Monday, 20 March 2017

DINAMIKA DAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM: Hukum-Hukum Yang Permanen dan Tidak Permanen

Image result for Hukum Islam
foto: ilustrasi
Pembicaraan tentang Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, sesungguhnya adalah menyangkut sifat dan atau karakteristik Hukum Islam itu sendiri. Berdasarkan tela’ahan para ulama ushul dan fuqoha bahwa sifat atau karakteristik Hukum Islam itu dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu: Hukum-hukum yang bersifat tetap (permanent) dan Hukum-hukum yang bersifat tidak permanent, berubah dan kondisional.[1]
A.    Hukum-Hukum Yang Permanen
Hukum-hukum yang permanen ini merupakan ketentuan hukum yang tidak akan mengalami perubahan, meskipun terjadi perubahan zaman dan begitu pula tidak dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Hukum-hukum dalam kategori ini bersifat konstan dan universal dan berlaku untuk semua orang dan semua tempat.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan bahwa ketentuan hukum yang bersifat konstan (permanen) itu ialah tidak menerima pembaharuan dan perkembangan atau perubahan. Masalah ketentuan hukum seperti ini sudah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash secara qath’iy dan terperinci. Nash-nash dan ketentuan hukum seperti ini bukan lapangan ijtihad. Ketentuan-ketentuan syari’at seperti ini, misalnya, menyangkut masalah aqidah, rukun iman, hukum-hukum ibadat, masalah hudud, seperti zina, mencuri, minum khamar, qishas, saksi palsu, sumpah, durhaka kepada orang tua, ketentuan hukum tentang pembagian waris, hukum-hukum tentang pernikahan dan perceraian, hadanah, dan tentang wali nikah.[2]
Atas dasar ini, para ulama ushul seperti dijelaskan oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan, telah merumuskan suatu kaidah  لااجتهاد مع النص yaitu yang maksudnya “tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah ada nashnya secara jelas. Persyari’atan sejumlah ketentuan hukum secara konstan, permanen dan universal adalah bukan merupakan titik lemah bagi syari’at Islam, tetapi justru akan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di setiap masa.[3]
Hukum-Hukum yang bersifat konstan ini tidak boleh berubah karena perubahan keadaan dan tempat. Sesuatu secara Qaht’iy (pasti dan tegas) disebut oleh nash ketentuan hukumnya, maka ia bersifat konstan, permanen dan universal yang berlaku bagi semua orang dan tempat. Sebagaimana dijelaskan oleh Umar Syihab bahwa persoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nash (nash yang mengaturnya bersifat qath’iy), umumnya ulama tidak membolehkan penafsiran untuk sesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.[4]
Sebagai contoh dalam Al-Qur’an secara tegas telah disebutkan keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan tanpa menyebut nama Allah.
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …” (QS. Al-Maidah: 3).[5]

Ketentuan hukum yang dapat dalam ayat ini sudah pasti tidak akan mengalami perubahan dengan alasan apapun.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat qath’iy ini tidak boleh berubah atau tidak mengalami perubahan? Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan penelitian ulama ushul jika ketentuan-ketentuan hukum-hukum yang qath’iy itu mengalami perubahan maka akan terjadilah kerusakan dalam kehidupan manusia, karena menyangkut persoalan daruri (asasi).
Apa saja yang bersifat permanen dan konstan yang tidak mengalami perubahan itu. Para ulama telah menetapkan persoalan-persoalan yang tidak mengalami perubahan itu ialah.
1.     Hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan seluk beluk yang berkenaan dengan keimanan yang sudah pasti adanya.
2.    Hukum-Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdah (ibadah murni). Ibadah-ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan umrah adalah ibadah-ibadah yang pasti.
3.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan qishas dan masalah hudud.

B.     Hukum-Hukum Yang Tidak Permanen
Dalam pandangan ulama ushul seperti Abdullah Nash ‘Ulwan bahwa hukum-hukum yang tidak permanen ini dibedakan kepada dua macam, yaitu hukum-hukum yang dapat mengalami perubahan dan hukum-hukum yang dihasilkan lewat ijtihad sebagai akibat dari perkembangan zaman.[6]
Menurut Amir Syarifuddin paling tidak ada tiga bentuk pemahaman terhadap hukum yang dilakukan oleh para ulama ushul. Pertama, Pemahaman hukum dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash yang sudah ada, baik nash Al-Qur’an, maupun nash as-Sunnah. Langkah ini dikalangan ulama ushul dikenal dengan istilah ijtihad bayani. Pemahaman seperti ini, dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada lafal-lafal nash dengan berbagai bentuk dan karakternya, kemudian setelah itu baru mengambil kesimpulan hukum.[7]
Pada aspek ini, substansi atau nilai hukum tidak mengalami perubahan tapi aspek teknis boleh jadi mengalami pembaharuan. Kedua, pemahaman hukum dalam bentuk usaha untuk menetapkan hukum baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya (persamaannya) dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya didalam nash bagi kasus tersebut.[8] Contohnya, ialah menetapkan jabatan khalifah setelah wafatnya Nabi. Dalam hal ini dengan cara mengqiyaskan jabatan khalifah kepada jabatan imam shalat berjama’ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan pikiran sahabat waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini adalah dengan menggunakan qiyas.[9]
Kemudian ketiga, ialah pemahaman dalam hal menghadapi masalah baru yang tidak ada nashnya dan juga tidak dapat mencari perbandingannya dengan apa yang telah ditetapkan dalam nash.[10] Dengan kata lain, persoalan-persoalan sama sekali tidak ada nashnya. Terhadap persoalan dalam kategori ketiga ini digunakan pendekatan dengan menempuh ijtihad dengan ra’yu  (الا جتهاد برأي).
Ijtihad dengan ra’yu ini ialah menggunakan pendekatan jiwa syari’at sebagai acuan dalam istinbat. Prinsip dasarnya ialah mengedepankan kepentingan umum atau maslahat selalu dijadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu.[11] Umpamanya, dalam menetapkan untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada masa Abu Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan tentara tetap, dan mencetak mata uang pada masa khalifah Umar bin Al-Khatab, menyatukan bentuk bacaan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan membakar yang lainnya.[12]
Dari ketiga bentuk pola pemahaman hukum yang telah digambarkan diatas, dua yang disebutkan terakhir termasuk dalam kategori hukum-hukum yang tidak permanen atau hukum-hukum yang bersifat ijtihad. Syekh Yusuf Qardawi seorang pakar hukum Islam kontemporer menyebut hukum-hukum yang tidak permanen ini dengan istilah al-Ahkam al-Mutagayyirah.
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardawi dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan perubahan zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah[13] disebutkan sebagai berikut:
تغير الفتوى بتغر الأزمنة والأ ز منة و الأ مكنة و الأ حوال و الأ عراف.
“Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).”

Oleh karena itu, hukum Islam itu bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Dinamika perubahan dan perkembangan yang terjadi pada hukum Islam itu lebih disebabkan dua faktor pokok. Kedua faktor pokok itu adalah sebagai berikut.
1.      Perubahan pemahaman atas ‘illat hukum.
Sebagaimana dirumuskan oleh ulama ushul misalnya, Al-Gazali[14] menyebutkan bahwa yang dimaksud denga ‘illat itu ialah merupakan pautan hukum atau tambatan hukum dimana syari’ menggantungkan hukum padanya. Atau seperti yang dikemukakan oleh Abdul Gani Al-Bajiqani bahwa yang dimaksud dengan ‘illat itu ialah pautan hukum dimana syari’ menghubungkan ketetapan hukum dengannya.[15] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya ‘illat itu ialah sesuatu yang melatarbelakangi atau menjadi sebab adanya suatu ketetapan hukum. Oleh karena itu, dari sini dirumuskan suatu kaidah[16] yang berbunyi sebagai berikut:
الحكم يد ورمع العلة وجوداو عدما
“Hukum itu akan selalu terkait dengan ada atau tidak adannya “illat.”
Untuk maksud ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa sesungguhnya hukum itu ada karena adanya ‘iilat dan ia menjadi tidak ada karena ketiadaan ‘illat.[17]
Dalam konteks ini, termasuk juga perubahan pemahaman tentang ‘illat itu sendiri. Artinya berubaha ‘illat maka berubah pula hukum. Tidak dapat diingkari bahwa – dalam kenyataan – hukum Islam itu bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, zaman dan tempat. Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam, disamping merupakan tuntutan masyarakat juga tidak lepas dari peran ‘illat sebagai dasar yang melatarbelakanginya.
Banyak ketentuan fiqh mengalami perubahan karena perubahan pemahaman tentang ‘illat. Menurut Alyasa Abu Bakar perubahan pemahaman tentang ‘illat ini karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baruu dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illatnya adalah “makanan pokok yang disebut dengan al-Qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau ditimbang”. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama produktif. Berdasarkan pemahaman ‘illat yang baru ini maka semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya.[18]
2.     Perubahan pemahaman atas hukum. Maksudnya ialah ‘illat tetap seperti semual, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman hukum yang didasarkan pada ‘illat itu yang diubah. Alyasa Abubakar menyebutkan contoh untuk kasus ini ialah pembagian tanah rampasan perang al-Fay[19] di Irak pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khatab. Adapun ‘illat pembagiannya, sebagaimana disebutkan oleh ayat itu sendiri, yaitu “agar harta itu tidak hanya beredar atau dikuasai oleh orang-orang kaya saja.[20]
Pada masa Rasulullah kebun-kebun orang-orang Yahudi yang kalah perang dibagi-bagikan kepada kaum muslim. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi lahan atau tanah pertanian yang ditaklukan setelah selesai perang.[21] Menurut Umar pembagian itu akan melahirkan orang-orang kaya baru yang justru dihindari oleh Al-Qur’an. Tanah tersebut harus menjadi milik negera dan disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan keuangan dari Negara.[22]
Contoh lain, misalnya Umar Ibn al-Khatab tidak memberikan hak Muallaf sebagai salah satu mustahiq zakat, sebagai disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60.[23] Umar Ibn ak-Khattab baranggapan bahwa sifat Muallaf tidak berlaku sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan, pemberian zakat kepada Muallaf  pada awal Islam adalah karena Islam masih lemah.[24] Disamping itu golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya, atau agar mereka menahan diri melakukan, tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam. Dengan kata lain, ‘illat pemberian zakat pada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi.
Dengan kata lain, ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallag itu tidak perlu lagi. Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri. Menurut Umar, bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi. Dua contoh kasus ijtihad Umar yang telah dikemukakan diatas, diakui memang menimbulkan perdebatan dikalangan ulama dan pakar hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa paling tidak ada 5 (lima) pandangan tentang ijtihad Umar, [25]
1.      Ijtihad Umar memang meninggalkan zahir nash, tetapi berpegang kepada ruhnya atau maqashid al-ahkam al-Syari’ah.
2.  Ijtihad Umar tidak meninggalkan nash, apalagi menggantikan atau menghapus ketentuan hukumnya.
3. Ijtihad Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang ijtihad tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar.
4.  Ijtihad Umar telah meninggalkan nash yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku bagi setiap mujtahid ijtihadnya tetap mendapat satu ganjaran.
5.   Ijtihad Umar memang banyak melanggar nash yang qath’iyah tetapi hal ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan ini dengan ini dengan dua kasus ijtihad Umar yang telah disebutkan diatas, maka rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau melakukan ijtihad dengan meninggalkan nash. Umar Ibn Khatab adalah seorang sahabat terkemuka mustahil akan melanggar atau menentang nash.[26] Dua contoh kasus ijtihad Umar yang kontroversial diatas – tentang perubahan pembagian harta rampasan perang dan penghentian pemberian zakat untuk muallaf – sesungguhnya tidak meninggalkan nash tetapi dilatarbelakangi oleh perubahan pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya, sebab jika tidak demikain apa yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum tidak dapat diwujudkan.
Ketika suatu ketentuan hukum tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan dalam kehidupan, maka kita harus melihat kembali ‘illat yang mendasari penetapannya. Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat yang menjadi dasar penetapannya. Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat yang mendasari penetapan hukum tersebut, dengan melihat konteks perubahan zaman, keadaan, tempat dan tujuan pensyari’atan hukum itu sendiri. Sebagaimana halnya terjadi pada ijtihad Umar yang telah disebutkan diatas.
Inilah yang disebut oleh Mustafa Syalabi dengan istilah berikut ini:[27]
تغيرالأ حكام متبعا لتغير المصالح.
“Bahwa hukum itu berubah karena mengikuti kepentingan masyarakat.”
Pandangan Mustafa Syalibi ini menunjukkan bahwa ‘illat menempati posisi yang amat penting dalam pembinaan hukum syara’ yang didalamnya tercakup apa yang menjadi tujuan hukum tersebut, yaitu untuk merealisir kemaslahatan manusia. Seperti disebutkan dalam kaidah bahwa, “hukum bergantung dengan ada dan tidak adanya ‘illat.
Terjadinya perubahan hukum sesungguhnya karena adanya perubahan pemahaman terhadap ‘illat dan perubahan pemahaman ‘illat terkait dengan perubahan kepentingan yang muncul dalam kehidupan yang dinamis. Perubahan kepentingan dalam konteks ini adalah menyangkut “kemaslahatan” yang dihajatkan oleh manusia. Dalam kenyataan apa yang menjadi kepentingan manusia tersebut akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dalam hubungan ini Mustafa Syalaba mengatakan sebagai berikut:[28]
ان التشريع يسير مع المصا لح وليس كل ما فيه لا زما لا يتغير والا لجاء مرة واحدة احكلمه مدونة مختو مة يختم الدوام عدم التغييرو هذا ارشاد من الشارع الحكيم لولاة الآمورألى ان يلاحظوا الاحوال والظروف احكامهم واقضيتهم.
“Sesungguhnya tasyri’ itu akan berjalan seiring dengan kepentingan atau kemaslahatan manusia, dan tidaklah segala sesuatu itu merupakan hal yang permanen yang tidak akan mengalami perubahan. Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Yang Maha bijaksana bagi para pemegang urusan (umat), agar mereka memperhatikan keadaan dan kondisi yang berkaitan dengan hukum-hukum mereka.”

Tentu saja pandangan Mustafa Syalabi ini tidak berlaku untuk semua ketentuan hukum. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa ketetapan-ketetapan hukum itu ada dua macam;[29] pertama ketetapan-ketetapan hukum dalam nash yang sifatnya tidak berubah keadaanya dari semula, meskipun terjadi perubahan zaman, tempat ataupun ijtihad para pakar hukum; seperti pengharaman segala yang diharamkan dan sesuatu yang telah diwajibkan berlakunya hukum hadd bagi pelaku kejahatan ketetapan. Kedua, ketetapan-ketetapan hukum mengalami perubahan sesuai dengan kepentingan dan perubahan masyarakat.
Perubahan hukum dalam kategori ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum yang bersifat ijtihadi[30] dan hukum-hukum dengan bersifat ijtihadi ini adalah produk, atau hasil ijtihad para mujtahid yang terjadi pada setiap kurun waktu dan tempat yang kedudukannya tidak permanen. Produk atau hasil ijtihad tersebut boleh jadi berupa fatwa-fatwa dari hukum mujtahid (ijtihad fardi) atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh sekolompok ulama dan institusi (lembaga/organisasi) yang dikenal dengan istilah ijtihad jama’I atau kolektif.
Terhadap produk-produk hukum yang tidak permanen seperti disebutkan diatas, Fathurrahman Djamil menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif, tidak mutlaq benar atau dalam ushul fiqh disebutkan dengan zhanny. Dan istilah ini dikalangan ulama ushul fiqh merupakan sesuatu yang mendekati kebenaran menurut pandangan mujtahid.[31]
Oleh karena itu, dari apa yang telah dikemukakan dan dikaitkan dengan penggunaan ‘illat, maka ternyata bidang ini merupakan bidang gerapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum Islam. Pengembangan dan perubahan hukum itu akan terus terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat. Disinilah letaknya bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis, yang setiap saat dan waktu serta tempat akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan yang dihadapinya.
Keadaan seperti ini akan terus berlangsung yang mengiringi perjalanan peradaban manusia sepanjang masa.



[1] Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008 (Palembang: Tunas Gemilang Press)
[2] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Syariat Islam yang Abadi, Terj. Daud Rasyid, 1992 (Bandung: Usamah Press), hlm. 48
[3] Ibid., hlm. 49
[4] Umar Syihab, Al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, 1993 (Semarang: Dunia Utama), hlm. 67
[5] Qur’an, 5: 3
[6] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Syari’at Islam yang Abadi, Terj. Daud Rasyid, 1992 (Bandung: Usamah Press) hlm. 49
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, 2001 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu) hlm. 241-242
[8] Muhammad Salam Madlur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ Al-Islami, 1984 (Dar al-Nahdlah al-Arabiyah) hlm. 42-46
[9] Amir Syarifuddin, loc.cit
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Al-Gazali, Al-Mustasfa, 1971 (Mesir: Maktabah Al-Jundiyah) hlm. 395
[15] Abdul Gani Al-Bajiqani, Al-Nadkhal ila ushul al-Fiqh al-Maliki, 1968 (Beirut: Dar Lit-Tiba’ah wa al-Nasyar) hlm. 112
[16] A. Djazuli, Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjun Surjaman, 1991, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya) hlm. 256
[17] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 1977 (Bagdad: Al-Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah) hlm. 201-202
[18] Alyasa Abubakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya, dalam Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek), 1991 (Bandung: PT. Rosdakarya) hlm. 181
[19] Al-Qur’an, QS. Al- Hasyr: 7
[20] Abdul Karim bin Muhammad Ali bin Muhammad Al-Manilah, Syarh al-Minhaj Lil-Baidlawi Fi ‘Ilm al-Ushul Jilid II, 1999 (Riyadl: Maktabah al-Rusyd) hlm. 670
[21] Alysa Abubakar. Loc.cit. Bandingkan dengan Jalaluddin Rahmat, “Kontroversi sekitar Ijtihad Umar RA”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (penjurit), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, 1988 (Jakarta: Pustaka Panjimas) hlm. 46
[22] Alysa Abubakar. “Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya”. Dalam Tjun Suryaman (edit) 1991. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek). (Bandung: Remaja Rosda Karya) hlm. 182
[23] Jalaludin Rahmat. Loc.cit. Qur’an QS. At-Taubah ayat 60
[24] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab (studi tentang perubahan Hukum dalam Islam), 1987 (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 138-142
[25] Jalaluddin Rahmat, “Kontroversi sekikat Ijtihad Umar RA” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Pengkikut, 1988. Polemik Reaktualisasi ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas) hlm. 46
[26] Ibid.
[27] Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, 1981 (Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyah) hlm. 307
[28] Ibid.
[29] Yusuf Qardlawi, Awamil al-Sa’ah wa al-Marunah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, 1985 (Kairo: Dar al-Sahwah) hlm. 77
[30] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiya, 1995 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu) hlm. 12-13
[31] Ibid.
loading...