Saturday, 2 April 2016

Al-Ijtihad (Pengertian, Hukum-Hukum, Syarat dan Macam-Macam Ijtihad)

Al-Ijtihad (Pengertian, Hukum-Hukum, Syarat dan Macam-Macam Ijtihad)
Makalah Ushul Fiqh
Oleh : Yana (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipahami seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullullah maupun yang baru terjadi.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian ijtihad ?
2.    Apa saja hukum-hukum ijtihad ?
3.    Apa saja syarat-syarat ijtihad ?
4.    Apa saja macam-macam ijtihad ?

PEMBAHASAN

1.    Ijtihad
a.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Dengan mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan.[1]Sedangkan secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara. Ada dua bentuk masdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu: pertama kata jahd, yang mengandung kesungguhan. Arti ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S al-An’am (6): 109:Ê

Artinya: “Bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan”.Q.S al An’am (6): 109).[2]
Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang ada di dalamnya terkandung makna (kesulitan dan kesusahan).[3] Pengertian yang kedua ini sejalan dengan firman Allah pada Q.S at-Taubah (9): 79:

ššالَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
  Artinya: “Orang-orang (munafik) mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan itu mereka azab yang pedih". (Q.S at-Taubah (9): 79).[4]
Dari segi bahasa, artinya ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan “ijtihad” tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.[5] Ijtihad artinya upaya mengarahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
   Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci. [6]Semantara itu, sebagian ulama yang lain memberikan defenisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum Syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut ulama ahli Ushul.[7]

Contoh ijtihad
 Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah.[8] Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
a.     Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
b.    Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
c.     Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
 Dapat saya simpulkan bahwa ijtihad bisa juga diartikan sebagai kesanggupan seorang ahli hukum Islam untuk mendapatkan pengetahuan mengenal hukum atas suatu hal melalui dalil syara (agama), ijtihad juga dilakukan dalam berbagai bidang filsafat, muamalah, aqidah. Oleh sebab itu para ulama ushul telah melakukan usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci tersebut.

2.    Hukum-Hukum Ijtihad
a.    Wajib’ain
b.    Wajib kifayah
c.    sunnat[9]

3.    Syarat-Syarat Ijtihad
a.    Persyarataan secara umum
1.     Balig, persyarataan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang
mujtahid diperlukan dalam kemantangan berfikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kemantangan berfikir. Itulah sebabnya, anak-anak tidak dibebani tanggung jawab hukum (tidak mukallaf).
2.      Berakal
3.      Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak.
4.   Memilki keimanan yang baik, dalam arti, keimanannya tidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang awam.[10]

b.   Persyaratan utama
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat yang harus dimilki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Setelah memenuhi persyarantan umum yang di atas , pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid haruslah pula memiliki beberapa syarat utama sebagai berikut:
1.    Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam    alquran, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2.    Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at.
Menurut Asy-Syakauni, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu dia harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil reverensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
3.    Mengetahui permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma.
4.     Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta sebagai problamatikanya. Di kalangan ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang nota bene keduanya berbahasa arab.
Dalam masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab
5.  Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu ushul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad
6.  Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah dimansukh.
7.  Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-instinbat-nya, karena Qiyas merupaka kaidah dalam berijtihad.
8.  Mengetahui muqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum.[11]

Menurut asy-Syathiby, dasar ijtihad ada dua:
a.  Memahami tujuan syari’ah. Dasar dari hal ini bahwa kemaslahatan dalam Islam merupakan hakekat yang inti.
b.  Kemampuan beristinbath, dengan menguasai alat istinbath, yaitu mengatahui bahasa Arab, hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, Sunnah, ijma, perbedaan pendapat dikelangan ahli fiqih, macam-macam qiyas.[12]
Dapat saya simpulkan dari syarat-syarat diatas bahwasanya kita harus mengetahui arti dari ayat-ayat hukum yang dapat dalam Al-Quran, agar kita mengetahui dimana letak-letaknya, supaya memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Dan juga menguasai dan mengetahui hadis- hadis tentang hukum yang yang ada dalam al-qur’an maupun hadisnya, kita harus mengetahui nask dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-sunnah agar kita tidak salah dalam menetapkan hukum tersebut. Mengetahui bahasa Arab, karena agar kita bisa mengartikan apa yang terdapat dalam bahasa Arab taersebut dengan bahasa Indonesia.

4.    Macam- Macam Ijtihad
Menurut Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syaitibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a.    Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nasah.
b.    Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan As-sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.    Ijtihad Al-Istihalah, yaitu ijtihad  tarhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istihalah.[13]
Adapun ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (Mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.    Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu pristiwa hukum yang belum diketahui ketentuan hukumnya.
b.    Ijtihad jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama.[14]
   Dapat saya simpulkan bahwa agar kita dapat mudah dalam menjelaskan hukum-hukum syara yang terdapat dalam nash al-qur’an dan as-sunnah supaya tidak salah dalam menjelaskan hukum yang telah ditetapkan, baik dari al-qur’an maupun as-sunnah, melalui cara penalaran yang berdasarkan kemaslahatan.

SIMPULAN

1. Pengertian ijtihad
            secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara.
2. Hukum-Hukum Ijtihad
a.    Wajib’ain
b.    Wajib kifayah
c.    Sunnat
3.    Syarat-syarat ijtihad
a.    Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam alquran
b.    Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum
c.    Mengetahui permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma.
d.    Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta sebagai problamatikanya.
e.    Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu
f.     Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah dimansukh.
g.    Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-instinbat-nya


DAF TAR PUSTAKA

Dahlan Rahman. 2011. Ushul Figh. Jakarta: Hamzah

Hanifie. 1980. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Bumirestu

Khallaf Wahab Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama

Koto Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Rachmat Syafi’i. 2010.  Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

RI Agama Departemen. 2002. Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahanny. Semarang:      PT Karya Toha Putra

Zahra Abu Muhammad. 2008. Ushul al-Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus

Zuhaili Wahbah. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an Lengkap dan Praktis. Jakarta: Gema Insani




1Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011) hal. 127
2Wahbah Zuhaili, Ensiklopedia Al-Qur’an Lengkap dan Praktis,(Jakarta: Gema Insani,
 2007) hal. 112
[3] Rahman Dahlan, Ushul Figh,  ( Jakarta: Hamzah, 2011)  hal. 338
[4] Ibid, hal 159
[5]Hanifie, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Bumirestu, 1980) hal. 151
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama, 1994) hal.338
[7] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 567
             [8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahanny, (Semarang: PT Karya Toha Putra 2002) hlm. 90
[9]Ibid, hal 150
[10]Ibid, hlm.350
[11] Syafi’i Rachmat,  Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). hal 105-106
[12] Ibid, hal 577
[13] Ibid, hal 104
[14] Ibid, hal 349

loading...