah menetapkan atau menguatkan salah satu dalil dengan lainnya."[1]
c.       Menurut Jumhur Ulama
تقوية احدى الامارتين على الأخرى ليعمل بها.
Artinya:
Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.”
Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq (الجمع والتوفيق   ). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih ( راجح ), sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh  (  مرجوح .
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i. Juga tidak termasuk antara yang qath’i dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Di antara alasannya, para shahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para shahabat lebih menguatkan hadits yang dikeluarkan oleh Siti ‘Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital lelaki dan alat vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), daripada hadits yang diterima dari Abu Hurairah, “Air itu berasal dari air”. (H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).
B.     Syarat-syarat Tarjih
Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu dapat disebutkan, sebagai berikut:
      1.            Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i (pasti) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
      2.            Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
      3.            Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya.[2]
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i al-thubut) dengan hadits Ahad (zhanni al-thubut) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan isinya (dalalah) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain zhanni al-dalalah. Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadits Mutawatir dan yang lain hadits Ahad, karena dalam hal semacam ini hadits Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.

C.    Cara pentarjihan di kalangan ulama ushul fiqh
            Menurut ulama ushul, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-taufiq (penggabungan) dan naskh (menghapuskan).
            Namun cara pen-tarjih-an tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadits) yang saling bertentangan, dan (2) at-tarjih baina al-qias, yaitu menguatkan salah satu qias (analogi yang bertentangan).
a.       Tarjih baina an-Nushush
Tarjih baina an-Nushush, terbagi menjadi beberapa bagian, berikut ini.
           I.            Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pen-tarjih-an dapat dilakukan melalui 42 cara, diantaranya di kelompokkan dalam bagian berikut:
·         Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut jumhur, hadits yang banyak perawinya di-tarjih-kan dari yang sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.
         Tetapi Abu Hanifah, dan Abu Hasan Al-Karkhi menolak pendapat jumhur tersebut. Mereka semua berasal dari golongan mazhab Hanafi. Menurut mereka banyaknya perawi tidak bisa men-tarjih hadits lain yang lebih sedikit perawinya, kecuali kalau lebih dari tiga orang perawi (hadits Masyhur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.
         Jumhur juga berpendapat bahwa pen-tajih-an boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya hadits yang perawinya yang lebih dhabit (kuat hapalan) dikuatkan dari hadits yang perawinya tidak dhabit. Dan dibolehkan pula men-tarjih hadits berdasarkan pada cara penerimaan hadits, misalnya hadits yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi lebih diutamakan daripada hadits yang diterima perawi melalui tulisan.
·         Pen-tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri.
Yaitu menguatkan hadits mutawatir daripada hadits masyhur atau menguatkan hadits masyhur daripada hadits ahad. Bisa juga dengan melihat persambungan sanadnya, misalnya hadits yang sampai kepada Rasul di-rajih daripada hadits yang tidak sampai ke Rasul.
·         Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadits dari Rasul
Yaitu me-rajih-kan hadits yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi dari hadits yang diterima perawi melalui tulisan. Dikuatkan hadits yang memakai lafazh langsung dari Rasulullah SAW., seperti lafal naha (melarang) atau amara (memerintah) daripada riwayat yang lain. Begitu pula hadits ahad yang matannya tidak menyangkut orang banyak didahulukan dari hadits ahad matannya mengandung orang banyak. Hal itu didasarkan pada kesangsian Ulama Ushul, bahwa tidak mungkin hadits yang menyangkut orang banyak memiliki perawi sedikit.
        II.            Dari segi matan
Maksud dari matan adalah teks ayat, hadits atau ijma’. Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pen-tarjih-an dari segi matan, antara lain:
·         Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemadaratan lebih utama daripada mengambil manfaat.
·         Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus melaksanakan yang hukumnya boleh.
·         Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi-nya.
·         Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
·         Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum yang telah di-taksis.
·         Teks yang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
·         Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar karena muhkam lebih pasti dibanding mufassar.
·         Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindirian.[3]
     III.            Dari segi hukum atau kandungan hukum
Cara pen-tarjih-an melalui metode ini, menurut Al-Amidi ada 11 cara, sedangkan menurut Asy-Syaukani ada sembilan cara, yaitu:
·         Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
مااجتمع الحلال والحرام الا غلب الحرام.(رواه البيهقي)
Artinya :
“Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan.”(H.R. Baihaqi)
          Namun, menurut Al-Ghazali, kedua hukum itu digugurkan saja. Dengan alasan bahwa kualitas keduanya adalah sama. Teks yang membolehkan didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh. Sedang hukum yang dilarang itu mengiring seseorang untuk hati-hati. Dengan demikian, kualitas keduanya sama.[4]
·         Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang teks yang bersifat menetapkan, dengan teks yang meniadakan. Maka dalam hal  seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadits berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوج ميمو نة بنت الحارث وهو محرم )  رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
" Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang Ihram". (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadits ini berlawanan dengan hadits Abu Rafi` yang mengabarkan berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مالك)
Artinya: "Bahwasanya Nabi SAW mengawini maimunah binti al-Harith pada beliau sudah bertahallul". (HR. Malik) (Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 570. Lihat Juga. Al-Hafidz ibnu Hajar al-`Asqalani,Bulugh al-Maram, hal. 207).
Dalam kasus seperti ini, menurut ulama Syafi`iyyah teks yang sifatnya meniadakan lebih didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan. Kasus perkawinan Rasulullah SAW di atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam keadaan ihram lebih didahulukan dari riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW sedang ihram. Alasannya bahwa Abu Rafi` pada waktu itu bersama-sama beliau, maka sudah barang tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu daripada Ibnu `Abbas yang saat itu tidak ikut pergi bersama Rasulullah SAW.[5]

Adapun menurut jumhur, teks yang menetapkan lebih diutamakan dari teks yang meniadakan, karena teks yang bersifat menetapkan memberi informasi tambahan.
Sedangkan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa hukum kedua hadits tersebut digugurkan. Hal itu dimungkinkan keduanya benar dan keduanya salah. Oleh karena itu, perlu dicari indikasi lainnya.
·         Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana mendapatkan hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama, menghindarkan terpidana daripada hukuman. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
ادرؤوا الحدودباالشبهات.(رواه البيهقى)
Artinya:
“Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud apabila terdapat keraguan” (H.R. Al-Baihaqi)
·         Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat. Syari’at Islam didasarkan pada keringanan, sebagaimana firman Allah SWT., dalam surat Al-Baqarah, 2 : 185 :
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah : 185)

     IV.            Tarjih menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash
Menurut Al-Amidi ada lima belas cara pen-tarjih-an dengan menggunakan faktor lain di luar nash, namun Imam Asy-Syaukani meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya:
·         Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.
·         Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnnya Al-Qur’an dan penafsirannnya. Selain itu, ada anjuran untuk mengikuti mereka.
·         Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
·         Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
·         Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
b.      Tarjih bain al-qiyas
Wahab Al-Zuhaili mengelompokkan tujuh belas cara pen-tarjih-an dalam persoalan qiyas yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani ke dalam empat kelompok.
        i.            Dari segi hukum ashal
Pen-tarjih-an qiyas dari segi hukum ashal, menurut Imam Asy-Syaukani bisa menggunakan enam belas cara, di antaranya :
·         Menguatkan qiyas yang hukum ashalnya qath’i dari yang zhanni.
·         Menggunakan qiyas yang landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil, dan dinaskh, sedangkan ijma’ tidak. Tetapi cara ini dibantah oleh Al-Juwaini yang didukung oleh ulama Syafiiyah dan Imam Al-Baidhawi. Ia berpendapat ada kemungkinan bahwa qiyas yang didasarkan pada qiyas lebih kuat dari ijma’, karena ijma’ sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian, ijma’ bisa dianggap sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan dari ashalnya.
·         Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
·         Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
·         Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
·         Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.
      ii.            Dari segi hukum cabang
·         Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum ashalnya.
·         Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath’i dari yang hanya diketahui secara zhanni.
·         Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
    iii.            Dari segi illat
Pentarjihan berdasarkan `illat dapat dibagi dua, yaitu dari segi cara penetapan `illat dan dari segi sifat `illat itu sendiri.[6] Adapun pentarjihan dari segi cara penetapan `illat, antara lain:
a)      Menguatkan `illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai `illat dari yang tidak demikian.
b)          Menguatkan `illat yang dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid dari `illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara `illat dengan hukum.
c)          Menguatkan `illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat yang ditetapkan melalui munasabah karena isyarat dari nash lebih kuat dari `illat yang ditetapkan berdasarkan dugaan mujtahid.
Sementara pentarjihan dari segi sifat `illat, antara lain:
a)          Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b)          Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
c)          Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d)          Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
    iv.            Pentarjihan qiyas melalui faktor luar
Pentarjihan dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan :
·         Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
·         Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat shahabat sebagai salah satu dalil).
·         Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu’ saja.
·         Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari beberapa kutipan definisi, dapat di fahami bahwa yang dimaksud dengan tarjih adalah upaya untuk memperoleh atau memberikan penilaian lebih kuat terhadap alasan-alasan atau dalil-dalil yang dipilih atas dalil-dalil yang tidak terpilih. Hakikat dan tujuan dari definisi tersebut adalah sama, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang sama untuk diamalkan, dan kedua dalil yang bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yakni zhanni.
Berdasarkan persyaratan tarjih, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i al-thubut) dengan hadits Ahad (zhanni al-thubut) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan isinya (dalalah) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain zhanni al-dalalah. Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadits Mutawatir dan yang lain hadits Ahad, karena dalam hal semacam ini hadits Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.
Cara pentarjihan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu at-tarjih baina an-nushush, dan at-tarjih baina al-qiyas.
1.      Tarjih baina an-Nushush, terbagi menjadi beberapa bagian: dari segi sanad, dari segi matan, dari segi Hukum atau kandungan Hukum, tarjih menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash.
2.      Tarjih baina Al-Qiyas, dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: dari segi hukum ashl, dari segi hukum cabang, dari segi illat, pentarjihan dari segi cara penetapan illat, pentarjihan dari sifat illat, dan pentarjihan qiyas melalui faktor luar.

                                    DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al-Ghazali,  Al-Musthafa fi Ilm Al-Ushul, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Amidi, Sayf Ad-Din Abi Al-Hasan ‘Ali, Al-Ahkam fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halabi, Cairo: 1967.
Al-Hafidz ibnu Hajar al-`Asqalani,Bulugh al-Maram
Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Cairo: Dar Rayyan, t.t.
Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, II, Bairut: Dar al-Fikr, 1983.
Al-San`ani, Subul al-Salam Juz. II, Mesir: Tijariyah Kubra, t.t.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997)
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung: 2010
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kaidah Hukum Islam). Jakarta. Pustaka Amani: 2003
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I, Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989.



[1] Al-Jurjani, Al-Ta`rifat, (Singapura: al-haramaini, t.t), hal. 56.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, hal. 162. Lihat Juga. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997), hal. 470. 
[3] Al-Amidi, Syaf Ad-Din Abi Al-Hasan ‘Ali, Al-Ahkam fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halabi, Cairo; 1967
[4] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Musthafa fi Ilm Al-Ushul, Beirut: Dar Al-Ilmiyah.
[5] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islami,  (Bandung: Al Ma`arif, 1997), hal. 472. Lihat Juga uraian hadith tersebut dalam Al-San`ani, Subul al-Salam Juz. II, (Mesir: Tijariyah Kubra, t.t), hal. 192.
[6] Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqg al-Islamiyyi…, hal. 1231

#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...