Al-Ijtihad (Pengertian, Hukum-Hukum, Syarat dan Macam-Macam Ijtihad)
Makalah Ushul Fiqh
Oleh : Yana (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
Oleh : Yana (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk
menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga dalam
perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa
selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita
kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode
tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi
tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui
perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad.
Misalnya bisa dipahami seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat,
dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah
tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam
segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara
untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan
Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang
menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus
berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan
pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullullah maupun yang baru
terjadi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian ijtihad ?
2. Apa saja hukum-hukum ijtihad ?
3. Apa saja syarat-syarat ijtihad ?
4. Apa saja macam-macam ijtihad ?
PEMBAHASAN
1.
Ijtihad
a.
Pengertian Ijtihad
Secara
etimologi, kata ijtihad berasal dari
kata jahada. Dengan
mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih)
dalam perbuatan, yaitu mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan.[1]Sedangkan
secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh
adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara.
Ada dua bentuk masdar yang dapat
terbentuk dari kata jahada, yaitu:
pertama kata jahd, yang mengandung
kesungguhan. Arti ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S al-An’am (6): 109:Ê
Artinya:
“Bersumpah dengan nama Allah dengan
segala kesungguhan”.Q.S al An’am (6): 109).[2]
Kedua,
kata juhd dengan arti adanya
kemampuan yang ada di dalamnya terkandung makna (kesulitan dan kesusahan).[3]
Pengertian yang kedua ini sejalan dengan firman Allah pada Q.S at-Taubah (9):
79:
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Orang-orang (munafik) mencela orang-orang
mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang
tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang
munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan itu
mereka azab yang pedih". (Q.S at-Taubah (9): 79).[4]
Dari segi bahasa, artinya ijtihad
ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan “ijtihad” tidak
digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan kesanggupan untuk menetapkan
hukum-hukum syari’at.[5]
Ijtihad artinya upaya mengarahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai
pada suatu perkara atau perbuatan.
Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha
seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali
hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci. [6]Semantara
itu, sebagian ulama yang lain memberikan defenisi ijtihad adalah usaha
mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan
hukum-hukum Syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut
ulama ahli Ushul.[7]
Contoh ijtihad
Dalam
surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan
laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah.[8]
Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak
pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang
tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan
yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya
bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.
Dari definisi diatas dapat ditarik
kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
a. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang
lain.
b. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i
bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum
yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
c. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad
statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti
kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan
salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan kebenarannya lebih
absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Dapat saya simpulkan bahwa ijtihad bisa juga
diartikan sebagai kesanggupan seorang ahli hukum Islam untuk mendapatkan
pengetahuan mengenal hukum atas suatu hal melalui dalil syara (agama), ijtihad
juga dilakukan dalam berbagai bidang filsafat, muamalah, aqidah. Oleh sebab itu
para ulama ushul telah melakukan usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan
seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari
dalil-dalil yang terperinci tersebut.
2.
Hukum-Hukum Ijtihad
a.
Wajib’ain
b.
Wajib
kifayah
c. sunnat[9]
3.
Syarat-Syarat Ijtihad
a. Persyarataan
secara umum
1. Balig,
persyarataan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang
mujtahid
diperlukan dalam kemantangan berfikir, sedangkan anak-anak belum memiliki
kemantangan berfikir. Itulah sebabnya, anak-anak tidak dibebani tanggung jawab
hukum (tidak mukallaf).
2.
Berakal
3. Memiliki bakat kemampuan nalar yang
tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak.
4.
Memilki keimanan yang baik, dalam arti,
keimanannya tidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang yang awam.[10]
b.
Persyaratan utama
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan
syarat-syarat yang harus dimilki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad).
Setelah memenuhi persyarantan umum yang di atas , pendapat mereka tentang
persyaratan seorang mujtahid haruslah
pula memiliki beberapa syarat utama sebagai berikut:
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat
hukum yang terdapat dalam alquran,
baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2.
Menguasai
dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at.
Menurut
Asy-Syakauni, seorang mujtahid harus
mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat,
misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu dia harus mengetahui
persambungan sanad dalam hadis.
Sedangkan
menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil reverensi dari kitab-kitab
yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain.
3.
Mengetahui
permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma.
4.
Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin
ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta sebagai problamatikanya. Di kalangan
ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui
(menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf,
balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi
pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang nota
bene keduanya berbahasa arab.
Dalam
masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang
harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan)
bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab
5.
Mengetahui
ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu ushul fiqih menjadi
dasar dan pokok ijtihad
6.
Mengetahui
nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang
sudah dimansukh.
7.
Mengetahui
Qiyas dan berbagai persyaratan serta
meng-instinbat-nya, karena Qiyas
merupaka kaidah dalam berijtihad.
8.
Mengetahui
muqashidu Asy-Syari’ah (tujuan
syari’at) secara umum.[11]
Menurut
asy-Syathiby, dasar ijtihad ada dua:
a.
Memahami
tujuan syari’ah. Dasar dari hal ini bahwa kemaslahatan dalam Islam merupakan
hakekat yang inti.
b.
Kemampuan
beristinbath, dengan menguasai alat istinbath, yaitu mengatahui bahasa Arab,
hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, Sunnah, ijma, perbedaan pendapat
dikelangan ahli fiqih, macam-macam qiyas.[12]
Dapat
saya simpulkan dari syarat-syarat diatas bahwasanya kita harus mengetahui arti
dari ayat-ayat hukum yang dapat dalam Al-Quran, agar kita mengetahui dimana
letak-letaknya, supaya memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Dan juga
menguasai dan mengetahui hadis- hadis tentang hukum yang yang ada dalam
al-qur’an maupun hadisnya, kita harus mengetahui nask dan mansukh dari
Al-Qur’an dan As-sunnah agar kita tidak salah dalam menetapkan hukum tersebut.
Mengetahui bahasa Arab, karena agar kita bisa mengartikan apa yang terdapat
dalam bahasa Arab taersebut dengan bahasa Indonesia.
4. Macam-
Macam Ijtihad
Menurut
Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syaitibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad
Al-Batani, yaitu ijtihad menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nasah.
b. Ijtihad
Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-qur’an
dan As-sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad
Al-Istihalah, yaitu ijtihad tarhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istihalah.[13]
Adapun
ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (Mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Ijtihad
fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh
seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu pristiwa
hukum yang belum diketahui ketentuan hukumnya.
b.
Ijtihad jama’i,
yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan
hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan
bersama. Ijtihad model inilah yang
disebut dengan ijma’ al-ulama.[14]
Dapat saya simpulkan bahwa agar kita
dapat mudah dalam menjelaskan hukum-hukum syara yang terdapat dalam nash al-qur’an
dan as-sunnah supaya tidak salah dalam menjelaskan hukum yang telah ditetapkan,
baik dari al-qur’an maupun as-sunnah, melalui cara penalaran yang berdasarkan
kemaslahatan.
SIMPULAN
1.
Pengertian
ijtihad
secara istilah pengertian ijtihad
yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum-hukum syara.
2.
Hukum-Hukum
Ijtihad
a.
Wajib’ain
b. Wajib kifayah
c. Sunnat
3. Syarat-syarat ijtihad
a.
Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam alquran
b.
Menguasai
dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum
c.
Mengetahui
permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma.
d. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin
ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta sebagai problamatikanya.
e.
Mengetahui
ilmu ushul fiqih dan harus kuat dalam ilmu
f.
Mengetahui
nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah
dimansukh.
g.
Mengetahui
Qiyas dan berbagai persyaratan serta
meng-instinbat-nya
DAF
TAR PUSTAKA
Dahlan Rahman.
2011. Ushul Figh. Jakarta: Hamzah
Hanifie. 1980. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Bumirestu
Khallaf Wahab
Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang:
Dina Utama
Koto
Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rachmat Syafi’i. 2010. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
RI
Agama Departemen. 2002. Al-Qur’an
Al-Karim dan terjemahanny. Semarang: PT Karya Toha Putra
Zahra Abu Muhammad. 2008. Ushul al-Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zuhaili
Wahbah. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an
Lengkap dan Praktis. Jakarta: Gema Insani
[3] Rahman Dahlan, Ushul Figh, ( Jakarta: Hamzah, 2011) hal. 338
[4] Ibid, hal 159
[5]Hanifie, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Bumirestu,
1980) hal. 151
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama,
1994) hal.338
[7] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008) hal. 567
[11] Syafi’i Rachmat, Ilmu
Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). hal 105-106
[12] Ibid, hal 577
[13] Ibid, hal 104
[14] Ibid, hal 349