maqashid al-syari’ah |
A.
Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara etimologis (Lugawi) maqashid
al-syari’ah terdiri dua unsur kata, yaitu maqashid ((مقاصد dan al-syari’ah.
Kata “مقاصد" adalah jamak dari kata “مقصد", yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan kata al-syari’ah
(الشريعة) berakar dari kata kerja Syara’a (شرع) yang berarti undang-undang, aturan dan syari’at. Dengan
demikian, maqashid al-syari’ah مقاصد الشريعة dapat
diartikan dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara’.[1]
Dikalangan ulama ushul terdapat
perbedaan istilah antara satu dengan lainnya. Muhammad Abu Zahrah,[2] misalnya,
menyebutnya dengan Maqashid al-Ahkam (مقاصد الاحكام ). Sementara itu Zaky al-Din Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf
mengistilahkan dengan Maqashid al-tasyri’ (مقاصد التشريع ).[3] Sedangkan maqashid
al-syari’ah merupakan istilah yang digunakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syatibi
dan Abdul Karim Zaidan. Sekalipun terdapat perbedaan istilah dikalangan ulama
ushul, tetapi mengandung pengertian sama.[4]
Adapun secara terminologis
(istilah), sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, bahwa yang
dimaksud dengan maqashid al-syari’ah ialah ketentuan-ketentuan hukum
yang disyari’atkan Allah untuk kemaslahatan manusia.;[5]
( ان الا حكام شرعت لمصالح لعباد)
Sementara itu, Zaky al-Din Sya’ban
menyebutkan pengertian maqashid
al-syari’ah sebagai berikut:[6]
ومن
المتفق عليه بين جمهور العلماءان الله سبحانه لم يشرع حكامه الا لمقاصد عامة وان
هذه المقاصد ترجع الى جلب المنافع للناس ودفع المفاسد عنهم واخلاء العالم من الشرورو
الاثام.
“Sebagian
besar jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah SWT. tidak mensyari’atkan
hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan
tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi manusia
dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari
kejahatan dan dosa.”
Dalam hubungan ini, Abdul Karim
Zaidan[7]
juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah itu
ialah menyangkut upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta
mempertahankan eksistensi kemaslahatan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Syatibi[8]
menyebutkan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum ialah untuk kemaslahatan
umat manusia, baik didunia ini maupun diakhirat nanti. Kemaslahatan disini
ialah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek
kehidupan mereka.
Sejalan dengan pandangan al-Syatibi
diatas, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan
hukum-hukum-Nya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan
menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini dari maksiat
dan perbuatan dosa.[9]
Satria Effendi M. Zein menjelaskan
pula bahwa maqashid al-syari’ah berarti tujuan Allah dan rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai alasan logis bagi urusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[10]
Maka untuk memahami maqashid al-syari’ah
dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah bukanlah
pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang
telah berupaya untuk menyelami maqashid al-syari’ah ini lewat ijtihad
dan istinbat hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan
pensyari’atan dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Atas dasar ini, maka dapat dipahami
bahwa maqashid al-syari’ah – yang bermuara pada kemaslahatan adalah
merupakan capaian akhir dari pensyari’atan hukum Islam. Dengan kata lain,
seperti dikatakan oleh Asafri Jaya Bakri, bahwa kandungan adalah maqashid al-syari’ah kemaslahatan.[11]
Selanjutnya, inti dari maqashid
al-syari’ah ialah maslahat yang harus diwujudkan disatu pihak dan
menghindarkan mafsadat dipihak lain. Secara etimologis, sebagaimana
dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa maslahat mengandung arti “ طلب الا صلاح “ yaitu mencari kebaikan. Sementara, mafsadat mengandung
arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi kehidupan umat manusia.
Mafsadat sering juga disebut dengan Mudarat.[12]
Secara terminologis, menurut Abdul
Karim Zaidan Maslahat ialah manfaat dan menolak kerusakan atau
kemudaratan.
المصلحة
هي جلب المنفعة ود فع المضرة اي المفسدة.
Atas dasar ini, maka esensi maslahat
dan mafsadat dapat dilihat dari dua sisi. Abdul Karim Zaidan
menjelaskan bahwa dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat (
ايجابي ) maka ia disebut “ ايجاد المنفعة “ yaitu keharusan terwujudnya manfaat yang mendatangkan
kebaikan bagi kehidupan manusia. Bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan ( سلبي), maka ia disebut dengan istilah “ دفع المفسدة “ yaitu menghilangkan dan
menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.[13]
Dari sini dapat dipahami bahwa
konsep maslahat dan mafsadat dalam hubungannya dengan maqashid al-syari’ah
merupakan suatu cara dalam melihat nilai-nilai maslahat yang harus
diperjuangkan dan dipertahankan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan manusia
baik didunia maupun di akhirat.
B.
Esensi dan Eksistensi Maqashid Al-Syari’ah
Imam al-Syaukani, dalam kitab “Irsyad
al-Fuhul” menjelaskan bahwa essensi maslahat itu sesungguhnya memelihara
tujuan syari’at yaitu mempertahankan eksistensi kebaikan atau manfaat dan
menolak terjadinya kerusakan dalam kehidupan umat manusia.[14]
Dilihat dari segi maqashid
al-syari’ah, maka eksistensi maslahat sebagaimana dijelaskan oledh Abdul
Aziz bin Abdul Rahman al-Rubuiyah dapat dibedakan kepada tiga macam seperti
berikut ini:[15]
1. Disebut dengan “ ما
شهدالشرع باعتباره “ yaitu dijelaskan langsung oleh syara’ (nash) keberadaan dan
wujudnya. Abu Zahrah[16]
menyebutnya dengan Maslahat hakiki. Sementara ulama ushul lainnya
menyebutnya dengan maslahat mu’tabarah.
2. Disebut dengan “ ما
شهد الشرع بالغاءها “ yaitu Maslahat yang ditolak atau yang bertentangan
dengan syara’. Artinya maslahat yang eksistensinya berlawanan dengan apa
yang disebutkan oleh syara’ atau nash.
3. Disebut dengan “ مالم
يشهد لها الشرع باعتبارها ولابالغاءها “ yaitu
maslahat yang tidak disebutkan secara jelas baik yang mengakuinya maupun
yang menolaknya, tetapi eksistensinya sejalan dengan tujuan syari’at serta
sangat dihajatkan oleh umat. Maslahat jenis yang ketiga ini, sering pula
disebut dengan maslahat mursalah.
Dari ketiga macam pembagian maslahat
diatas terlihat bahwa ternyata ada maslahat yang didukung keberaannya oleh nash
tentang nilai kebaikan dan manfaatnya yang dapat menjamin kebahagiaan bagi umat
manusia. Demikian juga tentang jenis maslahat yang ditolak oleh nash serta ada
maslahat yang tidak dijelaskan oleh nash baik dari segi penerimaan atau
pengakuannya maupun dari segi penolakannya, namun keberadaannnya sejalan dengan
tujuan maqashid al-syari’ah serta memang dihajatkan oleh masyarakat.
Dengan kata lain, jenis maslahat yang disebutkan terakhir ini merupakan
maslahat yang didiamkan oleh syari’.
Abid bin Muhammad al-Sufyani dengan
mengutip pendapat al-Gazali, menjelaskan bahwa seluruh yang menyangkut tujuan
syari’at dan upaya untuk mewujudkannya adalah merupakan maslahat serta bila
diabaikan akan menimbulkan kerusakan dan menolak kerusakan akan melahirkan
kemaslahatan.[17]
Dalam hal ini ada dua segi yang
harus diperhatikan dalam melihat eksistensi maslahat yang merupakan inti dari maqashid
al-syari’ah.
Pertama, maqashid al-syari’ah dilihat dari maksud syar’I, yaitu
pembuat hukum. Abu Ishaq al-Syatibi[18]
menjelaskan bahwa ditinjau dari segi maksud syar’I, maka maqashid
al-syari’ah tidak lain adalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
seluruh umat manusia baik didunia maupun diakhirat. Syatibi berbicara secara
luas tentang ini. Namun demikian dapat diringkaskan atau disimpulkan kepada
tiga tingkatan, yaitu daruriyat, Hajjiyat dan tahsiniyat.
Masing-masing tingkatan maslahat ini menunjukan tingkat atau peringkat
kepentingannya. Maslahat daruriyat ( الضرورية ) merupakan peringkat pertama atau menyangkut kepentingan
primer atau pokok. Sebagaimana dijelaskan oleh Quthb Mustafa Sanu,[19] bahwa
maslahat darurirat adalah menyangkut kepentingan dan kemaslahatan pokok
yang tidak dapat tidak mesti ada, jika tidak akan menimbulkan kerusakan bagi
kelangsungan hidup manusia.
Ada lima kepentingan pokok yang
termasuk kedalam maslahat darurirat ini, yaitu: terpeliharanya agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kemudian maslahat hajjayat
ialah menyangkut kepentingan atau maslahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya
aspek hajjiyi ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan
bencana atau kerusakan, tetapi dapat menimbulkan kesulitan bagi manusia.
Misalnya dalam lapangan ibadah Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu rukhshah.
Seperti boleh tidak berpuasa jika sakit atau safar dalam jarak tertentu,
dan boleh mengqasar shalat dalam perjalanan.
Selanjutnya mengenai maslahat
tahsiniyat adalah menyangkut kepentingan yang sifatnya pelengkap atau
kesempurnaan saja. Sekiranya tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan
tidak pula mengancam salah satu dari lima kepentingan pokok diatas. Syatibi
menjelaskan bahwa kepentingan tahsiniyat ini hanya berkaitan dengan kepatutan
dan kepantasan menurut adat kebiasaan ( محاسن العادات ), keindahan yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang berlaku
dalam kehidupan. Dalam lapang ibadat Islam menetapkan bersuci, berhias dan
menggunakan harum-haruman.
Dalam prakteknya, ketiga tingkatan Maslahat
diatas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman dan
penerapan ketiga maslahat diatas tidaklah secara persial. Menurut Asafri Jaya
Bakri[20]
ketiga tingkatan diatas tidak dapat dipisahkan.
Kedua, maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi maksud mukallaf.
Menurut Abu Ishaq al-Syatibi,[21]
bahwa maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi maksud mukallag terdapat empat hal penting
yang harus diperhatikan.
1.
Bahwa
pensyari’atan dan pembebanan hukum ( تكليف ) berpijak atas dasar kemampuan (
قدرة) untuk dilaksanakan oleh mukallaf.
Sekiranya mukallaf tidak memiliki kemampuan maka secara syar’I taklif
tidak dapat diberlakukan kepada mukallaf tersebut.
2. Bahwa
taklif tidaklah bermaksud menyulitkan manusia (mukallaf), tetapi justru akan
melanggengkan kehidupan mereka didunia dan diakhirat. Banyak ayat-ayat
al-Qur’an yang menyebautkan tentang ini, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat
286, disebutkan:
لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …
“Allah tidak akan memberikan beban (taklif)
kecuali menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).[22]
3.
Bahwa
pensyari’atan hukum bagi mukallaf adalah untuk menghindarkan mereka dari godaan
dan dorongan hawa nafsu yang dapat merusak citra dirinya dan dengan adanya taklif,
maka mukallaf dapat menjadi hamba yang ta’at – sekalipun suatu ketikan akan
berhadapan dengan kesulitan dalam menjalankannya. Al-Syatibi menjelaskan bahwa
manusia diciptakan hanya beribadah kepada Allah dan dilarang
mempersekutukan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pensyari’atan hukum
ditetap-kan tujuannya untuk memasukkan manusia (mukallaf) kedalam kontrol hukum
atau dibawah naungan hukum agar dapat menjalani hidup dengan tertib dan taat
kepada Allah.
4. Bahwa
pensyari’atan hukum bertujuan agar manusia mengerti dan memahami taklif yang
dibebankan kepadanya. Dengan memiliki pengetahuan dan memahami taklif,
manusia akan menjadi cerdas dan beradab.
Dari keempat aspek yang telah
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah bila
dilihat dari maksud mukallaf, adalah kepentingannya untuk mukallaf itu sendiri
dan keempat aspek tersebut diatas haruslah dipahami dan diaplikasikan secara
kumulatif bukan alternatif. Artinya pensyari’atan dan pembebanan hukum kepada
mukallaf bukan saja dilihat dari segi kesanggupan untuk melaksanakannya, tetapi
juga sekaligus akan melenggengkan kehidupannya, menjadikan mukallaf sebagai
orang yang taat dan sekaligus mereka berada dibawah control hukum. Dan tidak
hanya itu, secara bersamaan juga agar mukallaf memiliki kecerdasan dan berilmu
pengetahuan tentang taklif yang akan dilaksanakannya.
Jadi jangkauan maqashid
al-syari’ah yang pada akhirnya akan mendatangkan kemaslahatan itu harus
diupayakan dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan terus menerus agar apa
yang menjadi tujuan maqashid al-syari’ah seperti yang diharapkan oleh
syar’i itu, yaitu terciptanya kemaslahatan bagi manusia (hamba) dan
terhindar dari kerusakan baik didunian ini maupun di akhirat kelak diwujudkan.
Persoalannya sekarang adalah
bagaimana carannya, maqashid al-syari’ah hingga itu dapat dipahami dengan baik hingga
pada akhirnya akan bisa menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Untuk bisa memahami maqashid
al-syari’ah ini, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Namun demikian
tidak berarti tidak ada upaya untuk memahaminya. Karena dalam prakteknya sejak
awal perkembangan pemikiran ushul, para ulama terutama para ushuliyun telah
mengkaji maqashid al-syari’ah ini. Upaya ini tidak pernah berhenti,
karena hingga sekarang para pakar hukum Islam terus mengkaji secara luas dan
mendalam tentang maqashid al-syari’ah ini.
Menurut Satria Effendi M. Zen bahwa untuk
mengetahui maqashid al-syari’ah dapat dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi bahasa nash – Al-Qur’an dan
as-Sunnah – dan ruh Tasri’.[23]
Secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Dengan
bahasa nash itu sendiri. Maksudnya ialah memahami lafal nash ini merupakan
unsur yang sangat penting untuk melihat maqashid al-syari’ah yang
dikandung oleh sesuatu ketentuan hukum. Muhammad Abu Zahrah[24]
telah mencoba memberikan penjelasan tentang ini dengan mengelompokkan
bentuk-bentuk kepada apa yang disebut dengan lafal (teks) yang jelas (واضح ) dan lafal nash yang
tidak jelas akan dapat ditangkap dengan mudah pengertian dan petunjuk yang
terkandung didalamnya sesuai dengan kehendak syari’. Penggunaan lafal
nash yang jelas ini dapat dijadikan perangkat atau metode untuk mengetahui maqashid
al-syari’ah dari suatu ketentuan hukum syara’. Dalam hubungan ini Abu
Zahrah[25]
menawarkan metode ta’wil.[26]
Metode ta’wil ini, tidak lain adalah mengalihkan arti zahir kepada
nash kepada arti yang lebih tepat dan mencari nilai-nilai maqashid
al-syari’ah yang terkandung didalamnya.
Dengan
menggunakan ‘illat dan hikmah. Dalam pandangan ulama ushul, ‘illat
merupakan alasan, sebab atau sesuatu
yang melatarbelakangi pensyari’atan hukum syara’. Muhammad Abdul Kafi al-Sybky
(w. 576 H.)[27]
dalam kitabnya “al-Ibhaj Fi Syarh al-Minhaj” menyebutkan menyebutkan
bahwa ‘illat adalah suatutanda dan petunjuk ( العلامة والامارة ) adanya suatu hukum. Dengan menggunakan
petunjuk ‘illat dan kaitannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan,
maka maqashid al-syari’ah dapat dipahami. Mengenai hikmah sebetulnya
terkait langsung dengan ‘illat. ‘illat hukum, disamping berfungsi
sebagai dasar atau alasan ditetapkannya tasyri’, ia juga mencakup apa
yang menjadi tujuan dari ketetapan hukum itu. Dikalangan ulama ushul apa yang
disebut terakhir ini dikenal dengan hikmah.[28]
Substansi
hikmah sesungguhnya tidak lain adalah kemaslahatan itu sendiri dan kemaslahatan
tersebut adalah merupakan maqashid al-syari’ah. Diakui bahwa tidak semua
ketetapan hukum dapat dipahami hikmahnya. Karena memang ada persoalan-persoalan
tasyri’ yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan
hikmah yang terkandung didalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti
demikian maka ia termasuk wilayah ta’abbudi.
2. Dengan
cara menelusuri hal-hal yang didiamkan syari’. Sesuatu yang didiamkan syari’
(Allah dan Rasul-Nya), dan tidak ada dalil secara khusus, baik yang melarang
maupun yang menyuruh, tetapi substansinya sejalan dengan tujuan tasri’
secara umum, maka ia dapat dijadian sebagai alasan untuk penetapan hukum Satria
Effendi M.Zein[29]
menyebutkan bahwa metode ini dikenal dengan maslahat mursalah. Dalam kajian
ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan dengan atau tidak
bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at, dapat diakui sebagai
landasan hukum.
Dari penjelasan yang telah
dikemukakan diatas, baik yang terkait dengan pengertian, macam dan tingkatannya
maupun cara memahaminya, maka maqashid al-syari’ah intinya tidak lain
adalah menyangkut kemaslahatan yang menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum
syara’.
[1]
Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008
(Palembang: Tunas Gemilang Press)
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1958 (Mesir: Dar al-Fikr
al-Araby) hlm. 364
[3]
Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1965 (Mesir: Matba’ah Dar
al-Ta’lif) hlm. 381., Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Fiqh, 1990 (Kairo:
Matba’ah al-Da’wah al-Islamiyah) hlm. 197
[4]
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, t.t,
(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi) hlm. 268
[5]
Ibid., hlm. 5
[6]
Zaky al-Din Sya’ban, Loc,Cit
[7]
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 1977 (Bagdad: Dar
al-Arabiyah Lot-Tiba’ah) hlm. 384
[8]
Imam Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit, hlm. 2681
[9]
Zaky al-Din Sya’ban, op.cit, hlm. 381
[10]
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, 1997 (Materi Program Megister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Jakarta
[11] Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, 1996 (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 65
[12]
Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasri’ al-Islami Fima La Nashsha Fih, 1972
(Kuwet: Dar al-Qalam) hlm. 85-86
[13]
Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hlm. 236
[14]
Muhammad Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, t.t, (Beirut: Dar al-Ma’arif)
hlm. 239
[15]
Abdul Aziz bin Abdul Rahman Ali bin Al-Rubuiyah, Al-Adillat al-Tasyri’
a;-Mukhtalaf al-Ihtiqat Biha, 1979 (Beirut: Muassasa al-Risalah) hlm. 191-194
[16]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm. 278
[17]
Abid bin Muhammad al-Sufyani, Ma’alim Thariqat al-Slaf Fi Ushul al-Fiqh, 1988
(Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Munarah) hlm. 414
[18]
Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit, hlm. 342
[19]
Quthb Mustafa Sanu, Mu’jam Mustahalat Ushul al-Fiqh, 2000 (Beirut, Lebanon:
Darul al-Fikr) hlm. 413
[20] Asafri
Jaya Bakri, Op.Cit., hlm. 72
[21]
Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit., hlm. 72-225
[22]
Qur’an, 2: 286
[23]
Satria Effendi M. Zen, Loc.Cit
[24]Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1958 (Kairo: dar al-Fikr al-Araby) hlm. 115-135
[25]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1958 (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby)
hlm. 115-135
[26]
Yang dimaksud dengan ta’wil ialah mengalihkan arti atau pengertian zahir kepada
arti yang lebih tepat karena ada alasan untuk itu. Dengan kata lain mengalikan
arti hakiki kepada arti Majazi karena ada qarinah (petunjuk alasan) yang
mengharuskan untuk hal demikian. Lihat dalam Quth Mustafa Sanu, op.cit hlm. 116
[27]
Muhammad Abdul Kafi al-Subky, al-Ibhaj Fi Syark al-Minhaj, 1984 (Beirut
Lebanon: Dar al-Arabiyah) hlm. 18-20
[28] Abdul
Karim Zaidan, op.cit, hlm. 204
[29]
Satria Effendi M. Zen, op.loc.