foto: ilustrasi |
Pembicaraan tentang
Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, sesungguhnya adalah menyangkut sifat dan
atau karakteristik Hukum Islam itu sendiri. Berdasarkan tela’ahan para ulama
ushul dan fuqoha bahwa sifat atau karakteristik Hukum Islam itu dapat dibedakan
kepada dua macam, yaitu: Hukum-hukum yang bersifat tetap (permanent) dan
Hukum-hukum yang bersifat tidak permanent, berubah dan kondisional.[1]
A.
Hukum-Hukum Yang Permanen
Hukum-hukum yang permanen ini
merupakan ketentuan hukum yang tidak akan mengalami perubahan, meskipun terjadi
perubahan zaman dan begitu pula tidak dipengaruhi oleh perbedaan tempat.
Hukum-hukum dalam kategori ini bersifat konstan dan universal dan berlaku untuk
semua orang dan semua tempat.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan bahwa
ketentuan hukum yang bersifat konstan (permanen) itu ialah tidak menerima
pembaharuan dan perkembangan atau perubahan. Masalah ketentuan hukum seperti
ini sudah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash secara qath’iy dan
terperinci. Nash-nash dan ketentuan hukum seperti ini bukan lapangan ijtihad.
Ketentuan-ketentuan syari’at seperti ini, misalnya, menyangkut masalah aqidah,
rukun iman, hukum-hukum ibadat, masalah hudud, seperti zina,
mencuri, minum khamar, qishas, saksi palsu, sumpah, durhaka kepada orang
tua, ketentuan hukum tentang pembagian waris, hukum-hukum tentang pernikahan
dan perceraian, hadanah, dan tentang wali nikah.[2]
Atas dasar ini, para ulama ushul
seperti dijelaskan oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan, telah merumuskan suatu kaidah لااجتهاد مع النص yaitu yang maksudnya “tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang
sudah ada nashnya secara jelas. Persyari’atan sejumlah ketentuan hukum secara
konstan, permanen dan universal adalah bukan merupakan titik lemah bagi
syari’at Islam, tetapi justru akan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di
setiap masa.[3]
Hukum-Hukum yang bersifat konstan
ini tidak boleh berubah karena perubahan keadaan dan tempat. Sesuatu secara Qaht’iy
(pasti dan tegas) disebut oleh nash ketentuan hukumnya, maka ia bersifat
konstan, permanen dan universal yang berlaku bagi semua orang dan tempat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Umar Syihab bahwa persoalan-persoalan yang telah ditegaskan
hukumnya oleh nash (nash yang mengaturnya bersifat qath’iy), umumnya
ulama tidak membolehkan penafsiran untuk sesuaikan dengan tuntutan dan
perubahan kondisi.[4]
Sebagai contoh dalam Al-Qur’an
secara tegas telah disebutkan keharaman memakan bangkai, darah, daging babi,
dan sembelihan tanpa menyebut nama Allah.
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ
بِهِۦ… ٣
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, …”
(QS. Al-Maidah: 3).[5]
Ketentuan hukum yang dapat dalam
ayat ini sudah pasti tidak akan mengalami perubahan dengan alasan apapun.
Pertanyaan yang muncul kemudian
ialah mengapa ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat qath’iy ini tidak
boleh berubah atau tidak mengalami perubahan? Sebagaimana diketahui bahwa
berdasarkan penelitian ulama ushul jika ketentuan-ketentuan hukum-hukum yang qath’iy
itu mengalami perubahan maka akan terjadilah kerusakan dalam kehidupan
manusia, karena menyangkut persoalan daruri (asasi).
Apa saja yang bersifat permanen dan
konstan yang tidak mengalami perubahan itu. Para ulama telah menetapkan
persoalan-persoalan yang tidak mengalami perubahan itu ialah.
1. Hukum-hukum
yang berkaitan dengan aqidah dan seluk beluk yang berkenaan dengan keimanan
yang sudah pasti adanya.
2. Hukum-Hukum
yang berkaitan dengan ibadah mahdah (ibadah murni). Ibadah-ibadah seperti shalat,
zakat, puasa, haji dan umrah adalah ibadah-ibadah yang pasti.
3.
Hukum-hukum
yang berkaitan dengan qishas dan masalah hudud.
B.
Hukum-Hukum Yang Tidak Permanen
Dalam pandangan ulama ushul seperti
Abdullah Nash ‘Ulwan bahwa hukum-hukum yang tidak permanen ini dibedakan kepada
dua macam, yaitu hukum-hukum yang dapat mengalami perubahan dan hukum-hukum
yang dihasilkan lewat ijtihad sebagai akibat dari perkembangan zaman.[6]
Menurut Amir Syarifuddin paling
tidak ada tiga bentuk pemahaman terhadap hukum yang dilakukan oleh para ulama
ushul. Pertama, Pemahaman hukum dalam bentuk memberikan penjelasan
terhadap nash-nash yang sudah ada, baik nash Al-Qur’an, maupun nash as-Sunnah.
Langkah ini dikalangan ulama ushul dikenal dengan istilah ijtihad bayani.
Pemahaman seperti ini, dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada lafal-lafal
nash dengan berbagai bentuk dan karakternya, kemudian setelah itu baru
mengambil kesimpulan hukum.[7]
Pada aspek ini, substansi atau nilai
hukum tidak mengalami perubahan tapi aspek teknis boleh jadi mengalami
pembaharuan. Kedua, pemahaman hukum dalam bentuk usaha untuk menetapkan
hukum baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya (persamaannya)
dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya didalam nash bagi kasus
tersebut.[8]
Contohnya, ialah menetapkan jabatan khalifah setelah wafatnya Nabi. Dalam hal
ini dengan cara mengqiyaskan jabatan khalifah kepada jabatan imam shalat
berjama’ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan pikiran sahabat
waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini adalah dengan menggunakan
qiyas.[9]
Kemudian ketiga, ialah
pemahaman dalam hal menghadapi masalah baru yang tidak ada nashnya dan juga
tidak dapat mencari perbandingannya dengan apa yang telah ditetapkan dalam
nash.[10]
Dengan kata lain, persoalan-persoalan sama sekali tidak ada nashnya. Terhadap
persoalan dalam kategori ketiga ini digunakan pendekatan dengan menempuh ijtihad
dengan ra’yu (الا
جتهاد برأي).
Ijtihad dengan ra’yu ini
ialah menggunakan pendekatan jiwa syari’at sebagai acuan dalam istinbat.
Prinsip dasarnya ialah mengedepankan kepentingan umum atau maslahat selalu
dijadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu.[11]
Umpamanya, dalam menetapkan untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada
masa Abu Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan tentara tetap, dan
mencetak mata uang pada masa khalifah Umar bin Al-Khatab, menyatukan bentuk
bacaan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan membakar yang
lainnya.[12]
Dari ketiga bentuk pola pemahaman hukum
yang telah digambarkan diatas, dua yang disebutkan terakhir termasuk dalam
kategori hukum-hukum yang tidak permanen atau hukum-hukum yang bersifat ijtihad.
Syekh Yusuf Qardawi seorang pakar hukum Islam kontemporer menyebut hukum-hukum
yang tidak permanen ini dengan istilah al-Ahkam al-Mutagayyirah.
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf
Qardawi dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan. Perubahan
disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan perubahan
zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum karena perubahan dalam
masyarakat. Dalam satu kaedah[13]
disebutkan sebagai berikut:
تغير
الفتوى بتغر الأزمنة والأ ز منة و الأ مكنة و الأ حوال و الأ عراف.
“Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan
zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).”
Oleh karena itu, hukum Islam itu
bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika yang
terjadi dalam masyarakat. Dinamika perubahan dan perkembangan yang terjadi pada
hukum Islam itu lebih disebabkan dua faktor pokok. Kedua faktor pokok itu
adalah sebagai berikut.
1.
Perubahan
pemahaman atas ‘illat hukum.
Sebagaimana dirumuskan oleh ulama ushul misalnya, Al-Gazali[14] menyebutkan
bahwa yang dimaksud denga ‘illat itu ialah merupakan pautan hukum atau
tambatan hukum dimana syari’ menggantungkan hukum padanya. Atau seperti
yang dikemukakan oleh Abdul Gani Al-Bajiqani bahwa yang dimaksud dengan ‘illat
itu ialah pautan hukum dimana syari’ menghubungkan ketetapan hukum dengannya.[15]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya ‘illat itu ialah
sesuatu yang melatarbelakangi atau menjadi sebab adanya suatu ketetapan hukum.
Oleh karena itu, dari sini dirumuskan suatu kaidah[16]
yang berbunyi sebagai berikut:
الحكم يد ورمع العلة وجوداو عدما
“Hukum itu akan selalu terkait dengan ada atau tidak adannya
“illat.”
Untuk maksud ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa
sesungguhnya hukum itu ada karena adanya ‘iilat dan ia menjadi tidak ada
karena ketiadaan ‘illat.[17]
Dalam konteks ini, termasuk juga perubahan pemahaman tentang ‘illat
itu sendiri. Artinya berubaha ‘illat maka berubah pula hukum. Tidak
dapat diingkari bahwa – dalam kenyataan – hukum Islam itu bersifat dinamis dan
berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, zaman dan tempat.
Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam, disamping merupakan tuntutan
masyarakat juga tidak lepas dari peran ‘illat sebagai dasar yang
melatarbelakanginya.
Banyak ketentuan fiqh mengalami perubahan karena perubahan
pemahaman tentang ‘illat. Menurut Alyasa Abu Bakar perubahan pemahaman
tentang ‘illat ini karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal
baruu dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat
hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illatnya adalah “makanan
pokok yang disebut dengan al-Qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar
atau ditimbang”. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat
tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama produktif. Berdasarkan
pemahaman ‘illat yang baru ini maka semua tanaman yang produktif wajib
dikenakan zakatnya.[18]
2. Perubahan
pemahaman atas hukum. Maksudnya ialah ‘illat tetap seperti semual,
tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman hukum yang
didasarkan pada ‘illat itu yang diubah. Alyasa Abubakar menyebutkan
contoh untuk kasus ini ialah pembagian tanah rampasan perang al-Fay[19]
di Irak pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khatab. Adapun ‘illat pembagiannya,
sebagaimana disebutkan oleh ayat itu sendiri, yaitu “agar harta itu tidak hanya
beredar atau dikuasai oleh orang-orang kaya saja.[20]
Pada masa Rasulullah kebun-kebun orang-orang Yahudi yang kalah
perang dibagi-bagikan kepada kaum muslim. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi
lahan atau tanah pertanian yang ditaklukan setelah selesai perang.[21]
Menurut Umar pembagian itu akan melahirkan orang-orang kaya baru yang justru
dihindari oleh Al-Qur’an. Tanah tersebut harus menjadi milik negera dan
disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan keuangan
dari Negara.[22]
Contoh lain, misalnya Umar Ibn
al-Khatab tidak memberikan hak Muallaf sebagai salah satu mustahiq
zakat, sebagai disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60.[23]
Umar Ibn ak-Khattab baranggapan bahwa sifat Muallaf tidak berlaku
sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan, pemberian zakat kepada Muallaf pada awal Islam adalah karena Islam masih lemah.[24] Disamping
itu golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk
hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya, atau agar mereka menahan diri melakukan,
tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam. Dengan kata lain, ‘illat
pemberian zakat pada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan
telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi.
Dengan kata lain, ketika Islam telah
kuat maka pemberian zakat kepada muallag itu tidak perlu lagi. Kebijakan Umar
menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya berkaitan dengan
perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri. Menurut Umar, bahwa
pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih lemah, tetapi
sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf
tidak dilaksanakan lagi. Dua contoh kasus ijtihad Umar yang telah
dikemukakan diatas, diakui memang menimbulkan perdebatan dikalangan ulama dan
pakar hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa paling
tidak ada 5 (lima) pandangan tentang ijtihad Umar, [25]
1.
Ijtihad
Umar memang meninggalkan zahir nash, tetapi berpegang kepada
ruhnya atau maqashid al-ahkam al-Syari’ah.
2. Ijtihad Umar tidak meninggalkan nash, apalagi menggantikan atau menghapus ketentuan
hukumnya.
3. Ijtihad
Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang ijtihad
tetapi diperbolehkan khusus untuk Umar.
4. Ijtihad
Umar telah meninggalkan nash yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku
bagi setiap mujtahid ijtihadnya tetap mendapat satu ganjaran.
5. Ijtihad Umar memang banyak melanggar nash yang qath’iyah tetapi hal
ini terjadi karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang
bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan
ini dengan ini dengan dua kasus ijtihad Umar yang telah disebutkan
diatas, maka rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau melakukan ijtihad
dengan meninggalkan nash. Umar Ibn Khatab adalah seorang sahabat terkemuka
mustahil akan melanggar atau menentang nash.[26]
Dua contoh kasus ijtihad Umar yang kontroversial diatas – tentang perubahan
pembagian harta rampasan perang dan penghentian pemberian zakat untuk muallaf
– sesungguhnya tidak meninggalkan nash tetapi dilatarbelakangi oleh perubahan
pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya, sebab jika
tidak demikain apa yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum tidak dapat
diwujudkan.
Ketika suatu ketentuan hukum tidak
dapat dilaksanakan atau direalisasikan dalam kehidupan, maka kita harus melihat
kembali ‘illat yang mendasari penetapannya. Artinya, kita harus mengubah
dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat yang menjadi dasar penetapannya.
Artinya, kita harus mengubah dan merumuskan kembali pemahaman ‘illat
yang mendasari penetapan hukum tersebut, dengan melihat konteks perubahan
zaman, keadaan, tempat dan tujuan pensyari’atan hukum itu sendiri. Sebagaimana
halnya terjadi pada ijtihad Umar yang telah disebutkan diatas.
Inilah yang disebut oleh Mustafa
Syalabi dengan istilah berikut ini:[27]
تغيرالأ
حكام متبعا لتغير المصالح.
“Bahwa hukum itu berubah karena mengikuti kepentingan
masyarakat.”
Pandangan Mustafa Syalibi ini
menunjukkan bahwa ‘illat menempati posisi yang amat penting dalam
pembinaan hukum syara’ yang didalamnya tercakup apa yang menjadi tujuan hukum
tersebut, yaitu untuk merealisir kemaslahatan manusia. Seperti disebutkan dalam
kaidah bahwa, “hukum bergantung dengan ada dan tidak adanya ‘illat.
Terjadinya perubahan hukum
sesungguhnya karena adanya perubahan pemahaman terhadap ‘illat dan
perubahan pemahaman ‘illat terkait dengan perubahan kepentingan yang
muncul dalam kehidupan yang dinamis. Perubahan kepentingan dalam konteks ini
adalah menyangkut “kemaslahatan” yang dihajatkan oleh manusia. Dalam kenyataan
apa yang menjadi kepentingan manusia tersebut akan selalu mengalami perubahan
dan perkembangan. Dalam hubungan ini Mustafa Syalaba mengatakan sebagai
berikut:[28]
ان
التشريع يسير مع المصا لح وليس كل ما فيه لا زما لا يتغير والا لجاء مرة واحدة
احكلمه مدونة مختو مة يختم الدوام عدم التغييرو هذا ارشاد من الشارع الحكيم لولاة الآمورألى
ان يلاحظوا الاحوال والظروف احكامهم واقضيتهم.
“Sesungguhnya tasyri’ itu akan berjalan
seiring dengan kepentingan atau kemaslahatan manusia, dan tidaklah segala
sesuatu itu merupakan hal yang permanen yang tidak akan mengalami perubahan.
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Yang Maha bijaksana bagi para pemegang
urusan (umat), agar mereka memperhatikan keadaan dan kondisi yang berkaitan
dengan hukum-hukum mereka.”
Tentu saja pandangan Mustafa Syalabi ini tidak berlaku untuk semua
ketentuan hukum. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa
ketetapan-ketetapan hukum itu ada dua macam;[29] pertama
ketetapan-ketetapan hukum dalam nash yang sifatnya tidak berubah
keadaanya dari semula, meskipun terjadi perubahan zaman, tempat ataupun ijtihad
para pakar hukum; seperti pengharaman segala yang diharamkan dan sesuatu yang
telah diwajibkan berlakunya hukum hadd bagi pelaku kejahatan ketetapan. Kedua,
ketetapan-ketetapan hukum mengalami perubahan sesuai dengan kepentingan dan
perubahan masyarakat.
Perubahan hukum dalam kategori ini adalah berkenaan dengan
hukum-hukum yang bersifat ijtihadi[30]
dan hukum-hukum dengan bersifat ijtihadi ini adalah produk, atau
hasil ijtihad para mujtahid yang terjadi pada setiap kurun waktu dan tempat yang
kedudukannya tidak permanen. Produk atau hasil ijtihad tersebut boleh
jadi berupa fatwa-fatwa dari hukum mujtahid (ijtihad fardi) atau
produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh sekolompok ulama dan institusi
(lembaga/organisasi) yang dikenal dengan istilah ijtihad jama’I atau
kolektif.
Terhadap produk-produk hukum yang tidak permanen seperti disebutkan
diatas, Fathurrahman Djamil menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif, tidak
mutlaq benar atau dalam ushul fiqh disebutkan dengan zhanny. Dan istilah
ini dikalangan ulama ushul fiqh merupakan sesuatu yang mendekati kebenaran
menurut pandangan mujtahid.[31]
Oleh karena itu, dari apa yang telah dikemukakan dan dikaitkan
dengan penggunaan ‘illat, maka ternyata bidang ini merupakan bidang
gerapan yang sangat subur untuk pengembangan hukum Islam. Pengembangan dan
perubahan hukum itu akan terus terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat. Disinilah
letaknya bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis, yang setiap saat dan waktu
serta tempat akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan yang
dihadapinya.
Keadaan seperti ini akan terus berlangsung yang mengiringi
perjalanan peradaban manusia sepanjang masa.
[1]
Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008 (Palembang:
Tunas Gemilang Press)
[2]
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Syariat Islam yang Abadi, Terj. Daud Rasyid, 1992
(Bandung: Usamah Press), hlm. 48
[3] Ibid.,
hlm. 49
[4]
Umar Syihab, Al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, 1993 (Semarang: Dunia Utama), hlm.
67
[5]
Qur’an, 5: 3
[6]
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Syari’at Islam yang Abadi, Terj. Daud Rasyid, 1992
(Bandung: Usamah Press) hlm. 49
[7]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, 2001 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu)
hlm. 241-242
[8]
Muhammad Salam Madlur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ Al-Islami, 1984 (Dar
al-Nahdlah al-Arabiyah) hlm. 42-46
[9]
Amir Syarifuddin, loc.cit
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14]
Al-Gazali, Al-Mustasfa, 1971 (Mesir: Maktabah Al-Jundiyah) hlm. 395
[15]
Abdul Gani Al-Bajiqani, Al-Nadkhal ila ushul al-Fiqh al-Maliki, 1968
(Beirut: Dar Lit-Tiba’ah wa al-Nasyar) hlm. 112
[16]
A. Djazuli, Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam
Tjun Surjaman, 1991, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek),
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya) hlm. 256
[17]
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 1977 (Bagdad: Al-Dar
al-Arabiyah Lit-Tiba’ah) hlm. 201-202
[18]
Alyasa Abubakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya, dalam
Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek), 1991
(Bandung: PT. Rosdakarya) hlm. 181
[19]
Al-Qur’an, QS. Al- Hasyr: 7
[20]
Abdul Karim bin Muhammad Ali bin Muhammad Al-Manilah, Syarh al-Minhaj
Lil-Baidlawi Fi ‘Ilm al-Ushul Jilid II, 1999 (Riyadl: Maktabah al-Rusyd)
hlm. 670
[21]
Alysa Abubakar. Loc.cit. Bandingkan dengan Jalaluddin Rahmat, “Kontroversi
sekitar Ijtihad Umar RA”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (penjurit), Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, 1988 (Jakarta: Pustaka Panjimas) hlm. 46
[22]
Alysa Abubakar. “Beberapa Teori Penalaran Fiqih dan Penerapannya”. Dalam Tjun
Suryaman (edit) 1991. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek).
(Bandung: Remaja Rosda Karya) hlm. 182
[23]
Jalaludin Rahmat. Loc.cit. Qur’an QS. At-Taubah ayat 60
[24]
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab (studi tentang perubahan Hukum
dalam Islam), 1987 (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 138-142
[25]
Jalaluddin Rahmat, “Kontroversi sekikat Ijtihad Umar RA” dalam Iqbal Abdurrauf
Saimima (Pengkikut, 1988. Polemik Reaktualisasi ajaran Islam (Jakarta:
Pustaka Panjimas) hlm. 46
[26] Ibid.
[27]
Mustafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, 1981 (Beirut: Dar al-Nahdah
al-Arabiyah) hlm. 307
[28] Ibid.
[29]
Yusuf Qardlawi, Awamil al-Sa’ah wa al-Marunah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, 1985
(Kairo: Dar al-Sahwah) hlm. 77
[30]
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiya, 1995
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu) hlm. 12-13
[31] Ibid.