SADD Al-DZARI'AH
Makalah Ushul Fiqh
Oleh:Witra Widodo (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
A.
PENDAHULUAN
Pada zaman modern yang kita rasakan pada
saat ini, para kalangan maanusia tidak lagi mementingkan atau tidak bisa untuk
membandingkan lagi mana tugas yang kita harus kerjakan dan mana tugas semestinya
yang sangat di perintahkan untuk meninggalnya, akan tetapi sampai detik ini, para manusia apalagi
kalangan anak-anak mudah yang salah satu aset negara, mereka masih
menggunakan hawa nafsunya saja dengan kata lain, tidak bisa membedakan mana
yang hak dan mana yang batil, sehingga banyak sekali terjadi pelanggaran
norma-norma, apapun itu bentuknya sehingga kedholiman merajalela.
Oleh karena itulah kami mengupas pembahasan di
bawah ini secara terperinci, supaya kalangan anak mudah sedikt lebih faham akan
hal-hal yang di anjurkan Allah dan Rosulnya sehingga menjadi insan yang mulia
di hadapan Manusiah dan terlebih lagi di hadapan Allah sesuai apa yang di
janjikan oleh Allah bahwa “manusia yang paling muliai di hadapan ku adalah
mereka yang paling banyak ketakwaannya”. Dan semoga pembahasan ini juga yang
kemudian tidak hanya di fahami namun ketika kita menemukan permasalahan
mengenai ruang lingkup ini nantinya, kita tidak akan keliru lagi mana yang di
perbolehkan dan mana yang di larang.
A.
PEMBAHASAN
a.
Sadd al-Dzari’ah.
1.
Pengertian adz-Dzari’ah
secara etimologi sadduz-Dzari’ah
( سد الذريعة ) terdiri dari dua unsur kata yaitu kata sadd (سد) yang berarti menutup
atau menyumbat, sedangkan kata al-Dzari’ah
(الذريعة) – jamaknya (الذرائع) berarti “jalan” atau
al-wasilah yaitu menghubungkan kepada sesuatu, baik sifatnya positif maupun
negatif.
Adapun secara
terminologi bahwa yang di maksud
dengan sadd al-Dzari’ah itu adalah menutup jalan atau mencegah
hal-hal yang bisa membawa atau menimbulkan terjadinya
kerusakan. Dengan kata lain segala sesuatau baik yang berbentuk fasilitas,
sarana, keadaan, dan prilaku, yang mungkin membawa kepada kemudhoratan
hendaklah di ubah atau di larang.
Sebagaimana yang di kemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan, bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan maka
hukumnya haram, sebaliknya bila sesuatu itu menyangkut hal yang mubah maka
hukumnya boleh. Untuk menyebut
kedua jenis Zari’ah ini,
sebagaimana di jelaskan oleh Nasrun Haroen dengan mengutip pendapat Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah dan imam al- Qorafi yaitu terhadap hal-hal yang dilarang di sebut dengan
sadd- al-Dzari’ah () dan terhadap
hal-hal yang di anjurkan dengan Fath al- Dzari’ah.[1]
Jadi
dapat di simpulkan, saddus-Dzari’ah secara garis besarnya adalah suatu
perbuatan yang kemudian ketika kita mau mengerjakannya hendaklah memahami
terlebih dahulu hukumnya apakah itu bersifat larangan ataupun perintah. Kalau
itu berupa perintah maka kita wajib untuk mengerjakannya, dan kalau itu
kemudian menimbulkan kemudhoratan maka hal itu di haramkan.
2.
Metode penentuan hukum adz-Dzari’ah
Predikat-predikat
hukum syara’ yang di letakkan kepada perbuatan yang bersifat adz-Dzari’ah
dapat di tinjau dari dua segi yaitu :
Ø Ditinjau dari segi al-Bai ‘its ( motip pelaku)
Ø Di tinjau dari
segi dampak yang di timbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motip
dan niat pelaku.
Al-Ba
‘its adalah motip yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan, baik
motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang di benarkan (halal) maupun motifnya
untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seseorang yang
melakukan akad nikah dengan seorang wanita. Akan tetapi, niatnya ketika
menikah tersebut bukan untuk mencapai tujuan nikah yang disyari’atkan islam,
yaitu membangun rumah tangga yang harmonis dan abadi selamanya, melainkan agar
setelah di ceraikannya, wanita
tersebut halal menikah lagi dengan
mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga kali talak.
Contoh lainya, A menjual barang dengan cara cicilan kepada
si B dengan harga dua juta rupiah.
Kemudian A membeli kembali barang
tersebut dari B dengan cara tunai seharga satu juta rupiah. Jika dua akad tersebut
di lihat secara terpisah, kedua-dua akad akan menjadi sah karena memenuhi
ketentuan akad kerena memenuhi akad yang di benarkan, di mana
pada hakikatnya si A meminjamkan uang kepada si B satu jutah rupiah yang akan
di bayar si B secara cicilan sebesar dua juta rupiah.
Kedua contoh
diatas, motif para-para pelaku adalah
melakukan perbuatan yang halal dengan tujuan yang terlarang (haram).
Pada umumnya,
motif pelaku suatu perbuatan sangat
sulit di ketahui oleh orang lain, karena ada di dalam kalbu orang yang
bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyana (di kaitkan dengan dosa atau
pahala yang akan di terimah pelaku di akhirat). Pada Dzari ‘ah.
Semata-mata pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat di jadikan dasar untuk
memberikan ketentuan hukum batal atau fasad nya suatu transaksi.
Tinjauan yang
kedua, di fokuskan pada segi mashlaha dan
mafsadah yang di timbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang di
timbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan
tersebut di perintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau
sunah). Sebaliknya, jika rentetan perbuataan tersebut membawa kepada kerusakan,
maka perbuatan tersebut adalah terlarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram
atau makhruh).
Sebagai contoh,
seseorang mencaci maki berhala-berhala orang musyrik sebagai bukti keimanannya
kepada Allah dan ketika dia mengerjakan sesuai dengan keimanannya. Akan tetapi,
perbuatannya tersebut mengakibatkan tindakan balasan dalam bentuk cacimaki pula
pada orang musyrik terhadap Allah. Oleh karena itu, perbuatan teersebut menjadi
terlarang. Dalam hal ini, Allah berfirman pada surat al-An ‘am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“
Dan janganlah memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpaa pengetahuan”.[2]
Jadi dapat di simpukan bahwa Allah SWT,
melarang dengan keras kepada hambanya untuk mencaci maki kepada sesama manusia
baik itu kepada orang kafir, maupun itu sesama muslim, karena dari ayat di atas
bahwa pada hakekatnya ketika kita mencaci maki orang lain dan orang lain ittu
membalasnya maka hal itu sama saja mencaci maki kita pribadi.
3.
Kedudukan Sadd al-Dzari ‘ah dalam hukum islam
Imam Malik dan
Ahmad Hanbal menjadikan adz-Dzari ‘ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu
Hanifa dan Imam asy-Syafi’i menjadikannya juga sebagai suatu dalil, akan tetapi
pada waktu yang lain menolaknya sebagai suatu dalil.
Sebagai contoh, Imam asy-Syafi’i membolehkan seorang yang
uzur (seperti sakit dan orang musafir), meninggalkan sholat jum’at, dan
menggantinya dengan Dzuhur, namun hendaknya ia mengerkajakan sholat Dzuhur
tersebut dengan secara tersembunyi dan diam-diam, agar tidak di tuduh orang
sengaja meninggalkan sholat jum’at.
Demikian juga
orang yang tidak berpuasa karena uzur, agar tidak makan di hadapan orang yang
sedang berpuasa sehingga ia terhindar dari fitnah. Sedangkan ulama dari
kalangan Syi’ah juga menggunakan sadd
adz-Dzari ‘ah. Akan tetapi Ibnu Hazm azh-Zhahiri sama sekali menolak sebagai
dalil syara' (hujjah).
Kelompok yang memandang add-Dzri’ah sebagai hujjah
mereka mempunyai dalil sebagaimana yang di firmankan Allah pada surat
al-Baqoroh ayat 104:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengatakan “Ra ‘ina”(kepada nabi muhammad) tetapi
katakanlah: Unzhurna dan
dengarlah. Dan
bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedi.”
Kata Ra ‘inah berarti: Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami, ketika
para sahabat menghadapkan kata-kata ini kepada Rosulullah, orang Yahudi juga
memakai kata ini dengan Ra’ina,
seakan-akan menyebut Ra‘inah, padahal
yang mereka katakan Ru ‘unah
kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rosulullah. Itulah sebabnya Allah
menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata Ra‘inah dengan Unzurna
yang juga arti.
Dampak dari
perbuatan seseorang mencaci maki orang tua orang lain seolah-olah melaknat
orang tua sendiri, sehingga menjadi dosa besar. Menghindari perbuatan tersebut adalah sebagian dari sadd adz- dza ri‘ah.[3]
Jadi
dapat di simpulkan bahwa, kedudukan Add-Dzari’ah itu sendiri menjadi suatu
kalimat yang selalu di pakai oleh kalangan Imam Maliki dan Hanbali dalam
menentukan suatu hukum, baik itu bersifat larangan ataupun perintah, namun dari
kalangan Imam asy-Syafi’i dan Hanafi beliau juga menggunakan juga sebagai suatu
dalil, namun beliau pada waktu yang lain bisa juga menolaknya dengan alasan
tertentu.
4.
Pengakuan Madzhab Tentang Sadduz-Dzari’ah
Mereka pada
prinsipnya tetap sepakat bahwa Dzari’ah ini merupakan sumber pokok yang
di akui dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fhiqiyah yang mendapatkan ketetapan
hukum berdasarkan syar’i di antaranya sebagai berikut:
1.
Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang
tertawan. Di tinjau dari hukum asal, perbuatan itu adalah haram, karena berarti
memperkuat musuh, dari mengancam kedudukan kaum muslim. Pennyerahan tebusan itu
menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari
perbudakan sekaligus memperkokoh pasukann muslimin. Contoh ini termasuk konteks
fath dzara’i, bukan saddu dzari’ah.
2.
Pemberian upeti kaum muslimin kepada negara musuh untuk
menghindarkan kedzolimannya, apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan
untuk menghadapi pemerintah yang berkuasa, demi mempertahankan wilayahnya.
3.
Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedhaliman, apabila
ia tidak mampu utnuk menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar para
ulama Madzhab Hanbali dan Maliki memperbolehkannya, jika dimaksudkan untuk
mendapatkan sesuatu yang haq atau murni, dan pemberian suap merupakan jalan
satu-satunya. Namun apabila dapat di lawan oleh orang yang lebih tinggi atau
sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak di perbolehkan. Begitu pula,
apabila kebenaran itu dapat i tempuh dengan car lain, meski harus dengan susah
payah.
4.
Memberikan harta/uang kepada orang-orang yang menghalangi
perjalanan haji. Mereka menahan perjalanan jama’ah haji yang hendak menuju ke
Baitullah (al-Haram), kecuali apabila para jema’ah mau mengalah dengan memberi
sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab Maliki dan Hanbali
memperbolehkannya.
Demikianlah sebagian
pemakaian dalil syar’i sebagai mana telah di terangkan di muka tadi, meskipun
tidak secara terang-terangan, di terapkan oleh semua madzhab fikh. Dalil ini
terutama banyak di pakai oleh kalangan madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Abu Hanifah, walaupun relatif sedikit
menggunakannya, namun tidak menolaknya secara total. Hanya saja kedua Imam
terakhir ini tidak menganggapnya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri,
tapi secara inplisit, termasuk kepada sumber-sumber pokok lain yang di akui,
seperti qiyas dan Istihsan yang di pakai madzhb Hanafiy yang tidak jauh
berbedah dari sumber pokok yang di pakai
Imam Syafi’i kecuali dalam ‘Urf.
Jadi setiap
perkara yang di takutkan di mana Allah SWT telah menyerahkan sepenuhnya kepada
amanat/kepercayaan orang mukhallaf, tidak bisa di katakan dzari’ah
kepada perbuatan terlarang, sehingga ia tidak
mau mengerjakannya (karena menganggap haram) sebagaimana Allah
menjadikan wanita terpercaya dalam hal menyangkut pengakuan akan kesucian,
meskipun mengandung akibat yang cukup besar. Sehubngan dengan ucapan itu, di
sana juga menyangkut pula mengenai kehalalan, keharaman dan hubungan nasab,
walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.[4]
jadi dapat di
simpulkan bahwa, Imam Maliki dan Hanbali memperbolehkan suatu negara memberikan
suatu tebusan kepada negara musuh kita, akan tetapi disana dengan alasan untuk
mencega suatu kedzoliman yang kemudian ketika hal itu tidak di berikan maka
negara tersebut ingin menbantai pasukan masyarakat yang ada di negara itu
sendiri, namun hal itu hanya pendapat Imam yang dua itu saja kalau menurut Imam
asy-Syafi’i adalah hal itu perlu di qiyaskan lagi karena di sana belum menemui kejelasan suatu permasalahannya.
B. KESIMPULAN
kesemua penjelasan
di atas, jelaslah bahwa Add-Dzari’ah itu merupkan suatu hukum atau sumber
ajaran pokok yang secara eksplisit di tuturkan di dalam kitab-kitab dari
madzhab Maliki dan Hanbali karena madzhab yang lain tidak menuturkan dengan
judul itu. Jaadi setelah kita mempelajari dari uraian bab ini tentula kita
mengetahui mana yang kemudian perbuatan yang kita harus lakukan sesuai dengan
perintah dan mana perbuatan yang kita lakukan yang tidak di perintahkan. Dan
hendaklah kita menilai ketika hendak melakukan sesuatu apakah itu hal yang mengandung manfaat ataukah
mengandung kemudhoratan dengan kita berkaca dari kata itu maka kita insyaallah
menjadi insan yang mulia dan selalu selamat dunia dan akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan. Jakarta: (Amzan). 2011.
Drs. Romli. S.Ag. MA. 2006, Ushul Fikh, (Palembang: IAIN Raden
Fatah Press).
Prof. Muhammad Abu Zahrah, 2008, Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka
Firdaus).