HUKUM SYARA' (Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi')
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Amanah Fitriani (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memahami hukum-hukum
syara’ adalah kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini karena hukum-hukum syara’
memuat aturan-aturan yang berkaitan
dengan perbuatan dan tingkah laku manusia dalam kehidupan praktis mereka baik
yang berkaitan dengan berbagai macam perintah maupun larangan-larangan yang
tidak boleh di langgar.
Menurut
Muhammad Abu zahrah, hukum adalah tuntutan syar’i yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf baik sifatnya mengandung perintah dan larangan, adanya
pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, syarat atau hal yang
menghalangi adanya sesuatu. Dari pengertian tersebut, ada 3 unsur yang dapat
dipahami.
Pertama, unsur
tuntutan (thalab) yaitu berupa tuntutan kepada mukallaf untuk melaksanakan
perintah ataumeninggalkan larangan. Kedua, unsur takhyir dimana syar’i
membedakan dua pilihan kepada mukallaf antara berbuat dan tidak berbuat.
Ketiga, perbuatan mukallaf dikaitkan dengan hal-hal yang menyertainya, baik
sebab, syarat atau mani’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
2.
Apa saja macam-macam hukum syara’?
3.
Ada berapa pembagian hukum taklifi?
4.
Ada berapa pembagian hukum wadh’i?
5.
Apa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum
Secara
etimologi, kata hukum atau al-hukm berarti “mencegah” atau “memutuskan”.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum atau al-hukm berarti kitab atau kalam
Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan atau
kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan. Atau ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang.[1]
Kitab Allah
yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai
sifatnya adalah kalam al-nafsi yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam
Allah adalah hukum baik langsung atau secara tidak langsung. Jadi, yang disebut
hukum dalam kajian ushul fiqh adalah teks ayat atau sunnah rasul yang mengatur
amal perbuatan manusia yang populer disebutkan sebagai ayat-ayat ahkam dan
hadis-hadis ahkam.[2]
Jadi, dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hukum itu adalah suatu ketetapan yang
allah tetapkan untuk manusia di dalam menegakkan suatu hukum baik berupa
perbuatan, perintah, larangan, ataupun anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan berdasarkan hukum yang telah ditetapkan.
B.
Macam-macam Hukum
Dari definisi
hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa
hukum bukan hanya satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan
mukallf, ada kalanya dari segi tuntutan, ada kalanya dari segi pilihan, dan ada
kalanya dari segi penetapan. Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap
hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan
sebagai hukum taklifi dan hukum wadh’i.[3]
1.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut pengerjaan dari
mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya.
Contoh sesuatu yang menuntut pengerjaan dari mukallaf adalah firman
Allah SWT:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya:
“Ambillah
zakat dari sebagian harta wakaf”.( Q.S. At- Taubah:103).[4]
Dan nash-nash lain yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan
perbuatan.
Contoh sesuatu yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan ialah
firman Allah SWT:
لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya:
“Janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain”.
(Q.S. Al-Hujurat: 11).[5]
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki pilihan oleh
mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya adalah firman Allah SWT:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Artinya:
“Dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”.
(Q.S. Al-Maidah:2).[6]
Hukum ini disebut hukum taklifi, karena ia mengandung
pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau
memberikan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Segi penamaan ini
berkenaan dengan sesuatu yang dituntut kepada mukallaf untuk mengerjakan atau
meninggalkannya. Adapun sesuatu yang diberikan
pilihan kepada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka
dari segi penamaannya sebagai hukim taklifi tidak jelas, karena pilihan tidak
mengandung taklif. Oleh karena inilah mereka berkata:”Sesungguhnya memutlakkan
hukum taklifi atas pilihan itu adalah termasuk bab taghlib.[7]
jadi, hukum taklifi adalah hukum yang menuntut suatu
perbuatan orang mukallaf yang sebagaimana perbuatan tersebut menuntut untuk
berbuat di dalam memberikan suatu pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
2.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah sesuatu yang menuntut penetapan
sesuatu sebagi sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau
menjadi penghalang baginya.
Contoh sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagi
sebab sesuatu yang lain ialah firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku”. (Q.S. Al-Maidah:6).[8]
Sedangkan contoh sesuatu yang menghendaki penetapan
sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu lainnya adalah firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلا
Artinya:
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Q.S. Ali Imran: 97).[9]
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Q.S. Ali Imran: 97).[9]
Dengan kata lain, ditegaskan hukum wadh’i menyangkut
lingkungan sesuatu perbuatan baik perbuatan dengan faktornya, faktor
ketergantungannya atau berkaitan dengan faktor penghalangnya.
C.
Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ada lima:[10]
1.
Ijaab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti.
2.
Nadb (anjuran), yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan
tuntutan yang tidak pasti.
3.
Tahrim (larangan), yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4.
Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan
dengan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5.
Ibahah, (kebolehan), yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk
diperbuat atau dipertinggalkan.
Demikianlah pembagian hukum taklifi menurut
kebanyakan ulama. Menurut golongan Hanafiyyah hukum taklifi dibagi menjadi
tujuh, yaitu:
1)
Fardhu
2)
Wajib
3)
Tahrim
4)
Karahah tahrim
5)
Karahah tanzih
6)
Nadb
7)
Ibahah
Kelima
macam hukum tersebut di atas, dinamakan taklifiyyah, berarti tuntutan atau
memberi beban, adalah untuk mencari mudahnya, sebab sebenarnya terhadap ibadah
nadb dan karahah tanzih tidak ada tuntutan.
D.
Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i dibagi menjadi 3, yaitu:[11]
1.
Sebab
Adalah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai
pangkal adanya hukum (musabab) artinya dengan adanya sebab, dengan sendirinya
akan terwujud hukum atau musabbab.
2.
Syarat
Adalah sesuatu yang baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya tidak
akan ada hukum.
3.
Mani’ (Penghalang)
Adalah sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya
hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum wadh’i adalah berkaitan dengan
faktor sebab, syarat dan atau faktor yang menjadi penghalang (mani’)
pelaksanaan hukum. Dengan kata lain wadh’i lebih beroriontasi pada prosedur dan
ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan taklif.
E.
Perbedaan Antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari 2 hal.[12]
Pertama:
Yang dimaksud
dengan hukum taklifi, ialah menuntut perbuatan mencegahnya atau membolehkan
memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat.
Sedangkan hukum
wadh’i tidak bermaksud menuntut melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya
menerangkan sebab dan syarat atau halangan sesuatu hukum.
Kedua:
Hukum taklifi
selalu dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun untuk
meninggalkannya. Adapaun hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan
(disanggupi) mukallaf, kadang-kadang tidak.
BAB III
SIMPULAN
Hukum adalah
kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan atau
kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan. Hukum terbagi menjadi 2, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum wadh’i
adalah berkaitan dengan faktor sebab, syarat dan atau faktor yang menjadi
penghalang (mani’) pelaksanaan hukum. Dengan kata lain wadh’i lebih berorientasi
pada prosedur dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan taklif.
REFERENSI
Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1994).
A. Hanafie, Ushul
Fiqh, ( Jakarta: Bumirestu, 1980).
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (
Jakarta: Kencana, 2005).