Saturday, 2 April 2016

SADD AL-DZARI’AH - Ushul Fiqh

SADD Al-DZARI'AH 
Makalah Ushul Fiqh
Oleh:Witra Widodo (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang 

A.    PENDAHULUAN
Pada zaman modern yang kita rasakan pada saat ini, para kalangan maanusia tidak lagi mementingkan atau tidak bisa untuk membandingkan lagi mana tugas yang kita harus kerjakan dan mana tugas semestinya yang sangat di perintahkan untuk meninggalnya, akan tetapi sampai detik  ini, para manusia  apalagi  kalangan anak-anak mudah yang salah satu aset negara, mereka masih menggunakan hawa nafsunya saja dengan kata lain, tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, sehingga banyak sekali terjadi pelanggaran norma-norma, apapun itu bentuknya sehingga kedholiman merajalela.
 Oleh karena itulah kami mengupas pembahasan di bawah ini secara terperinci, supaya kalangan anak mudah sedikt lebih faham akan hal-hal yang di anjurkan Allah dan Rosulnya sehingga menjadi insan yang mulia di hadapan Manusiah dan terlebih lagi di hadapan Allah sesuai apa yang di janjikan oleh Allah bahwa “manusia yang paling muliai di hadapan ku adalah mereka yang paling banyak ketakwaannya”. Dan semoga pembahasan ini juga yang kemudian tidak hanya di fahami namun ketika kita menemukan permasalahan mengenai ruang lingkup ini nantinya, kita tidak akan keliru lagi mana yang di perbolehkan dan mana yang di larang.

A.                PEMBAHASAN
a.       Sadd al-Dzari’ah.
1.      Pengertian  adz-Dzari’ah
secara etimologi sadduz-Dzari’ah ( سد الذريعة  ) terdiri dari dua unsur kata yaitu kata sadd (سد) yang berarti menutup atau menyumbat, sedangkan kata al-Dzari’ah (الذريعة) – jamaknya (الذرائع) berarti “jalan” atau al-wasilah yaitu menghubungkan kepada sesuatu, baik sifatnya positif maupun negatif.
Adapun secara  terminologi  bahwa yang di maksud dengan sadd al-Dzari’ah  itu adalah menutup jalan atau mencegah hal-hal  yang bisa  membawa atau menimbulkan terjadinya kerusakan. Dengan kata lain segala sesuatau baik yang berbentuk fasilitas, sarana, keadaan, dan prilaku, yang mungkin membawa kepada kemudhoratan hendaklah di ubah atau di larang.
     
      Sebagaimana yang di kemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan maka hukumnya haram, sebaliknya bila sesuatu itu menyangkut hal yang mubah maka hukumnya boleh.  Untuk  menyebut  kedua jenis Zari’ah ini, sebagaimana di jelaskan oleh Nasrun Haroen dengan mengutip pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan imam al- Qorafi yaitu terhadap hal-hal yang dilarang di sebut dengan sadd- al-Dzari’ah () dan terhadap  hal-hal yang di anjurkan dengan Fath al- Dzari’ah.[1]
                        Jadi dapat di simpulkan, saddus-Dzari’ah secara garis besarnya adalah suatu perbuatan yang kemudian ketika kita mau mengerjakannya hendaklah memahami terlebih dahulu hukumnya apakah itu bersifat larangan ataupun perintah. Kalau itu berupa perintah maka kita wajib untuk mengerjakannya, dan kalau itu kemudian menimbulkan kemudhoratan maka hal itu di haramkan.
2.      Metode penentuan hukum adz-Dzari’ah
Predikat-predikat hukum syara’ yang di letakkan kepada perbuatan yang bersifat adz-Dzari’ah dapat di tinjau dari dua segi yaitu :
Ø   Ditinjau dari segi al-Bai ‘its ( motip pelaku)
Ø  Di tinjau dari segi dampak yang di timbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motip dan niat pelaku.

Al-Ba ‘its adalah motip yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang di benarkan (halal) maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seseorang  yang  melakukan akad nikah dengan seorang wanita. Akan tetapi, niatnya ketika menikah tersebut bukan untuk mencapai tujuan nikah yang disyari’atkan islam, yaitu membangun rumah tangga yang harmonis dan abadi selamanya, melainkan agar setelah  di ceraikannya, wanita tersebut  halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga kali talak.

            Contoh lainya, A menjual barang dengan cara cicilan kepada si B  dengan harga dua juta rupiah. Kemudian  A membeli kembali barang tersebut dari B dengan cara tunai seharga satu juta rupiah. Jika dua akad tersebut di lihat secara terpisah, kedua-dua akad akan menjadi sah karena memenuhi ketentuan akad   kerena memenuhi akad yang di benarkan, di mana pada hakikatnya si A meminjamkan uang kepada si B satu jutah rupiah yang akan di bayar si B secara cicilan sebesar dua juta rupiah.
            Kedua contoh diatas, motif  para-para pelaku adalah melakukan perbuatan yang halal dengan tujuan  yang terlarang (haram).
            Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit di ketahui oleh orang lain, karena ada di dalam kalbu orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyana (di kaitkan dengan dosa atau pahala yang akan di terimah pelaku di akhirat). Pada Dzari ‘ah. Semata-mata pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat di jadikan dasar untuk memberikan ketentuan hukum batal atau fasad nya suatu transaksi.
            Tinjauan yang kedua, di fokuskan pada segi mashlaha dan mafsadah yang di timbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang di timbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut di perintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunah). Sebaliknya, jika rentetan perbuataan tersebut membawa kepada kerusakan, maka perbuatan tersebut adalah terlarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram atau makhruh).
            Sebagai contoh, seseorang mencaci maki berhala-berhala orang musyrik sebagai bukti keimanannya kepada Allah dan ketika dia mengerjakan sesuai dengan keimanannya. Akan tetapi, perbuatannya tersebut mengakibatkan tindakan balasan dalam bentuk cacimaki pula pada orang musyrik terhadap Allah. Oleh karena itu, perbuatan teersebut menjadi terlarang. Dalam hal ini, Allah berfirman pada surat al-An ‘am ayat 108:
Ÿوَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“ Dan janganlah memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpaa pengetahuan”.[2]
            Jadi dapat di simpukan bahwa Allah SWT, melarang dengan keras kepada hambanya untuk mencaci maki kepada sesama manusia baik itu kepada orang kafir, maupun itu sesama muslim, karena dari ayat di atas bahwa pada hakekatnya ketika kita mencaci maki orang lain dan orang lain ittu membalasnya maka hal itu sama saja mencaci maki kita pribadi.
3.      Kedudukan Sadd al-Dzari ‘ah dalam hukum islam         
            Imam Malik dan Ahmad Hanbal menjadikan adz-Dzari ‘ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu Hanifa dan Imam asy-Syafi’i menjadikannya juga sebagai suatu dalil, akan tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai suatu dalil.
            Sebagai contoh, Imam asy-Syafi’i membolehkan seorang yang uzur (seperti sakit dan orang musafir), meninggalkan sholat jum’at, dan menggantinya dengan Dzuhur, namun hendaknya ia mengerkajakan sholat Dzuhur tersebut dengan secara tersembunyi dan diam-diam, agar tidak di tuduh orang sengaja meninggalkan sholat jum’at.
            Demikian juga orang yang tidak berpuasa karena uzur, agar tidak makan di hadapan orang yang sedang berpuasa sehingga ia terhindar dari fitnah. Sedangkan ulama dari kalangan Syi’ah  juga menggunakan sadd adz-Dzari ‘ah. Akan tetapi Ibnu Hazm azh-Zhahiri sama sekali menolak sebagai dalil syara' (hujjah).
            Kelompok yang memandang add-Dzri’ah sebagai hujjah mereka mempunyai dalil sebagaimana yang di firmankan Allah pada surat al-Baqoroh  ayat 104:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan “Ra ‘ina”(kepada nabi muhammad) tetapi katakanlah: Unzhurna            dan dengarlah.           Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedi.”
           Kata Ra ‘inah berarti: Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami, ketika para sahabat menghadapkan kata-kata ini kepada Rosulullah, orang Yahudi juga memakai kata ini dengan Ra’ina, seakan-akan menyebut Ra‘inah, padahal yang mereka katakan Ru ‘unah kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rosulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata Ra‘inah dengan Unzurna yang juga arti.                                                            
            Dampak dari perbuatan seseorang mencaci maki orang tua orang lain seolah-olah melaknat orang tua sendiri, sehingga menjadi dosa besar. Menghindari  perbuatan tersebut adalah sebagian dari sadd adz- dza ri‘ah.[3]
            Jadi dapat di simpulkan bahwa, kedudukan Add-Dzari’ah itu sendiri menjadi suatu kalimat yang selalu di pakai oleh kalangan Imam Maliki dan Hanbali dalam menentukan suatu hukum, baik itu bersifat larangan ataupun perintah, namun dari kalangan Imam asy-Syafi’i dan Hanafi beliau juga menggunakan juga sebagai suatu dalil, namun beliau pada waktu yang lain bisa juga menolaknya dengan alasan tertentu.
4.      Pengakuan Madzhab Tentang Sadduz-Dzari’ah
            Mereka pada prinsipnya tetap sepakat bahwa Dzari’ah ini merupakan sumber pokok yang di akui dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fhiqiyah yang mendapatkan ketetapan hukum berdasarkan syar’i di antaranya sebagai berikut:
1.      Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Di tinjau dari hukum asal, perbuatan itu adalah haram, karena berarti memperkuat musuh, dari mengancam kedudukan kaum muslim. Pennyerahan tebusan itu menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkokoh pasukann muslimin. Contoh ini termasuk konteks fath dzara’i, bukan saddu dzari’ah.
2.      Pemberian upeti kaum muslimin kepada negara musuh untuk menghindarkan kedzolimannya, apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi pemerintah yang berkuasa, demi mempertahankan wilayahnya.
3.      Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedhaliman, apabila ia tidak mampu utnuk menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar para ulama Madzhab Hanbali dan Maliki memperbolehkannya, jika dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang haq atau murni, dan pemberian suap merupakan jalan satu-satunya. Namun apabila dapat di lawan oleh orang yang lebih tinggi atau sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak di perbolehkan. Begitu pula, apabila kebenaran itu dapat i tempuh dengan car lain, meski harus dengan susah payah.
4.      Memberikan harta/uang kepada orang-orang yang menghalangi perjalanan haji. Mereka menahan perjalanan jama’ah haji yang hendak menuju ke Baitullah (al-Haram), kecuali apabila para jema’ah mau mengalah dengan memberi sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkannya.
            Demikianlah sebagian pemakaian dalil syar’i sebagai mana telah di terangkan di muka tadi, meskipun tidak secara terang-terangan, di terapkan oleh semua madzhab fikh. Dalil ini terutama banyak di pakai oleh kalangan madzhab Maliki dan Hanbali.  Sedangkan Imam asy-Syafi’i dan  Abu Hanifah, walaupun relatif sedikit menggunakannya, namun tidak menolaknya secara total. Hanya saja kedua Imam terakhir ini tidak menganggapnya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, tapi secara inplisit, termasuk kepada sumber-sumber pokok lain yang di akui, seperti qiyas dan Istihsan yang di pakai madzhb Hanafiy yang tidak jauh berbedah dari sumber pokok yang di pakai  Imam Syafi’i kecuali dalam ‘Urf.
            Jadi setiap perkara yang di takutkan di mana Allah SWT telah menyerahkan sepenuhnya kepada amanat/kepercayaan orang mukhallaf, tidak bisa di katakan dzari’ah kepada perbuatan terlarang, sehingga ia tidak  mau mengerjakannya (karena menganggap haram) sebagaimana Allah menjadikan wanita terpercaya dalam hal menyangkut pengakuan akan kesucian, meskipun mengandung akibat yang cukup besar. Sehubngan dengan ucapan itu, di sana juga menyangkut pula mengenai kehalalan, keharaman dan hubungan nasab, walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.[4]
            jadi dapat di simpulkan bahwa, Imam Maliki dan Hanbali memperbolehkan suatu negara memberikan suatu tebusan kepada negara musuh kita, akan tetapi disana dengan alasan untuk mencega suatu kedzoliman yang kemudian ketika hal itu tidak di berikan maka negara tersebut ingin menbantai pasukan masyarakat yang ada di negara itu sendiri, namun hal itu hanya pendapat Imam yang dua itu saja kalau menurut Imam asy-Syafi’i adalah hal itu perlu di qiyaskan lagi karena di sana belum menemui kejelasan suatu permasalahannya.


B.     KESIMPULAN
            kesemua penjelasan di atas, jelaslah bahwa Add-Dzari’ah itu merupkan suatu hukum atau sumber ajaran pokok yang secara eksplisit di tuturkan di dalam kitab-kitab dari madzhab Maliki dan Hanbali karena madzhab yang lain tidak menuturkan dengan judul itu. Jaadi setelah kita mempelajari dari uraian bab ini tentula kita mengetahui mana yang kemudian perbuatan yang kita harus lakukan sesuai dengan perintah dan mana perbuatan yang kita lakukan yang tidak di perintahkan. Dan hendaklah kita menilai ketika hendak melakukan sesuatu  apakah itu hal yang mengandung manfaat ataukah mengandung kemudhoratan dengan kita berkaca dari kata itu maka kita insyaallah menjadi insan yang mulia dan selalu selamat dunia dan akhirat.  
  

                                                DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abd. Rahman Dahlan. Jakarta: (Amzan). 2011.
Drs. Romli. S.Ag. MA. 2006, Ushul Fikh, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press).
Prof. Muhammad Abu Zahrah, 2008, Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka Firdaus).



[1] Romli. 2006, Ushul Fikh, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, hal 161.
[2] Abd. Rahman Dhalan, Ushul Fiqh, 2011 (Jakarta: Amzam), hal  237.
[3] Abd. Rahman Dhalan, Ushul Fiqh, 2011 (Jakarta: Amzam), hal 239.
[4]  Abu Zahrah, 2008, Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka Firdaus), hal 447-448
loading...