Istinbat dan Metode-Metode Istinbat
Oleh: Yopan Samudra (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
diketahui, sumber pokok hukum Islam adalah wahyu. Baik yang tertulis (kitab
Allah / Al-Qur’an) maupun sumber yang tidak tertulis ( Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum
yang terdapat didalam sumber tersebut secara kuantitatif terbatas jumlahnya.
Karena itu, terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah dalam penerapannya
diperlukan penalaran.
Permasalahan-permasalahan
yang tumbuh dalam masyarakat ada kalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas
dalam kitab suci Al-Qur’an atau sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan
dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk
pemecahan-pemecahan permasalahan baru yang belumk ada nashnya secara jelas,
perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap
permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan
dali-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan istinbat hukum?
2.
Apa saja metode yang digunakan dalam beristinbat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istinbat
Kata istinbat
jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan suatu upaya penarikan
hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut bahasa
istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat adalah
upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan
cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut
menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.[2]
1.
Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu
hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang
tepat dari suatu lafadz, yaitu:[3]
a.
Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b.
Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c.
Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
2.
Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan
yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui
kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:[4]
a.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
b.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang
berhubungan dengan masalah hukum.
c.
Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma’, agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
d.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat
mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e.
Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang
benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f.
Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan Sunnah
tersusun dalam bahasa Arab.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna
menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
B.
Macam-MacamMetode Istinbat
1.
Amr
(Perintah), Nahi (Larangan), dan Takhyir
a.
Amr
1)
Pengertian dan bentuk-bentuk Amr
Amr menurut
mayoritas ulama Ushul Fiqh adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan
sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah tingkatannya.[5]
Amratau perintah
juga memiliki kemungkinan didalam bentuk-bentuk hukum dalam penetapannya.[6]
a.
Menunjukkan hukum wajib seperti perintah salat.
b.
Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti
diperbolehkannya memakan daging babi dalam keadaan darurat.
c.
Sebagai anjuran seperti dalam bermuammalah.
d.
Untuk melemahkan terhadap mereka yang ragu akan kebenaran
Al-Qur’an.
e.
Sebagai ejekan dan hinaan misalnya firman Allah tentang orang-orang
yang ditimpa siksa dineraka nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat
Ad-Dukhan ayat 49:
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Artinya:
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.
(Q.S. Ad-Dukhan:49).[7]
2)
Kaidah yang Berhubungan dengan Amr
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari
bentuk amr tersebut, maka seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh,
ada beberapa kaidah yang kemungkinan bisa diberlakukan dalam amr tersebut.
Kaidah pertama, الاصل فى الامر للوجوب" “meskipun dalam suatu perintah mengandung
berbagai macam pengertian, namun, pada dasarnya suatu perintah menemukan hukum
wajib dilaksanakan kecuali ada dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut”.[8]
Kaidah kedua, "دلالة
الامر على التكرار او الوحدة" adalah suatu
perintah yang cukup dilakukan satu kali saja atau berulangkali. Menurut jumhur
ulama Ushul Fiqh pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang
kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya
menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan itu sudah bisa tercapai meskipun hanya
dilakukan satu kali saja.[9]
Misalnya dalam Surat al-Baqarah ayat 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Artinya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah........(Q.S. Al-Baqarah:196)[10]
Kaidah ketiga, دلا لة الامر على الفوراوالتراخى"” adalah suatu perintah
harus dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda. Pada dasarnya suatu
perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil yang
menunjukkan untuk itu. Sebab yang dimaksud suatu perintah hanyalah terwujudnya
perbuatan atas perintah itu sendiri.[11]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa amr adalah
perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih
rendah tingkatannya atau perintah dari orang yang kedudukannya lebih tinggi
kepada bawahannya.
b.
Nahi (Larangan)
1)
Pengertian dan bentuk-bentukNahi
Nahi menurut mayoritas ulama Ushul fiqh mendefinisikan nahi sebagai
larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan menunjukkan kalimat atas hal
itu.[12]
Dalam larangan suatu perbuatan seperti yang dikemukakan
oleh Muhammad Khudari Bik, Allah memakai beragam gaya bahasa diantaranya
adalah:[13]
a)
Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى).
b)
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu
diharamkan (حرم)
c)
Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak
halal.
d)
Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’.
e)
Larangan dengan menggunakan kata kerja perintah namun bermakna
tuntutan.
f)
Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan
pedih.
g)
Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan
keburukan.
h)
Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu
sendiri.
2)
Hukum-hukum yang ditujukan bentuk nahi
a)
Untuk menunjukkan hukum haram.
b)
Sebagai anjuran untuk menunggalkan.
c)
Penghinaan.
d)
Untuk menyatakan permohonan.
3)
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Para Ulama ushul fiqh Merumuskan beberapa kaidah yang
berhubungan dengan larangan antara lain:[14]
Kaidah pertama, الاصل فى النهى للتحريم"”, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan
hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang
menunjukkan hukum lain.
Kaidah kedua, الاصل فى النهى بطلق الفساد مطلقا"”, suatu larangan fasad (rusak) perbuatan
yang dilarang itu jika dikerjakan. Sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Adib
Saleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama ushul fiqh bilamana larangan
itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang
terletak diluar esensi perbuatan itu.Kaidah ketiga, "النهى عن الشىء
امربضده", suatu
larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa nahi adalah larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah
tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
c.
Tahyir (Memberi Pilihan)
Tahyir adalah bahwa Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada
hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum yang
ditujukan oleh ayat atau hadis dalam bentuk tahyir adalah halal atau mubah,
dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.[15]
Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak
melakukan dalam Al-Qur’an terdapat berbagai cara, antara lain:[16]
a.
Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan.
b.
Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan.
c.
Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan
suatu perbuatan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa tahyir adalah bahwa syari’ (Allah dan Rosul-Nya) memberi pilihan pada hamba-Nya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.Hukum
yang ditunjukkan dalam bentuk takhyir
adalah halal atau mubah (boleh dilakukan) dalam arti tidak berpahala jika
dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
2.
Lafal ‘Am dan Khas
a.
Lafal ‘Am
1)
Pengertian dan bentuk-bentuk lafal ‘am
Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah
tertentu. Bentuk kata yang menunjukkan makna umum, yaitu:[17]
a)
Kata setiap dan semua
b)
Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya.
c)
Kata benda yang dima’rifahkan dengan alif lam.
d)
Isim Syarat.
e)
Isim nakiroh.
f)
Isim maushul.
2)
Pembagian lafal ‘Am
Lafal ‘am, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:[18]
a)
Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada
dalil yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan takhsis.
b)
Lafal umumpada hal yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makan seperti itu.
c)
Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan
bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah.
b.
Lafal Khas
1)
Pengertian lafal khas
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian
secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama ushul fiqh
sepakat, seperti disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’
menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti selama tidak ada indikasi yang menunjukkan
pengertian lain.[19]
Jadi, dapat disimpulkan bahwalafal
khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa
pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’
menunjuk pada pengertiannya yang khas secara Qath’i (pasti) dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan
pengertian lain.
3.
Mutlak dan Muqayyad
Secara
bahasa, kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad
berarti terikat. Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan Abdul
Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul fiqh adalah lafal yang menunjukkan
suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.[20]
Ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat
muqayyad. Kaidah ushul fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat
mutlaq harus difahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya. Sebaliknya,
ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasannya.[21]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mutlak adalah lafad yang mencangkup
pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamya. Sedangkan muqayyad
adalah lafad yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafad itu.
4.
Mantuq dan Mafhum
a.
Pengertian dan pembagian mantuq
Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan.
Sedangkan menurut istilah ialah suatu lafal yang diucapkan. Menurut ulama ushul
fiqh, mantuq dibagi kepada mantuq sharih dan mantuq gairu sharih.[22]
Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Menurut istilah adalah makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal
sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.[23]
Sedangkan mantuq ghairu sharih yaitu pengertian
yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafal, tetapi sebagi konsekuensi dari
suatu ucapan. Mantuq ghairu sharih terbagi menjadi 3, yaitu:[24]
1)
Dalalat al-Ima, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena
menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
2)
Dalalat al-Isyarat, yaitu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya,
tetapi merupakan suatu kemestiandari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi
tersebut.
3)
Dalalat al-Iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat
pada redaksi tertentu yang tidak dapat difahami secara lurus kecuali adanya
penyisipan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafadz di tempat pembicaraan atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan
itu sendiri.
b.
Pengertian dan Pembagian Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah sesuatu yang difahami dari suatu teks. Mafhum
terbagi menjadi dua, yaitu:[25]
1)
Mafhum Muwafaqah adalah penunjukan hukum melalui motivasi tersirat
dimana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2)
Mafhum Mukhalafah adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan
dari yang tersurat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mafhum ialah pengertian yang
ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari
pemahaman terdapat ucapan tersebut.
BAB III
SIMPULAN
Istinbath
hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum
(fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan
yang terjadi. Metode dalam beristinbat ada beberapa macam
diantaranya amr (perintah), nahi (larangan), takhyir (pilihan), ‘am (umum) dan
khas (khusus), mutlaq dan muqayyad serta mantuq dan mafhum.
REFERENSI
Dede Rosyada, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemah, (Bandung:
Diponegoro, 2010)
Muin, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama,
1986)
Muhammad, Hukum Islam dan Pranata Sosial, ( Jakarta:
Grapindo,1987 )
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2012)