Friday, 24 March 2017

MAQASHID AL-SYARI'AH - Pengertian Maqashid Al-Syari’ah, Esensi dan Eksistensi Maqashid Al-Syari’ah

Image result for Maqashid Al-Syari’ah
maqashid al-syari’ah
A.    Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara etimologis (Lugawi) maqashid al-syari’ah terdiri dua unsur kata, yaitu maqashid ((مقاصد dan al-syari’ah. Kata “مقاصد" adalah jamak dari kata “مقصد", yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan kata al-syari’ah (الشريعة) berakar dari kata kerja Syara’a (شرع) yang berarti undang-undang, aturan dan syari’at. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah مقاصد الشريعة dapat diartikan dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara’.[1]
Dikalangan ulama ushul terdapat perbedaan istilah antara satu dengan lainnya. Muhammad Abu Zahrah,[2] misalnya, menyebutnya dengan Maqashid al-Ahkam (مقاصد الاحكام ). Sementara itu Zaky al-Din Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf mengistilahkan dengan Maqashid al-tasyri’ (مقاصد التشريع ).[3]  Sedangkan maqashid al-syari’ah merupakan istilah yang digunakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syatibi dan Abdul Karim Zaidan. Sekalipun terdapat perbedaan istilah dikalangan ulama ushul, tetapi mengandung pengertian sama.[4]
Adapun secara terminologis (istilah), sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah ialah ketentuan-ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah untuk kemaslahatan manusia.;[5]
( ان الا حكام شرعت لمصالح لعباد)
Sementara itu, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan pengertian  maqashid al-syari’ah  sebagai berikut:[6]
ومن المتفق عليه بين جمهور العلماءان الله سبحانه لم يشرع حكامه الا لمقاصد عامة وان هذه المقاصد ترجع الى جلب المنافع للناس ودفع المفاسد عنهم واخلاء العالم من الشرورو الاثام.
“Sebagian besar jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah SWT. tidak mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.”

Dalam hubungan ini, Abdul Karim Zaidan[7] juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah itu ialah menyangkut upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta mempertahankan eksistensi kemaslahatan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Syatibi[8] menyebutkan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia ini maupun diakhirat nanti. Kemaslahatan disini ialah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Sejalan dengan pandangan al-Syatibi diatas, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini dari maksiat dan perbuatan dosa.[9]
Satria Effendi M. Zein menjelaskan pula bahwa maqashid al-syari’ah berarti tujuan Allah dan rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai alasan logis bagi urusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[10]
Maka untuk memahami maqashid al-syari’ah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid al-syari’ah ini lewat ijtihad dan istinbat hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan pensyari’atan dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Atas dasar ini, maka dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah – yang bermuara pada kemaslahatan adalah merupakan capaian akhir dari pensyari’atan hukum Islam. Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh Asafri Jaya Bakri, bahwa kandungan  adalah maqashid al-syari’ah  kemaslahatan.[11]
Selanjutnya, inti dari maqashid al-syari’ah ialah maslahat yang harus diwujudkan disatu pihak dan menghindarkan mafsadat dipihak lain. Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa maslahat mengandung arti “ طلب الا صلاح “ yaitu mencari kebaikan. Sementara, mafsadat mengandung arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi kehidupan umat manusia. Mafsadat sering juga disebut dengan Mudarat.[12]
Secara terminologis, menurut Abdul Karim Zaidan Maslahat ialah manfaat dan menolak kerusakan atau kemudaratan.
المصلحة هي جلب المنفعة ود فع المضرة اي المفسدة.
Atas dasar ini, maka esensi maslahat dan mafsadat dapat dilihat dari dua sisi. Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwa dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat ( ايجابي  ) maka ia disebut “ ايجاد المنفعة “ yaitu keharusan terwujudnya manfaat yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan (  سلبي), maka ia disebut dengan istilah “ دفع المفسدة  “ yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.[13]
Dari sini dapat dipahami bahwa konsep maslahat dan mafsadat dalam hubungannya dengan maqashid al-syari’ah merupakan suatu cara dalam melihat nilai-nilai maslahat yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan manusia baik didunia maupun di akhirat.

B.     Esensi dan Eksistensi Maqashid Al-Syari’ah
Imam al-Syaukani, dalam kitab “Irsyad al-Fuhul” menjelaskan bahwa essensi maslahat itu sesungguhnya memelihara tujuan syari’at yaitu mempertahankan eksistensi kebaikan atau manfaat dan menolak terjadinya kerusakan dalam kehidupan umat manusia.[14]
Dilihat dari segi maqashid al-syari’ah, maka eksistensi maslahat sebagaimana dijelaskan oledh Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Rubuiyah dapat dibedakan kepada tiga macam seperti berikut ini:[15]
1.  Disebut dengan “ ما شهدالشرع باعتباره “ yaitu dijelaskan langsung oleh syara’ (nash) keberadaan dan wujudnya. Abu Zahrah[16] menyebutnya dengan Maslahat hakiki. Sementara ulama ushul lainnya menyebutnya dengan maslahat mu’tabarah.
2.    Disebut dengan “ ما شهد الشرع بالغاءها “ yaitu Maslahat yang ditolak atau yang bertentangan dengan syara’. Artinya maslahat yang eksistensinya berlawanan dengan apa yang disebutkan oleh syara’ atau nash.
3.      Disebut dengan “ مالم يشهد لها الشرع باعتبارها ولابالغاءها  “ yaitu maslahat yang tidak disebutkan secara jelas baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya, tetapi eksistensinya sejalan dengan tujuan syari’at serta sangat dihajatkan oleh umat. Maslahat jenis yang ketiga ini, sering pula disebut dengan maslahat mursalah.
Dari ketiga macam pembagian maslahat diatas terlihat bahwa ternyata ada maslahat yang didukung keberaannya oleh nash tentang nilai kebaikan dan manfaatnya yang dapat menjamin kebahagiaan bagi umat manusia. Demikian juga tentang jenis maslahat yang ditolak oleh nash serta ada maslahat yang tidak dijelaskan oleh nash baik dari segi penerimaan atau pengakuannya maupun dari segi penolakannya, namun keberadaannnya sejalan dengan tujuan maqashid al-syari’ah serta memang dihajatkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, jenis maslahat yang disebutkan terakhir ini merupakan maslahat yang didiamkan oleh syari’.
Abid bin Muhammad al-Sufyani dengan mengutip pendapat al-Gazali, menjelaskan bahwa seluruh yang menyangkut tujuan syari’at dan upaya untuk mewujudkannya adalah merupakan maslahat serta bila diabaikan akan menimbulkan kerusakan dan menolak kerusakan akan melahirkan kemaslahatan.[17]
Dalam hal ini ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat eksistensi maslahat yang merupakan inti dari maqashid al-syari’ah.
Pertama, maqashid al-syari’ah dilihat dari maksud syar’I, yaitu pembuat hukum. Abu Ishaq al-Syatibi[18] menjelaskan bahwa ditinjau dari segi maksud syar’I, maka maqashid al-syari’ah tidak lain adalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia baik didunia maupun diakhirat. Syatibi berbicara secara luas tentang ini. Namun demikian dapat diringkaskan atau disimpulkan kepada tiga tingkatan, yaitu daruriyat, Hajjiyat dan tahsiniyat. Masing-masing tingkatan maslahat ini menunjukan tingkat atau peringkat kepentingannya. Maslahat daruriyat ( الضرورية ) merupakan peringkat pertama atau menyangkut kepentingan primer atau pokok. Sebagaimana dijelaskan oleh Quthb Mustafa Sanu,[19] bahwa maslahat darurirat adalah menyangkut kepentingan dan kemaslahatan pokok yang tidak dapat tidak mesti ada, jika tidak akan menimbulkan kerusakan bagi kelangsungan hidup manusia.
Ada lima kepentingan pokok yang termasuk kedalam maslahat darurirat ini, yaitu: terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kemudian maslahat hajjayat ialah menyangkut kepentingan atau maslahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya aspek hajjiyi ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan bencana atau kerusakan, tetapi dapat menimbulkan kesulitan bagi manusia. Misalnya dalam lapangan ibadah Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu rukhshah. Seperti boleh tidak berpuasa jika sakit atau safar dalam jarak tertentu, dan boleh mengqasar shalat dalam perjalanan.
Selanjutnya mengenai maslahat tahsiniyat adalah menyangkut kepentingan yang sifatnya pelengkap atau kesempurnaan saja. Sekiranya tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengancam salah satu dari lima kepentingan pokok diatas. Syatibi menjelaskan bahwa kepentingan tahsiniyat ini hanya berkaitan dengan kepatutan dan kepantasan menurut adat kebiasaan ( محاسن العادات ), keindahan yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang berlaku dalam kehidupan. Dalam lapang ibadat Islam menetapkan bersuci, berhias dan menggunakan harum-haruman.
Dalam prakteknya, ketiga tingkatan Maslahat diatas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman dan penerapan ketiga maslahat diatas tidaklah secara persial. Menurut Asafri Jaya Bakri[20] ketiga tingkatan diatas tidak dapat dipisahkan.
Kedua, maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi maksud mukallaf. Menurut Abu Ishaq al-Syatibi,[21] bahwa maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi  maksud mukallag terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan.
1.      Bahwa pensyari’atan dan pembebanan hukum (  تكليف ) berpijak atas dasar kemampuan (  قدرة) untuk dilaksanakan oleh mukallaf. Sekiranya mukallaf tidak memiliki kemampuan maka secara syar’I taklif tidak dapat diberlakukan kepada mukallaf tersebut.
2. Bahwa taklif tidaklah bermaksud menyulitkan manusia (mukallaf), tetapi justru akan melanggengkan kehidupan mereka didunia dan diakhirat. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebautkan tentang ini, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 286, disebutkan:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
Allah tidak akan memberikan beban (taklif) kecuali menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).[22]

3.      Bahwa pensyari’atan hukum bagi mukallaf adalah untuk menghindarkan mereka dari godaan dan dorongan hawa nafsu yang dapat merusak citra dirinya dan dengan adanya taklif, maka mukallaf dapat menjadi hamba yang ta’at – sekalipun suatu ketikan akan berhadapan dengan kesulitan dalam menjalankannya. Al-Syatibi menjelaskan bahwa manusia diciptakan hanya beribadah kepada Allah dan dilarang mempersekutukan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pensyari’atan hukum ditetap-kan tujuannya untuk memasukkan manusia (mukallaf) kedalam kontrol hukum atau dibawah naungan hukum agar dapat menjalani hidup dengan tertib dan taat kepada Allah.
4.  Bahwa pensyari’atan hukum bertujuan agar manusia mengerti dan memahami taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan memiliki pengetahuan dan memahami taklif, manusia akan menjadi cerdas dan beradab.
Dari keempat aspek yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah bila dilihat dari maksud mukallaf, adalah kepentingannya untuk mukallaf itu sendiri dan keempat aspek tersebut diatas haruslah dipahami dan diaplikasikan secara kumulatif bukan alternatif. Artinya pensyari’atan dan pembebanan hukum kepada mukallaf bukan saja dilihat dari segi kesanggupan untuk melaksanakannya, tetapi juga sekaligus akan melenggengkan kehidupannya, menjadikan mukallaf sebagai orang yang taat dan sekaligus mereka berada dibawah control hukum. Dan tidak hanya itu, secara bersamaan juga agar mukallaf memiliki kecerdasan dan berilmu pengetahuan tentang taklif yang akan dilaksanakannya.
Jadi jangkauan maqashid al-syari’ah yang pada akhirnya akan mendatangkan kemaslahatan itu harus diupayakan dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh dan terus menerus agar apa yang menjadi tujuan maqashid al-syari’ah seperti yang diharapkan oleh syar’i itu, yaitu terciptanya kemaslahatan bagi manusia (hamba) dan terhindar dari kerusakan baik didunian ini maupun di akhirat kelak diwujudkan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana carannya, maqashid al-syari’ah  hingga itu dapat dipahami dengan baik hingga pada akhirnya akan bisa menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Untuk bisa memahami maqashid al-syari’ah ini, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Namun demikian tidak berarti tidak ada upaya untuk memahaminya. Karena dalam prakteknya sejak awal perkembangan pemikiran ushul, para ulama terutama para ushuliyun telah mengkaji maqashid al-syari’ah ini. Upaya ini tidak pernah berhenti, karena hingga sekarang para pakar hukum Islam terus mengkaji secara luas dan mendalam tentang maqashid al-syari’ah ini.
Menurut Satria Effendi M. Zen bahwa untuk mengetahui maqashid al-syari’ah dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi bahasa nash – Al-Qur’an dan as-Sunnah – dan ruh Tasri’.[23] Secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Dengan bahasa nash itu sendiri. Maksudnya ialah memahami lafal nash ini merupakan unsur yang sangat penting untuk melihat maqashid al-syari’ah yang dikandung oleh sesuatu ketentuan hukum. Muhammad Abu Zahrah[24] telah mencoba memberikan penjelasan tentang ini dengan mengelompokkan bentuk-bentuk kepada apa yang disebut dengan lafal (teks) yang jelas (واضح  ) dan lafal nash yang tidak jelas akan dapat ditangkap dengan mudah pengertian dan petunjuk yang terkandung didalamnya sesuai dengan kehendak syari’. Penggunaan lafal nash yang jelas ini dapat dijadikan perangkat atau metode untuk mengetahui maqashid al-syari’ah dari suatu ketentuan hukum syara’. Dalam hubungan ini Abu Zahrah[25] menawarkan metode ta’wil.[26] Metode ta’wil ini, tidak lain adalah mengalihkan arti zahir kepada nash kepada arti yang lebih tepat dan mencari nilai-nilai maqashid al-syari’ah yang terkandung didalamnya.
Dengan menggunakan ‘illat dan hikmah. Dalam pandangan ulama ushul, ‘illat merupakan alasan, sebab atau  sesuatu yang melatarbelakangi pensyari’atan hukum syara’. Muhammad Abdul Kafi al-Sybky (w. 576 H.)[27] dalam kitabnya “al-Ibhaj Fi Syarh al-Minhaj” menyebutkan menyebutkan bahwa ‘illat adalah suatutanda dan petunjuk ( العلامة والامارة ) adanya suatu hukum. Dengan menggunakan petunjuk ‘illat dan kaitannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka maqashid al-syari’ah dapat dipahami. Mengenai hikmah sebetulnya terkait langsung dengan ‘illat. ‘illat hukum, disamping berfungsi sebagai dasar atau alasan ditetapkannya tasyri’, ia juga mencakup apa yang menjadi tujuan dari ketetapan hukum itu. Dikalangan ulama ushul apa yang disebut terakhir ini dikenal dengan hikmah.[28]
Substansi hikmah sesungguhnya tidak lain adalah kemaslahatan itu sendiri dan kemaslahatan tersebut adalah merupakan maqashid al-syari’ah. Diakui bahwa tidak semua ketetapan hukum dapat dipahami hikmahnya. Karena memang ada persoalan-persoalan tasyri’ yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan hikmah yang terkandung didalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti demikian maka ia termasuk wilayah ta’abbudi.
2.     Dengan cara menelusuri hal-hal yang didiamkan syari’. Sesuatu yang didiamkan syari’ (Allah dan Rasul-Nya), dan tidak ada dalil secara khusus, baik yang melarang maupun yang menyuruh, tetapi substansinya sejalan dengan tujuan tasri’ secara umum, maka ia dapat dijadian sebagai alasan untuk penetapan hukum Satria Effendi M.Zein[29] menyebutkan bahwa metode ini dikenal dengan maslahat mursalah. Dalam kajian ushul fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan dengan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at, dapat diakui sebagai landasan hukum.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas, baik yang terkait dengan pengertian, macam dan tingkatannya maupun cara memahaminya, maka maqashid al-syari’ah intinya tidak lain adalah menyangkut kemaslahatan yang menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum syara’.


[1] Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008 (Palembang: Tunas Gemilang Press)
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1958 (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby) hlm. 364
[3] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1965 (Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif) hlm. 381., Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Fiqh, 1990 (Kairo: Matba’ah al-Da’wah al-Islamiyah) hlm. 197
[4] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, t.t, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi) hlm. 268
[5] Ibid., hlm. 5
[6] Zaky al-Din Sya’ban, Loc,Cit
[7] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 1977 (Bagdad: Dar al-Arabiyah Lot-Tiba’ah) hlm. 384
[8] Imam Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit, hlm. 2681
[9] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit, hlm. 381
[10] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, 1997 (Materi Program Megister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Jakarta
[11] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, 1996 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 65
[12] Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasri’ al-Islami Fima La Nashsha Fih, 1972 (Kuwet: Dar al-Qalam) hlm. 85-86
[13] Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hlm. 236
[14] Muhammad Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, t.t, (Beirut: Dar al-Ma’arif) hlm. 239
[15] Abdul Aziz bin Abdul Rahman Ali bin Al-Rubuiyah, Al-Adillat al-Tasyri’ a;-Mukhtalaf al-Ihtiqat Biha, 1979 (Beirut: Muassasa al-Risalah) hlm. 191-194
[16] Muhammad Abu Zahrah, op.cit, hlm. 278
[17] Abid bin Muhammad al-Sufyani, Ma’alim Thariqat al-Slaf Fi Ushul al-Fiqh, 1988 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Munarah) hlm. 414
[18] Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit, hlm. 342
[19] Quthb Mustafa Sanu, Mu’jam Mustahalat Ushul al-Fiqh, 2000 (Beirut, Lebanon: Darul al-Fikr) hlm. 413
[20] Asafri Jaya Bakri, Op.Cit., hlm. 72
[21] Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit., hlm. 72-225
[22] Qur’an, 2: 286
[23] Satria Effendi M. Zen, Loc.Cit
[24]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1958 (Kairo: dar al-Fikr al-Araby) hlm. 115-135
[25] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 1958 (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby) hlm. 115-135
[26] Yang dimaksud dengan ta’wil ialah mengalihkan arti atau pengertian zahir kepada arti yang lebih tepat karena ada alasan untuk itu. Dengan kata lain mengalikan arti hakiki kepada arti Majazi karena ada qarinah (petunjuk alasan) yang mengharuskan untuk hal demikian. Lihat dalam Quth Mustafa Sanu, op.cit hlm. 116
[27] Muhammad Abdul Kafi al-Subky, al-Ibhaj Fi Syark al-Minhaj, 1984 (Beirut Lebanon: Dar al-Arabiyah) hlm. 18-20
[28] Abdul Karim Zaidan, op.cit, hlm. 204
[29] Satria Effendi M. Zen, op.loc.
loading...