DINAMIKA PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI PALEMBANG
MENGURAIKAN ISI UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA
Oleh: Iswahyudi
A.
PENDAHULUAN
Dalam konteks, masa
Kesultanan Palembang Darussalam seperti halnya kebanyakan Islam di Nusatara –
umat islam umumnya adalah pengikut paham ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang
mengenal islam dari sudut pandang fikh khususnya fiqh Syafi’iyyah, ditambah
dengan tinjauan tauhid seperti yang terdepat dalam teologi Asy’ariyah (Muzani,
(ed), 1995: 160).
Agama dan budaya yang
telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang di Palembang tentu saja sudah menjadi
keyakinan masyarakat sejak lama, sehingga perlu waktu yang tidak sedikit untuk
melakukan perubahan keyakinan masyarakat. Akan tetapi, kondisi ini telah
menjadikan palembang sebagai tempat yang penting dalam persentuhannya dengan
sebagai peradaban dan tradisi di Nusantara (Husni Rahim, 2006: 7)
Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum
adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan
di pedalaman Sumatera
Selatan, dengan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk undang-undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan
bagi masyarakat Nusantara.
Kitab Simbur Cahaya, ditulis oleh Ratu
Sinuhun yang merupakan isteri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing
Kenayan (1630—1642 M). Kitab ini terdiri atas 5 bab, yang membentuk pranata
hukum dan kelembagaan adat di Sumatra
Selatan, khususnya terkait persamaan gender perempuan dan
laki-laki.
Pada perkembangan selanjutnya,
ketika Palembang berhasil dikuasai Kolonial Belanda. Sistem kelembagaan adat masih dilaksanakan seperti sediakala,
yaitu dengan mengacu kepada Undang Undang Simbur
Cahaya, dengan beberapa
penghapusan dan penambahan aturan yang dibuat resident.
Berdasarkan informasi dari penerbit
“Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922”, Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:
1.
Adat
Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)
2.
Adat
Perhukuman (Strafwetten)
3.
Adat
Marga (Marga Verordeningen)
4.
Aturan
Kaum (Gaestelijke Verordeningen)
5.
Aturan
Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Simbur_Cahaya, diakses ahad, 14/12/2014 Pukul 7:20)
Oleh karena itu, pada
pembahasan artikel ini akan dilakukan pengka jian terjadap naskah undang-undang
Sumbur Cahaya dan akan dipilih dari 5 bab dalam naskah undang-undang Sumbur
Cahaya dengan diuraikan mana yang sumber dari konsep-konsep ajaran Islam dengan didukung ayat atau hadits atau ijma’ dan yang
bersumber huku
B. PEMBAHASAN
1.
Pembahasan Tentang Pengklasifikasian Simbur Cahaya
dengan Hukum Islam dan Hukum Adat
Pada pembahasan ini
akan dibahas mengenai undang-undang Simbur Cahaya dalam asfek kajian hukum
islam dan hukum adat yang mana undang-undang Simbur Cahaya tersebut berisikan
tentang (1) Adat Bujang Gadis dan Kawin, (2) Aturan Marga, (3) Aturan Dusun dan Berlandang, (4)
Aturan Kaum dan (5) Aturan Perhukuman.
Ø Bab Pertama
Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)
Pada bab pertama ini memuat tentang adat, pergaulan bujang gadis dan perkawinan
yang menyangkut aturan moral dan kesusilaan pria dan wanita pada umumnya serta
aturan moral dan kesusilaan muda-mudi khususnya serta hal-hal yang terkait dengannya. Di
samping itu, dilengkapi pula keterangan keterangan sebagai penjelas.
(KANKP, 1939: 2-12)
1. Kajian dalam hukum Islam tentang Adat Bujang
Gadis - Perkawinan
Dalam konteks kajian islam bahwa bab pertama ini mengenai tentang pergaulan
antara bujang dan gadis dan juga tentang perkawinan, adapun beberapa dalil yang
berhubungan dengan bab ini adalah sebagai berikut:
o Pergaulan Antara bujang dan gadis (ikhwan dan
akhwat)
Ø
Dalil Al-Qur’an
(QS. An-Nur : 30-31)
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
31. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ø
Hadits
(Bukhari no : 4832)
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرٌو عَنْ أَبِي
مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَقَامَ
رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ
فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada
kami sufyan telah menceritakan kepada kami Amru dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas
dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ janganlah sekali-kali seorang laki-laki
berduaan dengan perempuan kecuali dengan muhrimnya. “ Lalu seorang laki-laki
bangkit seraya berkata, “ Wahai Rasulullah, Isteriku berangkat hendak
menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini. “
beliau bersabda: “ Kalau begitu, kembali
dan tunaikanlah haji bersama istrimu. (Hr. Bukhari)
Ø
Ijma’ Ulama (tentang bedua-duan atau pergaulan
laki-laki dan perempuan)
1.
Orang
ketiganya mahram. Artinya, kalau orang ketiganya itu wanita, dia merupakan
mahram atau istri dari lelaki yg disana. Jika orang ketiganya itu lelaki, ia
merupakan mahram atau suami dari wanita yang disana. Untuk kasus ini semua
sepakat menghilangkan status dan larangan khalwat.
2.
Orang
ketiganya bukan mahram. Artinya, orang ketiga itu juga tergolong orang
ajnabi/asing, yang tidak ada hubungan mahram dengan salah satu dari pria atau
wanita (walaupun dia teman). Untuk kasus ini, pendapat kalangan Syafi`iyyah
tetap melarangnya.
3.
Orang
ketiganya bukan mahram, tetapi merupakan orang tsiqah/terpercaya baik dari segi
kebaikan agamanya maupun sisi kebaikan hubungan kerabat (tapi bukan mahram)
atau silaturrahim/persahabatan dengan salah satu atau kedua pihak. Untuk kasus
ini, pendapat sebagian kalangan Syafi`iyyah membolehkannya.
4.
Adanya
orang ketiga menjadikannya boleh. Ini pendapat Hanafiyyah.
(http://totosmg.wordpress.com/tata-cara-hidup-dan-dagang/larangan-khalwat/,
diaksess ahad, 14/12/2014 pukul 9.02)
o Dalil tentang pernikahan
Ø
Al-Qur’an
(QS. Ar-Rum : 21)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Ø
Hadits
(Perintah Kepada Pemuda Untuk Segera Menikah)
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ قَالَ
لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ،
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Dari Abdullah bin Mas'ud ia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami,
"Wahai para pemuda! Barang
siapa di antar kamu yang sanggup menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya nikah
itu menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, namun barang siapa yang tidak
sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena hal itu sebagai pengebirinya."
(HR. Bukhari dan Muslim). (Al-Asqolani, 1996: 200)
2. Kajian dalam Hukum Adat
tentang Bujang, Gadis dan Perkawinan
Pada hukum adat simbur
cahaya berisi tentang Aturan Bujang Gadis dan Kawin, tampaknya adanya aturan
yang ketat mengenai hubungan pria dan wanita. Ketentuan yang ketat seperti ini
merupakan pengaruh dari Islam(hukum Islam) yang sangat membatasi hubungan
antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Walaupun demikian tampaknya ketentuan
di atas telah menunjukkan adanya penyesuaian dengan adat setempat (Rahim.1998:
120).
Hubungan yang bebas antara
pria dan wanita dalam Islam yang bukan muhrim dibatasi untuk menghindari
terjadinya perzinaan. Perzinaan dalam Islam merupakan perbuatan yang tercela
dan mendapat hukuman yang berat sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat an-Nur
ayat 2 dan 3. Ketentuan ini menunjukkan bahwa perzinaan merupakan perbuatan
tercela, walaupun hukumannya tidak seberat yang ditentukan dalam kitab fikih,
tetapi makna dari hukuman itu telah diikuti, hanya bentuknya yang disesuaikan
dengan adat setempat ( Rahim.1998: 120).
Kemudian, seperti di pasal
1. bahwa apabila bujang gadis hendak kawin hendaklah memberi tahu kepada
pesirah atau kepala dusun. Di Pasal 3 harus memberi mahar istrinya 2 ringgit
satu suku emas. Dan pasal 8 apabila
gadis lantas bunting maka membayar 12 ringgit. Itulah salah satu contoh hukum
adat simbur cahaya dan hal ini berkaitan dengan hukum islam dan fiqh.
Ø Bab Kedua
Aturan Marga (Marga Verordeningen)
Bab kedua ini tentang aturan marga berisi
prinsip pokok administrasi dan politik marga. Lebih dari soal pemerintahan,
kandungannya berkaitan erat dengan perilaku masyarakat setempat berisi pula
keterangan keterangan sebagai penjelas (KANKP, 1939:11-16)
1. Kajian dalam hukum islam tentang Aturan Marga
Ø
Dalil Al-Qur’an
(QS. An-Nur : 55)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
55. Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia
sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia
Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Ayat ini berkenaan dengan perinsip pokok administrasi suatu kepemimpinan
atau keperintahan yang mana pada bab ini salah satu isi didalam yaitu satu-satu
marga ditetapkan pesirah yang memerintah atas segala hal marganya dan pesirah
itu banyak yang memilih dan raja yang serta angkat serta kasih nama (pasal 01)
dan kemudian raja dan pesirah menjalankan aturan marganya terhadap rakyatnya.
(QS. Ali Imron : 103)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan tentang berkenaan dengan politik marga atau aturan
marga yang mana didalam masyarakat khususnya masyarakat yang menganut
undang-undang simbur cahaya harus menjujung tinggi persaudaraan dan persatuan.
Ø
Hadits
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ
Allah memerintahkan berlaku baik (ihsân) dalam
segala hal. Jika kalian membunuh, lakukan pembunuhan itu dengan baik. Jika
kalian menyembelih, lakukan penyembelihan dengan baik pula (HR
Muslim).
2. Kajian dalam Hukum Adat tentang
Aturan Marga
Bab kedua tentang aturan marga berisi prinsip
pokok administrasi dan politik marga. Yakni dipilih pesirah yang memrintas atas
telah dipilihnya oleh masyarakat dan raja
mengangkatnya. (maksud pasal 1). Kemudian detapkan satu lebai penghulu
kuasa hakim serta khatib yang membantu perkejaan lebai penghulu (maksud pasal
3).
Dan pada pasal 6 bahwa apabila ada diantara
kaum yang melakukan kejahatan seperti maling maka sebagai hukuman nya adalah
dipasung sampai 2 hari 2 malam tidak lebih, dan dikenakan denda 12 ringgit.
Dan kemudian didalam administrasi nya sebagai
resmi atau legalnya suatu penetapan yakni harus dibubuhi cap macan. Dan pada pasal 16 bahwa pesirah tidak boleh
menerima marga asing yang akan berladang dan lain-lain kecuali mendapat izin
dari kuasa didalam batanghari.
Itulah salah satu contoh dari aturan adat bab
kedua aturang marga pada kitab simbur cahaya.
Ø Bab Ketiga
Aturan
Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)
Bab ketiga ini berisi tentang aturan dusun dan
berladang, memuat administrasi tingkat dusun pengandang, termasuk pula masalah
agraria. Aturan-aturan tersebut disertai keterangan seperlunya (KANKP, 1939: 17-22)
1.
Kajian
dalam hukum islam tentang Aturan Dusun dan Berladang
o Aturan Dusun
Ø Dalil Al-Qur’an
(QS.
An-Nisa’ :59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
59.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini menjelaskan tentang mentaati Allah,
Rasul dan Pemimpin. Dan Apabila dikaitkan dengan bab ketiga ini yakni tentang
peraturan dusun yang ditetapkan oleh kepala dusun bahwa masyarakat yang
berdomisilih pada daerah tersebut wajib mengikuti peraturan desa tersebut yang
sesuai dengan kaidah dan kebenaran.
Dan pada bab ada kaitannya pada bab selanjutnya
tentang aturan kaum atau agama. Yang mana setiap aturan itu harus diikuti.
o Berladang
Ø
Ijma’
Ulama tentang Berladang
Abdurrahman bin
Umar al-Habasyi al-Wishabi yang berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa’yi wa
al-Harakah mencoba menguraikan urgensi bercocok tanam dan perhatian Islam dalam
pengelolahan hasil bumi dari berkebun dan bertani.
Ulama yang wafat
pada 782 H itu menegaskan secara garis besar, ada tiga profesi utama, yaitu
bercocok tanam, industri, dan perdagangan.
Mengutip perkataan
Imam al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat. Ini lantaran
pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh
terhadap Allah SWT.
Al-Mawardi pun
menukilkan sebuah hadis tentang keutamaan bertawakal. “Orang yang bertawakal
akan masuk surga tanpa hisab,”sabda Rasulullah SAW dalam hadis itu.
Imam an-Nawawi
menambahkan, pekerjaan ini diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang
sangat banyak bagi kelangsungan hidup manusia.
Bahkan, faedah
bercocok tanam tidak hanya terbatas untuk manusia, tetapi juga berguna bagi
makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang hidup di bumi juga merasakan
dampak dari bercocok tanam, seperti sapi, kerbau, kuda, ataupun burung.
Al-Wishabi
menegaskan, hukum bertani adalah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika
telah dilaksanakan oleh sekelompok orang. Bila tak ada satu pun pihak yang
melaksanakan tuntutan ini, sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang.
Penempatan profesi
ini dalam kategori fardhu kifayah disebabkan urgensi dan ketergantungan segenap
umat manusia terhadap hasil bercocok tanam.
Kedua imam
terkemuka, yakni Imam al-Haramain dan an-Nawawi, menyatakan, ada kalanya fardhu
kifayah bisa lebih utama ketimbang fardhu’ain.
Karena, tanggungan
fardhu kifayah bila tak terpenuhi oleh satu pun orang, dosanya akan dipikul
secara kolektif. Berbeda dengan fardhu’ain yang seandainya tak dikerjakan
dampak hukumnya kembali ke individu saja.
Keutamaan
Bercocok tanam sangat terpandang dalam Islam, demikian diungkapkan al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam diabadikan, baik dalam ayat Alquran ataupun sabda Rasul.
Bercocok tanam sangat terpandang dalam Islam, demikian diungkapkan al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam diabadikan, baik dalam ayat Alquran ataupun sabda Rasul.
Melalui profesi
ini, ujar al-Wishabi, maka akan terang benderang tentang kekuasaan Allah SWT.
Dia mendeklarasikan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta yang menguasai
unsur air, mengubahnya menjadi air hujan, lalu menurunkannya ke bumi untuk
menghidupi berbagai macam tanaman yang dipergunakan bagi kelangsungan makhluk
hidup.
“Dan Dialah yang
menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala
macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang
menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak.”
(QS al-An’am [6]: 99).
Keistimewaan ini
juga dikuatkan di sejumlah hadis. Di antaranya, hadis dari Abdullah bin Umar.
Hadis yang dinukilkan ats-Tsa’labi dan al-Wahidi itu menyatakan bahwa orang
yang bercocok tanam akan mendapat pahala di sisi Allah SWT.
Tiap batang
tanaman yang dia budi dayakan pada hakikatnya tertulis asma Allah di dalamnya.
Maka, tiap langkah yang diayunkan seorang petani menuju ladang pun, sejatinya
akan teriring dengan pahala basmalah tersebut.
Sebuah riwayat
Muslim menegaskan pula tentang keutamaan berladang. Terlebih, bila pekerjaan
itu dilakukan oleh seorang Muslim. Suatu saat, Rasul bertemu dengan Ummu Basyar
al-Anshariyah di kebun kurma. Rasul memanyakan, milik siapakah kebun itu dan
siapa yang menanam ratusan pohon kurma tersebut. “Muslim atau non-Muslimkah
dia?” kata Rasul. Ternyata, jawabannya adalah Muslim.
Rasul pun
mengungkapkan pahala yang menyertai peladang Muslim tersebut. Bahwa, tidak ada
ganjaran yang lebih pantas bagi seorang Muslim yang menanam tanaman, lalu
dijadikan makanan manusia ataupun binatang melata atau apa pun, kecuali akan
tercatat sebagai sedekah baginya hingga hari kiamat kelak. Tidak heran bila tak
sedikit kalangan Anshar ataupun Muhajirin yang menyibukkan diri dengan bertani
atau berladang.
Konon, Abu
Hurairah yang terkenal dengan periwayatan hadis terbanyak pun tersohor dengan
aktivitas berladangnya. Para sahabat memang luar biasa.
Mereka zuhud, ahli
ibadah, dan pakar agama, tetapi tak pernah abai terhadap urusan duniawi mereka.
Tak terkecuali, bersumbangsih untuk kelangsungan hidup segenap makhluk lewat
berladang atau bercocok tanam. (http://www.republika.co.id/berita/duni_islam/khazanah/13/09/13/mt2f6t-bagaimana-islam-memuliakan-petani, diakses ahad, 21/12/14 (10:55)
2. Kajian dalam Hukum Adat
tentang Aturan dusun dan berladang
Didalam Adat simbur cahaya
bahwa seperti di pasal 1 bab 3 ini bahwa didalam satu-satu dusun ditetapkan
satu pengandang yang meminta dusun dan dibawah pengandang ditetapkan penggawal
dusun berapa secukupnya atas besarnya dusun. Kemudian aturan untuk pegawai
dusun pasal 3 bahwa harus pakai kopiah. Dan kemudian pada masyarakat diautut
dan ada ketentuan masing-masing wilayah kehidupan seperti adanya pendatang,
musibah, berdagang, berladang- berkebun dan lain sebagainya telah diatur dalam
kitab undang-undang simbur cahaya.
Ø Bab Keempat
Aturan Kaum (Gaestelijke
Verordeningen)
Bab keempat ini berisi tentang aturan kaum,
yaitu memuat aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat urusan agama.
Karena yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam, hukumyang diterapkan
dalam pengelolaannya mengacu pada syari’at Islam (KANKP, 1939: 23-24)
1. Kajian dalam hukum islam tentang Aturan Kaum
Ø
Dalil
Al-Quran
(QS.
An-Nisa’ :59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat diatas tentang wajibnya mengikuti aturan
atau mentaati Allah, Rasul dan Pemimpin dalam hal ini pada bab 4 ini diatur
mengenai aturan kaum yang memuat aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat
urusan agama.
Ø
Hadits
Dari Ibnu Umar
radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau
bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Hadits diatas
tentang mendengarkan pemimpin dan taat terhadap aturannya.
Kemudian hadits
tentang tanggung jawab seorang pemimpin
“ Tiap-tiap kamu
adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinya, seorang kepala
negara yang memimpin rakyat bertanggung jawab atas mereka, dan seorang
laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka.
“ (Muttafaq ‘Alaih)
Dan hadits
tersebut diatas tentang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pejabat.
2. Kajian dalam Hukum Adat tentang
Aturan Kaum
Didalam undang undang
simbur cahaya bahwa di dalam bab keempat ini berisi tentang aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat
urusan agama. Karena yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam.
Adapun salah satu contoh dari adat dari simbur
cahaya ini adalah seperti dipasal 1 dan 2 bahwa didalam dusun ditetapkan satu
Lebai Penghulu kuasa haki, maka penghulu itu jadi kepala kaum di dalam marganya
serta kaum kaum hendaklah turut perintah lebai penghulu dan didalam dusun
pesirah ditetapkan satu atau dua Khatib untuk membantu tugas Lebai Penghulu.
Dan para penghulu ini setiap tahun melaporkan dengan buku laporan tentang
kegiatan yang menyangkut agama seperti pernikahan, zakat, pengurusan masjid dan
lain sebagainya, kepada Paduka Pangeran Penghulu Nata Agama di Palembang.
Ø Bab Kelima
Aturan Adat Perhukuman (Strafwetten)
Pada bab kelima ini berisi tentang adat
perhukuman, yang berisi prinsip pokok penyelenggaraan hukuman karena
pelanggaran, baik perkara perdata maupun pidana, juga aturan seksual dan
administrasi pemerintahan. Berisi pula keterangan penjelasan.
(KANKP,1939:25-32)
1. Kajian dalam hukum Islam tentang Adat
Perhukuman
Dalam konteks kajian hukum islam mengenai adat perhukuman adapun
dalil-dalil tentang perhukuman tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Al-Qur’an
(QS. Al-Isra’ : 15)
مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.
Ayat diatas tentang asas legalitas dan juga berkenaan perhukuman karena
pelanggaran baik itu masalah pidana, perdata dan lain sebagainya.
Ø
Hadits
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيفًا أي : أَجِيرًا عَلَى
هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّيْ أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ.
فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةٍ مِنَ الْغَنَمِ وَوَلِيدَةٍ (جَارِيَةٍ )
فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُوْنِيْ أَنَّ عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ
وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ الرَّجُلِ الرَّجْمَ
“Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya anak lelakiku bekerja kepada si fulan, lalu ia berzina
dengan istrinya. Diberitakan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dirajam. Maka
aku membayar fidyah darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak
wanita. Kemudian, aku bertanya kepada ulama dan mereka memberitahukan kepadaku
bahwa anak lelakiku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun. Adapun istri si fulan itu harus dirajam.“
Ø
Ijma’
Dalam hal pidana islam tentang
jarimah kewajiban untuk menjalankan
hukuman hudud bukan termasuk masalah khilayafiyah seperti yang dikatakan para
orientalis, sekuleris atau kalangan liberalis. Kewajiban dan masyru’iyah
hukuman hudud ini adalah masalah yang sudah qath’i secara dalilnya, karena
bukan hanya ditetapkan di dalam Al-Quran dan sunnah, namun juga sudah menjadi
ijma’ di kalangan ulama. (http//:fiqh-islam-kehudupan.com, diakses
Ahad, 14/12/2014 pukul 10:40)
Oleh karena itu pada hukum adat
simbur cahaya ini selain dengan berlandaskan Al-Qur’an dan hadits juga berlandaskan
ijma’ ulama dalam lama menetapkan hukuman jarimah pelanggaran baik itu pidana
maupun perdata.
2. Kajian dalam hukum Adat tentang Adat
Perhukuman
Pada kitab undang-undang simbur
cahaya telah diatur pada bab ini tentang adat perhukuman berisi prinsip pokok penyelenggaraan hukuman
karena pelanggaran, baik perkara perdata maupun pidana, juga aturan seksual dan
administrasi pemerintahan. Yang mana pada hukum adat berdasarkan islam dan juga
kajian hukum adat pada setiap kesalahan atau pelanggaran hukum yang dilakukan
masyarakat.
2.
Pembahasan Tentang Aspek-Aspek Keislaman dalam Kitab Simbur Cahaya
Ø Aspek formal
Yang dimaksud dengan aspek formal
dalam konteks pembahasan ini adalah aspek ke-Islaman yang mewujud pada formal
teks yang meliputi aspek tradisi dan kebahasaan. Aspek tradisi keIslaman yang
tampak pada teks Kitab Simbur Cahaya terdapat kata atau istilah (terma) yang biasanya
dipergunakan dalam Islam. Kata atau terma yang terdapat dalam kitab Simbur
Cahaya seperti kata persujutan ( pasal 5 Bab I), batin ( pasal 16 Bab I), ahli
(pasal 22 Bab I), hukum (pasal 23,24, Bab I), iddah (pasal 25 Bab I), khatib,
syari’at ( pasal 3 Bab II), kaum (pasal 5 Bab II), hakim (pasal 2 Bab III),
zakat (pasal 11 Bab IV), masjid, langgar, padasan dan kramat( pasal 12 Bab IV),
yatim (pasal 15 Bab IV). Hal semacam ini jelas merupakan tradisi ke-Islaman.
Ø Aspek Materi
Yang dimaksud dengan aspek materi
di sini adalah aspek ke-Islaman yang diambil sebagai bahan atau materi Kitab
Simbur Cahaya atau keterpengaruhan isi Kitab Simbur Cahaya pada Islam. Hal
semacam ini tampak dengan jelas, baik dalam bentuk perbandingan dan penyerapan sebagiannya
maupun total.
Misalnya dalam pasal 25
dikemukakan ketentuan “ jika laki-laki bambang perempuan bercerai, belum habis
dia punya iddah 3 bulan 18 hari, jika cerai mati 4 bulan 10 hari lamanya, kena
6 ringgit. Bambang adalah sama dengan bergubalan, yaitu laki-laki membawa lari perempuan
ke rumah keluarga laki-laki atau ke rumah kepala dusun. Pasal ini secara tegas memakai
istilah fikih yaitu iddah yang dijadikan perhitungan dalam mengukum kesalahan seseorang.
Dalam ketentuan ini untuk iddah cerai dipakai tafsiran 3 bulan 18 hari.
Ketentuan lain yang menunjukkan pengaruh hukum Islam
tampak pula dalam Bab III, Aturan Dusun dan Berladang (pasal 34) yang berbunyi”
Siapa-siapa yang berjudi atau sabung tiada dengan izin daripada yang kuasa di
dalam Batanghari, kena hukuman raja. Larangan berjudi dalam Islam selalu
diajarkan oleh para ulama. Kemudian pengaruh Islam tampak pula dalam masalah
warisan seperti yang tercantum dalam Bab V Adat Perhukuman pasal 52,53,54 dan
58 berikut ini :
Jika orang berbini mati, hartanya dibahagi
dua sebahagi pulang pada anak atau sanak lakilaki yang mati dan sebahagi pulang
pada perempuan adat sepencaharian dan jika yang mati ada utang, hendaklah lebih
dahulu dibayar segala hutang, maka harta lebih dari utang itulah boleh
dibahagi.
Jika harta orang mati tiada cukup akan bayar utangnya,
maka nyata bininya ikut tanggung dari utang initu, hendaklah perempuan itu
bayar separo dari utang yang tinggal, akan tetapi tiada boleh sekali-sekali
anak-anak kecil turut tanggung utang bapaknya, jika dia orang orang tiada
menerima waris.
Jika perempuan yang berlaki mati, maka separo dari harta
yang ia boleh sepencaharian dengan lakinya pulang pada ia punya anak dan jika
tiada anak, pulang pada sanaknya perempuan itu.
Jika ada orang mati, hendaklah kepala dusun serta kaum
periksa dari terikatnya dan tulis segala hartanya, lantas dibahagi pada yang
dapat waris, jika anak lagi kecil atau yatim piatu, hendaklah dipewgang pasirah
dan Lebai Penghulu sampai anak itu umurnya 14 tahun, maka ketika itu lepas
yatim.
Dalam ketentuan fikih ditentukan bahwa sebelum harta
waris dibagi, maka harus dilunasi dahulu seluruh utang dari yang meninggal,
sisanya baru dibagi menurut ketentuan yang telah ditetapkan. Mengenai pembagian
harta waris yang tidak disebutkan secara pasti, tampaknya diserahkan kepada
rapat besar bila terjadi perselisihan. Dalam salah satu keputusan rapat besar marga
Tanjung Raja, tanggal 20 Maret 1920 tercantum keputusan pembahagian waris bagi
dua orang anak laki dan satu anak perempuan sebagai berikut : Masing-masing
anak laki-laki mendapat 2/5 bagian dan anak perempuan mendapat 1/5
(Adatrechtbundels,22,1923:.250).
Artinya harta waris dibagi 5, anak laki-laki mendapat dua
kali bagian anak perempuan. Keputusan pembagian warisan anak laki-laki lebih
banyak dari anak perempuan tampaknya juga pengaruh hukum Faraid (Rahim.1998:
120).
Pengaruh hukum Islam dalam Kitab Simbur Cahaya dapat
dilihat pula dalam salah satu babnya (Bab IV) yang khusus mengatur masalah
pejabat agama di daerah uluan. Di samping itu masih tampak pula pengaruh
tersebut dalam beberapa bagian lain yang mengatur masalah perkawinan, sopan
santun, dan waris. Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat dalam
beberapa bab lain dalam kitab Simbur Cahaya (Rahim, 1998: 120).
Dalam Bab I, Aturan Bujang Gadis dan Kawin, tampaknya
adanya aturan yang ketat mengenai hubungan pria dan wanita. Ketentuan yang
ketat seperti ini merupakan pengaruh dari Islam(hukum Islam) yang sangat
membatasi hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Walaupun demikian
tampaknya ketentuan di atas telah menunjukkan adanya penyesuaian dengan adat
setempat (Rahim.1998: 120).
Hubungan yang bebas antara pria dan wanita dalam Islam
yang bukan muhrim dibatasi untuk menghindari terjadinya perzinaan. Perzinaan
dalam Islam merupakan perb uatan yang tercela dan mendapat hukuman yang berat
sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat alNur ayat 2 dan 3. Ketentuan ini menunjukkan
bahwa perzinaan merupakan perbuatan tercela, walaupun hukumannya tidak seberat
yang ditentukan dalam kitab fikih, tetapi makna dari hukuman itu telah diikuti,
hanya bentuknya yang disesuaikan dengan adat setempat ( Rahim.1998: 120).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa antara adat dan
Islam terjadi persentuhan yang harmonis. Hal ini boleh jadi karena kitab fikih
tidak begitu dominan di daerah Palembang, sehingga timbul kelonggaran dalam
pemikiran yang menyebabkan munculnya beberapa penafsiran yang disesuaikan
dengan adat setempat (Rahim,1998:121).
Pengaturan masalah ibadah, zakat dan pelaksanaan
perkawinan, perceraian dan rujuk, diserahkan oleh kitab Simbur Cahaya pada para
penghulu sebagai pejabat agama resmi di daerah Palembang.
(http://dppm.uii.ac.id/datainformasi/uploads/f030204.pdf,
diakses ahad, 21/12/14 13:29).
C. KESIMPULAN (PENUTUPAN)
Sebagai penutup dari tulisan tentang dinamika pembauran hukum islam di
palembang: mengurai isi undang-undang simbur cahaya ini, dapat dikemukakan
kesimpulannya sebagai berikut:
Pertama, bahwa kitab Simbur Cahaya merupakan kitab
peradatan yang pernah berlaku pada masyarakat Sumatera selatan yang dianggap
sebagai karya Ratu Sinuhun penguasa Palembang 1639-1650.
Kedua, dalam kitab Simbur Cahaya terkandung
nilai-nilai pendidikan etika atau moral bagi masyarakat Sumatera Selatan pada
umumnya dan terutama bagi pergaulan remaja.
Ketiga, bahwa kandungan ajaran yang terdapat dalam
kitab Simbur Cahaya menggambarkan keterpengaruhan isi Kitab Simbur Cahaya pada
Islam. Hal ini juga menjelaskan bahwa antara adat dan Islam di Palembang
terjadi persentuhan yang harmonis, sehingga timbul kelonggaran dalam pemikiran
yang menyebabkan munculnya beberapa penafsiran Islam yang disesuaikan dengan
adat setempat.
Keempat, bahwa untuk pembangunan dan pengembangan
nilai-nilai luhur bangsa, terutama bagi masyarakat Sumatera Selatan, ajaran
moral atau etika pergaulan yang terdapat dalam kitab Simbur Cahaya sudah
selayaknya dipertimbangkan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1996. Bulughul Maram
(Terjemahan A. Hasan). Bandung: Diponegoro.
KANKP.1939. Kitab Simbur Cahaya. Palembang:KANKP
Muzani, Saiful (ed). 1995. Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran Harun Nasution. Bandung: Mizan.
Rahim, Husni.1998. Sistem Otoritas Administrasi Islam
Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta:
Logos.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Simbur_Cahaya, diakses ahad, 14/12/2014 Pukul 7:20)
(http://totosmg.wordpress.com/tata-cara-hidup-dan-dagang/larangan-khalwat/,
diaksess ahad, 14/12/2014 pukul 9.02)
(http://www.republika.co.id/berita/duni_islam/khazanah/13/09/13/mt2f6t-bagaimana-islam-memuliakan-petani,
diakses ahad, 21/12/14 (10:55)
(http://dppm.uii.ac.id/datainformasi/uploads/f030204.pdf,
diakses ahad, 21/12/14 13:29).