Monday, 4 April 2016

HUKUM SYARA' (Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi')

HUKUM SYARA' (Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi')
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Amanah Fitriani (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Memahami hukum-hukum syara’ adalah kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini karena hukum-hukum syara’ memuat  aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan dan tingkah laku manusia dalam kehidupan praktis mereka baik yang berkaitan dengan berbagai macam perintah maupun larangan-larangan yang tidak boleh di langgar.
Menurut Muhammad Abu zahrah, hukum adalah tuntutan syar’i yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf baik sifatnya mengandung perintah dan larangan, adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, syarat atau hal yang menghalangi adanya sesuatu. Dari pengertian tersebut, ada 3 unsur yang dapat dipahami.
Pertama, unsur tuntutan (thalab) yaitu berupa tuntutan kepada mukallaf untuk melaksanakan perintah ataumeninggalkan larangan. Kedua, unsur takhyir dimana syar’i membedakan dua pilihan kepada mukallaf antara berbuat dan tidak berbuat. Ketiga, perbuatan mukallaf dikaitkan dengan hal-hal yang menyertainya, baik sebab, syarat atau mani’.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
2.      Apa saja macam-macam hukum syara’?
3.      Ada berapa pembagian hukum taklifi?
4.      Ada berapa pembagian hukum wadh’i?
5.      Apa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum
Secara etimologi, kata hukum atau al-hukm berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi ushul fiqh, hukum atau al-hukm berarti kitab atau kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan atau kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Atau ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang.[1]
Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah kalam al-nafsi yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah adalah hukum baik langsung atau secara tidak langsung. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian ushul fiqh adalah teks ayat atau sunnah rasul yang mengatur amal perbuatan manusia yang populer disebutkan sebagai ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam.[2]
Jadi, dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hukum itu adalah suatu ketetapan yang allah tetapkan untuk manusia di dalam menegakkan suatu hukum baik berupa perbuatan, perintah, larangan, ataupun anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan berdasarkan hukum yang telah ditetapkan.

B.     Macam-macam Hukum
Dari definisi hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa hukum bukan hanya satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallf, ada kalanya dari segi tuntutan, ada kalanya dari segi pilihan, dan ada kalanya dari segi penetapan. Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai hukum taklifi dan hukum wadh’i.[3]
1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
Contoh sesuatu yang menuntut pengerjaan dari mukallaf adalah firman Allah SWT:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya:
            “Ambillah zakat dari sebagian harta wakaf”.( Q.S. At-        Taubah:103).[4]
Dan nash-nash lain yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan perbuatan.
Contoh sesuatu yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan ialah firman Allah SWT:
لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya:
 “Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang     lain”. (Q.S. Al-Hujurat: 11).[5]  
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki pilihan oleh mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya adalah firman Allah SWT:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Artinya:
           “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”. (Q.S. Al-Maidah:2).[6]
Hukum ini disebut hukum taklifi, karena ia mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau memberikan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Segi penamaan ini berkenaan dengan sesuatu yang dituntut kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Adapun sesuatu yang diberikan  pilihan kepada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka dari segi penamaannya sebagai hukim taklifi tidak jelas, karena pilihan tidak mengandung taklif. Oleh karena inilah mereka berkata:”Sesungguhnya memutlakkan hukum taklifi atas pilihan itu adalah termasuk bab taghlib.[7]
jadi, hukum taklifi adalah hukum yang menuntut suatu perbuatan orang mukallaf yang sebagaimana perbuatan tersebut menuntut untuk berbuat di dalam memberikan suatu pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
2.      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagi sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang baginya.
Contoh sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagi sebab sesuatu yang lain ialah firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (Q.S. Al-Maidah:6).[8]
Sedangkan contoh sesuatu yang menghendaki penetapan sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu lainnya adalah firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
Artinya:
 “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Q.S. Ali Imran: 97).[9]
Dengan kata lain, ditegaskan hukum wadh’i menyangkut lingkungan sesuatu perbuatan baik perbuatan dengan faktornya, faktor ketergantungannya atau berkaitan dengan faktor penghalangnya.

C.    Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ada lima:[10]
1.      Ijaab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2.      Nadb (anjuran), yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
3.      Tahrim (larangan), yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4.      Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5.      Ibahah, (kebolehan), yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau dipertinggalkan.
     Demikianlah pembagian hukum taklifi menurut kebanyakan ulama. Menurut golongan Hanafiyyah hukum taklifi dibagi menjadi tujuh, yaitu:
1)      Fardhu
2)      Wajib
3)      Tahrim
4)      Karahah tahrim
5)      Karahah tanzih
6)      Nadb
7)      Ibahah
Kelima macam hukum tersebut di atas, dinamakan taklifiyyah, berarti tuntutan atau memberi beban, adalah untuk mencari mudahnya, sebab sebenarnya terhadap ibadah nadb dan karahah tanzih tidak ada tuntutan.

D.    Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i dibagi menjadi 3, yaitu:[11]
1.      Sebab
Adalah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabab) artinya dengan adanya sebab, dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabbab.
2.      Syarat
Adalah sesuatu yang baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya tidak akan ada hukum.
3.      Mani’ (Penghalang)
Adalah sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum wadh’i adalah berkaitan dengan faktor sebab, syarat dan atau faktor yang menjadi penghalang (mani’) pelaksanaan hukum. Dengan kata lain wadh’i lebih beroriontasi pada prosedur dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan taklif.

E.     Perbedaan Antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari 2 hal.[12]
Pertama:
Yang dimaksud dengan hukum taklifi, ialah menuntut perbuatan mencegahnya atau membolehkan memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat.
Sedangkan hukum wadh’i tidak bermaksud menuntut melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya menerangkan sebab dan syarat atau halangan sesuatu hukum.
Kedua:
Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun untuk meninggalkannya. Adapaun hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) mukallaf, kadang-kadang tidak.

BAB III
SIMPULAN
Hukum adalah kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan atau kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Hukum terbagi menjadi 2, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum wadh’i adalah berkaitan dengan faktor sebab, syarat dan atau faktor yang menjadi penghalang (mani’) pelaksanaan hukum. Dengan kata lain wadh’i lebih berorientasi pada prosedur dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan taklif.
  

REFERENSI
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1994).
A. Hanafie, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Bumirestu, 1980).
Satria Efendi, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2005).




[1] Satria Efendi, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 36.
[2] Ibid, hlm. 37-38.
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1994), hlm. 144.
[4] Al-Qur’an digital Versi 2.1, 2004.
[5] Al-Qur’an digital Versi 2.1, 2004.
[6] Al-Qur’an digital Versi 2.1, 2004.
[7] Ibid, hlm. 145-147.
[8] Al-Qur’an digital Versi 2.1, 2004.
[9] Ibid, hlm. 147-148.
[10] A. Hanafie, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Bumirestu, 1980), hlm. 16-17.
[11] Ibid, hlm. 16-19.
[12] Ibid, hlm. 20.
loading...