Friday 1 April 2016

Istinbat dan Metode-Metode Istinbat

Istinbat dan Metode-Metode Istinbat
Oleh: Yopan Samudra (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, sumber pokok hukum Islam adalah wahyu. Baik yang tertulis (kitab Allah / Al-Qur’an) maupun sumber yang tidak tertulis  ( Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum yang terdapat didalam sumber tersebut secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu, terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah dalam penerapannya diperlukan penalaran.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat ada kalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan-pemecahan permasalahan baru yang belumk ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dali-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan istinbat hukum?
2.      Apa saja metode yang digunakan dalam beristinbat?

                                                            BAB II
                                      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istinbat
Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan suatu upaya penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat adalah upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.[2]
1.      Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz, yaitu:[3]
a.       Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b.      Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c.       Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
2.      Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:[4]
a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum.
b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’, agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
d.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e.       Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f.       Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.
Jadi dapat disimpulkan bahwa istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.

B.     Macam-MacamMetode Istinbat
1.      Amr (Perintah), Nahi (Larangan), dan Takhyir
a.      Amr
1)      Pengertian dan bentuk-bentuk Amr
Amr menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Amratau perintah juga memiliki kemungkinan didalam bentuk-bentuk hukum dalam penetapannya.[6]
a.       Menunjukkan hukum wajib seperti perintah salat.
b.      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti diperbolehkannya memakan daging babi dalam keadaan darurat.
c.       Sebagai anjuran seperti dalam bermuammalah.
d.      Untuk melemahkan terhadap mereka yang ragu akan kebenaran Al-Qur’an.
e.       Sebagai ejekan dan hinaan misalnya firman Allah tentang orang-orang yang ditimpa siksa dineraka nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat Ad-Dukhan ayat 49:
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Artinya:
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (Q.S. Ad-Dukhan:49).[7]
2)      Kaidah yang Berhubungan dengan Amr
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk amr tersebut, maka seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang kemungkinan bisa diberlakukan dalam amr tersebut.
Kaidah pertama, الاصل فى الامر للوجوب" “meskipun dalam suatu perintah mengandung berbagai macam pengertian, namun, pada dasarnya suatu perintah menemukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut”.[8]
Kaidah kedua, "دلالة الامر على التكرار او الوحدة" adalah suatu perintah yang cukup dilakukan satu kali saja atau berulangkali. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan itu sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali saja.[9] Misalnya dalam Surat  al-Baqarah ayat 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Artinya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah........(Q.S. Al-Baqarah:196)[10]
Kaidah ketiga, دلا لة الامر على الفوراوالتراخى"” adalah suatu perintah harus dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil yang menunjukkan untuk itu. Sebab yang dimaksud suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan atas perintah itu sendiri.[11]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya atau perintah dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada bawahannya.

b.      Nahi (Larangan)
1)      Pengertian dan bentuk-bentukNahi
Nahi menurut mayoritas ulama Ushul fiqh mendefinisikan nahi sebagai larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan menunjukkan kalimat atas hal itu.[12]
Dalam larangan suatu perbuatan seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Khudari Bik, Allah memakai beragam gaya bahasa diantaranya adalah:[13]
a)      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى).
b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan (حرم)
c)      Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal.
d)     Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’.
e)      Larangan dengan menggunakan kata kerja perintah namun bermakna tuntutan.
f)       Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
g)      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
h)      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.
2)      Hukum-hukum yang ditujukan bentuk nahi
a)      Untuk menunjukkan hukum haram.
b)      Sebagai anjuran untuk menunggalkan.
c)      Penghinaan.
d)     Untuk menyatakan permohonan.
3)      Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Para Ulama ushul fiqh Merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan antara lain:[14]
Kaidah pertamaالاصل فى النهى للتحريم"”, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Kaidah kedua, الاصل فى النهى بطلق الفساد مطلقا"”, suatu larangan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Adib Saleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama ushul fiqh bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.Kaidah ketiga, "النهى عن الشىء امربضده", suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

c.       Tahyir (Memberi Pilihan)
Tahyir adalah bahwa Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum yang ditujukan oleh ayat atau hadis dalam bentuk tahyir adalah halal atau mubah, dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.[15]
Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam Al-Qur’an terdapat berbagai cara, antara lain:[16]
a.       Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan.
b.      Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan.
c.       Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tahyir adalah bahwa syari’ (Allah dan Rosul-Nya) memberi pilihan pada hamba-Nya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.Hukum yang ditunjukkan dalam bentuk takhyir adalah halal atau mubah (boleh dilakukan) dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

2.      Lafal ‘Am dan Khas
a.      Lafal ‘Am
1)      Pengertian dan bentuk-bentuk lafal ‘am
Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Bentuk kata yang menunjukkan makna umum, yaitu:[17]
a)      Kata setiap dan semua
b)      Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya.
c)      Kata benda yang dima’rifahkan dengan alif lam.
d)     Isim Syarat.
e)      Isim nakiroh.
f)       Isim maushul.
2)      Pembagian lafal ‘Am
Lafal ‘am, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:[18]
a)      Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan takhsis.
b)      Lafal umumpada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makan seperti itu.
c)      Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa  lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah.
b.      Lafal Khas
1)      Pengertian lafal khas
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama ushul fiqh sepakat, seperti disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.[19]
Jadi, dapat disimpulkan bahwalafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara Qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.

3.      Mutlak dan Muqayyad
Secara bahasa, kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul fiqh adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.[20]
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad. Kaidah ushul fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus difahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya. Sebaliknya, ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasannya.[21]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa  mutlak adalah lafad yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamya. Sedangkan muqayyad adalah lafad yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafad itu.

4.      Mantuq dan Mafhum
a.       Pengertian dan pembagian mantuq
Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah ialah suatu lafal yang diucapkan. Menurut ulama ushul fiqh, mantuq dibagi kepada mantuq sharih dan mantuq gairu sharih.[22]
Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Menurut istilah adalah makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.[23]
Sedangkan mantuq ghairu sharih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafal, tetapi sebagi konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq ghairu sharih terbagi menjadi 3, yaitu:[24]
1)      Dalalat al-Ima, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
2)      Dalalat al-Isyarat, yaitu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu  redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestiandari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut.
3)      Dalalat al-Iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat pada redaksi tertentu yang tidak dapat difahami secara lurus kecuali adanya penyisipan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa  mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan atau  makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
b.      Pengertian dan Pembagian Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah sesuatu yang difahami dari suatu teks. Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu:[25]
1)      Mafhum Muwafaqah adalah penunjukan hukum melalui motivasi tersirat dimana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2)      Mafhum Mukhalafah adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. 

BAB III
SIMPULAN
Istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadiMetode dalam beristinbat ada beberapa macam diantaranya amr (perintah), nahi (larangan), takhyir (pilihan), ‘am (umum) dan khas (khusus), mutlaq dan muqayyad serta mantuq dan mafhum.

            REFERENSI
Dede Rosyada, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2010)
Muin, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986)
Muhammad, Hukum Islam dan Pranata Sosial, ( Jakarta: Grapindo,1987 )
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012)




[2]Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), hlm. 178
[3]Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 2
[4]Ibid, hlm. 5
[5]Satria Efendi, Op. Cit, hlm. 179
[6]Muhammad, Hukum Islam dan Pranata Sosial, ( Jakarta: Grapindo,1987 ), hlm. 211
[7]Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2010), hlm. 497
[8]Satria Efendi, Loc.Cit, hlm. 184
[9]Ibid, hlm. 185
[10]Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 30
[11]Satria Efendi, Op. Cit, hlm. 186
[12]Ibid, hlm. 187
[13]Ibid, hlm. 187-192
[14]Ibid, hlm. 192-194           
[15]Dede Rosyada, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 18
[16]Ibid, hlm. 20
[17]Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 131
[18]Ibid, hlm. 135
[19]Satria Efendi, Loc. Cit, hlm. 205-206          
[20]Ibid, hlm. 206
[21]Ibid, hlm. 207
[22]Ibid, hlm. 210
[23]Ibid, hlm. 211
[24]Ibid, hlm. 212-213
[25]Ibid, hlm. 214-215
loading...