Adapun contoh perhitungan zakat harta dagangan (‘arudz al-tijara) menurut Al-Furqon Hasbi didalam bukunya berjudul “125 Masalah Zakat” adalah sebagai berikut:[1]
Sahabat Samurah bin Jundub berkata:
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان يأمرنا أن نخرج الصّدقة من
الّذي نعدّ للبيغ.
Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. memerintahkan kami agar mengeluarkan
zakat dari semua yang kami persiapkan untuk berdagang”
(H.R. Abu Daud).
Adapun ketentuan zakat perdagangan adalah sebagai berikut:
a. Berjalan
satu tahun Hijriah (haul). Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis
dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir dalam satu
tahun, kemudian dikeluarkan zakatnya.
b.
Nishab zakat perdagangan sama dengan nishab emas, yaitu senilai 85
gram emas.
c.
Kadar
zakat sebesar 2,5%.
d.
Dapat
dibayar dengan uang atau barang.
e.
Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
Penghitungan:
(modal diputar
+ keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) – (hutang + kerugian) x 2,5%.
Contoh
kasus:
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan,
industri, agroindustri, maupun jasa yang dikelola secara individu atau badan
usaha (seperti PT, CV, Yayasan, dan Koperasi) nishabnya adalah 20 dinar
(setara dengan 85 gram emas murni). Artinya, jika suatu badan usaha pada akhir
tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau
setara dengan 85 gram emas (asumsi jika harga emas per gram pada bulan Juli
2016 Rp 554.438,-[2]
= Rp. 47.127.230,-
Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama) jika semua
anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum
dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Akan tetapi, jika anggota
syirkah terdapat orang yang nonmuslim, zakat hanya dikeluarkan dari anggota
syirkah muslim (apabila jumlahnya lebih dari nishab).
Cara
menghitung zakat:
Kekayaan yang dimiliki badan
usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk dibawah ini.
a.
Kekayaan
dalam bentuk barang.
b.
Uang
tunai.
c.
Piutang.
Dengan demikian, yang dimaksud harta perniagaan yang wajib dizakati
adalah harta yang sudah jatuh tempo dan pajak.
Contoh
kasus:
Sebuah perusahaan mebel tutup buku per Juli tahun 2016 M. ( Syawal 1437
H.) dengan keadaan sebagai berikut:
Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp
25.000.000,-
Uang tunai Rp
30.000.000,-
Piutang Rp 5.000.000,-
Jumlah Rp
60.000.000,-
Hutang dan Pajak Rp 8.000.000,-
Saldo Rp
52.000.000,-
Besar zakat = Rp 52.000.000,- x 2,5% = Rp 1.300.000,-
Pada harta dagangan, modal investasi yang berupa tanah dan
bangunan, atau lemari, etalase pada took, dan lain-lain tidak termasuk harta
yang wajib dizakati sebab termasuk kategori barang tetap (tidak berkembang).
Baca Juga:::