Friday, 27 November 2015

DINAMIKA PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI PALEMBANG MENGURAIKAN ISI UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA

DINAMIKA PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI PALEMBANG MENGURAIKAN ISI UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA
Oleh: Iswahyudi

A.    PENDAHULUAN

Dalam konteks, masa Kesultanan Palembang Darussalam seperti halnya kebanyakan Islam di Nusatara – umat islam umumnya adalah pengikut paham ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang mengenal islam dari sudut pandang fikh khususnya fiqh Syafi’iyyah, ditambah dengan tinjauan tauhid seperti yang terdepat dalam teologi Asy’ariyah (Muzani, (ed), 1995: 160).
Agama dan budaya yang telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang di Palembang tentu saja sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama, sehingga perlu waktu yang tidak sedikit untuk melakukan perubahan keyakinan masyarakat. Akan tetapi, kondisi ini telah menjadikan palembang sebagai tempat yang penting dalam persentuhannya dengan sebagai peradaban dan tradisi di Nusantara (Husni Rahim, 2006: 7)
Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan di pedalaman Sumatera Selatan, dengan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk undang-undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi masyarakat Nusantara.
Kitab Simbur Cahaya, ditulis oleh Ratu Sinuhun yang merupakan isteri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan (1630—1642 M). Kitab ini terdiri atas 5 bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan, khususnya terkait persamaan gender perempuan dan laki-laki.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika Palembang berhasil dikuasai Kolonial Belanda. Sistem kelembagaan adat masih dilaksanakan seperti sediakala, yaitu dengan mengacu kepada Undang Undang Simbur Cahaya, dengan beberapa penghapusan dan penambahan aturan yang dibuat resident.
Berdasarkan informasi dari penerbit “Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922”, Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:

1.      Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)
2.      Adat Perhukuman (Strafwetten)
3.      Adat Marga (Marga Verordeningen)
4.      Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen)
5.      Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Simbur_Cahaya, diakses ahad, 14/12/2014 Pukul 7:20)
Oleh karena itu, pada pembahasan artikel ini akan dilakukan pengka jian terjadap naskah undang-undang Sumbur Cahaya dan akan dipilih dari 5 bab dalam naskah undang-undang Sumbur Cahaya dengan diuraikan mana yang sumber dari konsep-konsep ajaran Islam dengan  didukung ayat atau hadits atau ijma’ dan yang bersumber huku

B.     PEMBAHASAN
 
1.      Pembahasan Tentang Pengklasifikasian Simbur Cahaya dengan Hukum Islam dan Hukum Adat

Pada pembahasan ini akan dibahas mengenai undang-undang Simbur Cahaya dalam asfek kajian hukum islam dan hukum adat yang mana undang-undang Simbur Cahaya tersebut berisikan tentang  (1) Adat Bujang Gadis dan Kawin, (2) Aturan Marga, (3) Aturan Dusun dan Berlandang, (4) Aturan Kaum  dan (5) Aturan Perhukuman.

Ø  Bab Pertama
Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)
Pada bab pertama ini memuat tentang adat, pergaulan bujang gadis dan perkawinan yang menyangkut aturan moral dan kesusilaan pria dan wanita pada umumnya serta aturan moral dan kesusilaan muda-mudi khususnya serta hal-hal yang terkait dengannya. Di samping itu, dilengkapi pula keterangan keterangan sebagai penjelas. (KANKP, 1939: 2-12)
1.      Kajian dalam hukum Islam tentang Adat Bujang Gadis - Perkawinan

Dalam konteks kajian islam bahwa bab pertama ini mengenai tentang pergaulan antara bujang dan gadis dan juga tentang perkawinan, adapun beberapa dalil yang berhubungan dengan bab ini adalah sebagai berikut:

o  Pergaulan Antara bujang dan gadis (ikhwan dan akhwat)

Ø  Dalil Al-Qur’an
(QS. An-Nur : 30-31)
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
30.  Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
31.  Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Ø  Hadits
(Bukhari no : 4832)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرٌو عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami sufyan telah menceritakan kepada kami Amru dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan muhrimnya. “ Lalu seorang laki-laki bangkit seraya berkata, “ Wahai Rasulullah, Isteriku berangkat hendak menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini. “ beliau bersabda: “ Kalau  begitu, kembali dan tunaikanlah haji bersama istrimu. (Hr. Bukhari)
Ø  Ijma’ Ulama (tentang bedua-duan atau pergaulan laki-laki dan perempuan)
1.    Orang ketiganya mahram. Artinya, kalau orang ketiganya itu wanita, dia merupakan mahram atau istri dari lelaki yg disana. Jika orang ketiganya itu lelaki, ia merupakan mahram atau suami dari wanita yang disana. Untuk kasus ini semua sepakat menghilangkan status dan larangan khalwat.
2.    Orang ketiganya bukan mahram. Artinya, orang ketiga itu juga tergolong orang ajnabi/asing, yang tidak ada hubungan mahram dengan salah satu dari pria atau wanita (walaupun dia teman). Untuk kasus ini, pendapat kalangan Syafi`iyyah tetap melarangnya.
3.    Orang ketiganya bukan mahram, tetapi merupakan orang tsiqah/terpercaya baik dari segi kebaikan agamanya maupun sisi kebaikan hubungan kerabat (tapi bukan mahram) atau silaturrahim/persahabatan dengan salah satu atau kedua pihak. Untuk kasus ini, pendapat sebagian kalangan Syafi`iyyah membolehkannya.
4.    Adanya orang ketiga menjadikannya boleh. Ini pendapat Hanafiyyah.
(http://totosmg.wordpress.com/tata-cara-hidup-dan-dagang/larangan-khalwat/, diaksess ahad, 14/12/2014 pukul 9.02)

o  Dalil tentang pernikahan

Ø  Al-Qur’an
(QS. Ar-Rum : 21)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
21.  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Ø  Hadits
(Perintah Kepada Pemuda Untuk Segera Menikah)
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami, "Wahai para pemuda! Barang siapa di antar kamu yang sanggup menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya nikah itu menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, namun barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena hal itu sebagai pengebirinya." (HR. Bukhari dan Muslim). (Al-Asqolani, 1996: 200)

2.      Kajian dalam Hukum Adat tentang Bujang, Gadis dan Perkawinan

Pada hukum adat simbur cahaya berisi tentang Aturan Bujang Gadis dan Kawin, tampaknya adanya aturan yang ketat mengenai hubungan pria dan wanita. Ketentuan yang ketat seperti ini merupakan pengaruh dari Islam(hukum Islam) yang sangat membatasi hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Walaupun demikian tampaknya ketentuan di atas telah menunjukkan adanya penyesuaian dengan adat setempat (Rahim.1998: 120).
Hubungan yang bebas antara pria dan wanita dalam Islam yang bukan muhrim dibatasi untuk menghindari terjadinya perzinaan. Perzinaan dalam Islam merupakan perbuatan yang tercela dan mendapat hukuman yang berat sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat an-Nur ayat 2 dan 3. Ketentuan ini menunjukkan bahwa perzinaan merupakan perbuatan tercela, walaupun hukumannya tidak seberat yang ditentukan dalam kitab fikih, tetapi makna dari hukuman itu telah diikuti, hanya bentuknya yang disesuaikan dengan adat setempat ( Rahim.1998: 120).
Kemudian, seperti di pasal 1. bahwa apabila bujang gadis hendak kawin hendaklah memberi tahu kepada pesirah atau kepala dusun. Di Pasal 3 harus memberi mahar istrinya 2 ringgit satu suku emas.  Dan pasal 8 apabila gadis lantas bunting maka membayar 12 ringgit. Itulah salah satu contoh hukum adat simbur cahaya dan hal ini berkaitan dengan hukum islam dan fiqh.

Ø  Bab Kedua
Aturan Marga (Marga Verordeningen)
Bab kedua ini tentang aturan marga berisi prinsip pokok administrasi dan politik marga. Lebih dari soal pemerintahan, kandungannya berkaitan erat dengan perilaku masyarakat setempat berisi pula keterangan keterangan sebagai penjelas (KANKP, 1939:11-16)
1.    Kajian dalam hukum islam tentang Aturan Marga

Ø  Dalil Al-Qur’an
(QS. An-Nur : 55)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

55.  Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Ayat ini berkenaan dengan perinsip pokok administrasi suatu kepemimpinan atau keperintahan yang mana pada bab ini salah satu isi didalam yaitu satu-satu marga ditetapkan pesirah yang memerintah atas segala hal marganya dan pesirah itu banyak yang memilih dan raja yang serta angkat serta kasih nama (pasal 01) dan kemudian raja dan pesirah menjalankan aturan marganya terhadap rakyatnya.

(QS. Ali Imron : 103)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

103.  Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan tentang berkenaan dengan politik marga atau aturan marga yang mana didalam masyarakat khususnya masyarakat yang menganut undang-undang simbur cahaya harus menjujung tinggi persaudaraan dan persatuan.

Ø  Hadits
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ
Allah memerintahkan berlaku baik (ihsân) dalam segala hal. Jika kalian membunuh, lakukan pembunuhan itu dengan baik. Jika kalian menyembelih, lakukan penyembelihan dengan baik pula (HR Muslim).

2.    Kajian dalam Hukum Adat tentang Aturan Marga
Bab kedua tentang aturan marga berisi prinsip pokok administrasi dan politik marga. Yakni dipilih pesirah yang memrintas atas telah dipilihnya oleh masyarakat dan raja  mengangkatnya. (maksud pasal 1). Kemudian detapkan satu lebai penghulu kuasa hakim serta khatib yang membantu perkejaan lebai penghulu (maksud pasal 3).
Dan pada pasal 6 bahwa apabila ada diantara kaum yang melakukan kejahatan seperti maling maka sebagai hukuman nya adalah dipasung sampai 2 hari 2 malam tidak lebih, dan dikenakan denda 12 ringgit.
Dan kemudian didalam administrasi nya sebagai resmi atau legalnya suatu penetapan yakni harus dibubuhi cap macan.  Dan pada pasal 16 bahwa pesirah tidak boleh menerima marga asing yang akan berladang dan lain-lain kecuali mendapat izin dari kuasa didalam batanghari.
Itulah salah satu contoh dari aturan adat bab kedua aturang marga pada kitab simbur cahaya.

Ø  Bab Ketiga

Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)

Bab ketiga ini berisi tentang aturan dusun dan berladang, memuat administrasi tingkat dusun pengandang, termasuk pula masalah agraria. Aturan-aturan tersebut disertai keterangan seperlunya (KANKP, 1939: 17-22)

1.    Kajian dalam hukum islam tentang Aturan Dusun dan Berladang
o  Aturan Dusun
Ø  Dalil Al-Qur’an
(QS. An-Nisa’ :59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

59.  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini menjelaskan tentang mentaati Allah, Rasul dan Pemimpin. Dan Apabila dikaitkan dengan bab ketiga ini yakni tentang peraturan dusun yang ditetapkan oleh kepala dusun bahwa masyarakat yang berdomisilih pada daerah tersebut wajib mengikuti peraturan desa tersebut yang sesuai dengan kaidah dan kebenaran.
Dan pada bab ada kaitannya pada bab selanjutnya tentang aturan kaum atau agama. Yang mana setiap aturan itu harus diikuti.
                                                                                 
o  Berladang
Ø  Ijma’ Ulama tentang Berladang
Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi yang berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa’yi wa al-Harakah mencoba menguraikan urgensi bercocok tanam dan perhatian Islam dalam pengelolahan hasil bumi dari berkebun dan bertani.
Ulama yang wafat pada 782 H itu menegaskan secara garis besar, ada tiga profesi utama, yaitu bercocok tanam, industri, dan perdagangan. 
Mengutip perkataan Imam al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat. Ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh terhadap Allah SWT. 
Al-Mawardi pun menukilkan sebuah hadis tentang keutamaan bertawakal. “Orang yang bertawakal akan masuk surga tanpa hisab,”sabda Rasulullah SAW dalam hadis itu.
Imam an-Nawawi menambahkan, pekerjaan ini diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kelangsungan hidup manusia. 
Bahkan, faedah bercocok tanam tidak hanya terbatas untuk manusia, tetapi juga berguna bagi makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang hidup di bumi juga merasakan dampak dari bercocok tanam, seperti sapi, kerbau, kuda, ataupun burung. 
Al-Wishabi menegaskan, hukum bertani adalah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika telah dilaksanakan oleh sekelompok orang. Bila tak ada satu pun pihak yang melaksanakan tuntutan ini, sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang.
Penempatan profesi ini dalam kategori fardhu kifayah disebabkan urgensi dan ketergantungan segenap umat manusia terhadap hasil bercocok tanam.
Kedua imam terkemuka, yakni Imam al-Haramain dan an-Nawawi, menyatakan, ada kalanya fardhu kifayah bisa lebih utama ketimbang fardhu’ain. 
Karena, tanggungan fardhu kifayah bila tak terpenuhi oleh satu pun orang, dosanya akan dipikul secara kolektif. Berbeda dengan fardhu’ain yang seandainya tak dikerjakan dampak hukumnya kembali ke individu saja.
Keutamaan
Bercocok tanam sangat terpandang dalam Islam, demikian diungkapkan al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam diabadikan, baik dalam ayat Alquran ataupun sabda Rasul.
Melalui profesi ini, ujar al-Wishabi, maka akan terang benderang tentang kekuasaan Allah SWT. Dia mendeklarasikan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta yang menguasai unsur air, mengubahnya menjadi air hujan, lalu menurunkannya ke bumi untuk menghidupi berbagai macam tanaman yang dipergunakan bagi kelangsungan makhluk hidup.
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak.” (QS al-An’am [6]: 99).
Keistimewaan ini juga dikuatkan di sejumlah hadis. Di antaranya, hadis dari Abdullah bin Umar. Hadis yang dinukilkan ats-Tsa’labi dan al-Wahidi itu menyatakan bahwa orang yang bercocok tanam akan mendapat pahala di sisi Allah SWT.
Tiap batang tanaman yang dia budi dayakan pada hakikatnya tertulis asma Allah di dalamnya. Maka, tiap langkah yang diayunkan seorang petani menuju ladang pun, sejatinya akan teriring dengan pahala basmalah tersebut.
Sebuah riwayat Muslim menegaskan pula tentang keutamaan berladang. Terlebih, bila pekerjaan itu dilakukan oleh seorang Muslim. Suatu saat, Rasul bertemu dengan Ummu Basyar al-Anshariyah di kebun kurma. Rasul memanyakan, milik siapakah kebun itu dan siapa yang menanam ratusan pohon kurma tersebut. “Muslim atau non-Muslimkah dia?” kata Rasul. Ternyata, jawabannya adalah Muslim.
Rasul pun mengungkapkan pahala yang menyertai peladang Muslim tersebut. Bahwa, tidak ada ganjaran yang lebih pantas bagi seorang Muslim yang menanam tanaman, lalu dijadikan makanan manusia ataupun binatang melata atau apa pun, kecuali akan tercatat sebagai sedekah baginya hingga hari kiamat kelak. Tidak heran bila tak sedikit kalangan Anshar ataupun Muhajirin yang menyibukkan diri dengan bertani atau berladang.
Konon, Abu Hurairah yang terkenal dengan periwayatan hadis terbanyak pun tersohor dengan aktivitas berladangnya. Para sahabat memang luar biasa. 
Mereka zuhud, ahli ibadah, dan pakar agama, tetapi tak pernah abai terhadap urusan duniawi mereka. Tak terkecuali, bersumbangsih untuk kelangsungan hidup segenap makhluk lewat berladang atau bercocok tanam. (http://www.republika.co.id/berita/duni_islam/khazanah/13/09/13/mt2f6t-bagaimana-islam-memuliakan-petani, diakses ahad, 21/12/14 (10:55)

2.    Kajian dalam Hukum Adat tentang Aturan dusun dan berladang

Didalam Adat simbur cahaya bahwa seperti di pasal 1 bab 3 ini bahwa didalam satu-satu dusun ditetapkan satu pengandang yang meminta dusun dan dibawah pengandang ditetapkan penggawal dusun berapa secukupnya atas besarnya dusun. Kemudian aturan untuk pegawai dusun pasal 3 bahwa harus pakai kopiah. Dan kemudian pada masyarakat diautut dan ada ketentuan masing-masing wilayah kehidupan seperti adanya pendatang, musibah, berdagang, berladang- berkebun dan lain sebagainya telah diatur dalam kitab undang-undang simbur cahaya.

Ø  Bab Keempat

Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen)

Bab keempat ini berisi tentang aturan kaum, yaitu memuat aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat urusan agama. Karena yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam, hukumyang diterapkan dalam pengelolaannya mengacu pada syari’at Islam (KANKP, 1939: 23-24)

1.    Kajian dalam hukum islam tentang Aturan Kaum

Ø Dalil Al-Quran
(QS. An-Nisa’ :59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
 59.  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat diatas tentang wajibnya mengikuti aturan atau mentaati Allah, Rasul dan Pemimpin dalam hal ini pada bab 4 ini diatur mengenai aturan kaum yang memuat aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat urusan agama.

Ø Hadits
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Hadits diatas tentang mendengarkan pemimpin dan taat terhadap aturannya.
Kemudian hadits tentang tanggung jawab seorang pemimpin
“ Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinya, seorang kepala negara yang memimpin rakyat bertanggung jawab atas mereka, dan seorang laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka. “ (Muttafaq ‘Alaih)
Dan hadits tersebut diatas tentang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pejabat.


2.    Kajian dalam Hukum Adat tentang Aturan Kaum

Didalam undang undang simbur cahaya bahwa di dalam bab keempat ini berisi tentang aturan pokok dan pelaksanaan pejabat yang memuat urusan agama. Karena yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam.
Adapun salah satu contoh dari adat dari simbur cahaya ini adalah seperti dipasal 1 dan 2 bahwa didalam dusun ditetapkan satu Lebai Penghulu kuasa haki, maka penghulu itu jadi kepala kaum di dalam marganya serta kaum kaum hendaklah turut perintah lebai penghulu dan didalam dusun pesirah ditetapkan satu atau dua Khatib untuk membantu tugas Lebai Penghulu. Dan para penghulu ini setiap tahun melaporkan dengan buku laporan tentang kegiatan yang menyangkut agama seperti pernikahan, zakat, pengurusan masjid dan lain sebagainya, kepada Paduka Pangeran Penghulu Nata Agama di Palembang.

Ø Bab Kelima

Aturan Adat Perhukuman (Strafwetten)

Pada bab kelima ini berisi tentang adat perhukuman, yang berisi prinsip pokok penyelenggaraan hukuman karena pelanggaran, baik perkara perdata maupun pidana, juga aturan seksual dan administrasi pemerintahan. Berisi pula keterangan penjelasan. (KANKP,1939:25-32)

1.    Kajian dalam hukum Islam tentang Adat Perhukuman

Dalam konteks kajian hukum islam mengenai adat perhukuman adapun dalil-dalil tentang perhukuman tersebut adalah sebagai berikut:

Ø  Al-Qur’an
(QS. Al-Isra’ : 15)

مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
15.  Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.
Ayat diatas tentang asas legalitas dan juga berkenaan perhukuman karena pelanggaran baik itu masalah pidana, perdata dan lain sebagainya.
Ø  Hadits
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيفًا أي : أَجِيرًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّيْ أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ. فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةٍ مِنَ الْغَنَمِ وَوَلِيدَةٍ (جَارِيَةٍ ) فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُوْنِيْ أَنَّ عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ الرَّجُلِ الرَّجْمَ
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anak lelakiku bekerja kepada si fulan, lalu ia berzina dengan istrinya. Diberitakan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dirajam. Maka aku membayar fidyah darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian, aku bertanya kepada ulama dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun istri si fulan itu harus dirajam.“
Ø  Ijma’
Dalam hal pidana islam tentang jarimah kewajiban untuk menjalankan hukuman hudud bukan termasuk masalah khilayafiyah seperti yang dikatakan para orientalis, sekuleris atau kalangan liberalis. Kewajiban dan masyru’iyah hukuman hudud ini adalah masalah yang sudah qath’i secara dalilnya, karena bukan hanya ditetapkan di dalam Al-Quran dan sunnah, namun juga sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama. (http//:fiqh-islam-kehudupan.com, diakses Ahad, 14/12/2014 pukul 10:40)
Oleh karena itu pada hukum adat simbur cahaya ini selain dengan berlandaskan Al-Qur’an dan hadits juga berlandaskan ijma’ ulama dalam lama menetapkan hukuman jarimah pelanggaran baik itu pidana maupun perdata.

2.    Kajian dalam hukum Adat tentang Adat Perhukuman

Pada kitab undang-undang simbur cahaya telah diatur pada bab ini tentang adat perhukuman berisi prinsip pokok penyelenggaraan hukuman karena pelanggaran, baik perkara perdata maupun pidana, juga aturan seksual dan administrasi pemerintahan. Yang mana pada hukum adat berdasarkan islam dan juga kajian hukum adat pada setiap kesalahan atau pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat.

2.      Pembahasan Tentang Aspek-Aspek Keislaman dalam Kitab Simbur Cahaya

Ø  Aspek formal
Yang dimaksud dengan aspek formal dalam konteks pembahasan ini adalah aspek ke-Islaman yang mewujud pada formal teks yang meliputi aspek tradisi dan kebahasaan. Aspek tradisi keIslaman yang tampak pada teks Kitab Simbur Cahaya terdapat kata atau istilah (terma) yang biasanya dipergunakan dalam Islam. Kata atau terma yang terdapat dalam kitab Simbur Cahaya seperti kata persujutan ( pasal 5 Bab I), batin ( pasal 16 Bab I), ahli (pasal 22 Bab I), hukum (pasal 23,24, Bab I), iddah (pasal 25 Bab I), khatib, syari’at ( pasal 3 Bab II), kaum (pasal 5 Bab II), hakim (pasal 2 Bab III), zakat (pasal 11 Bab IV), masjid, langgar, padasan dan kramat( pasal 12 Bab IV), yatim (pasal 15 Bab IV). Hal semacam ini jelas merupakan tradisi ke-Islaman.

Ø  Aspek Materi
Yang dimaksud dengan aspek materi di sini adalah aspek ke-Islaman yang diambil sebagai bahan atau materi Kitab Simbur Cahaya atau keterpengaruhan isi Kitab Simbur Cahaya pada Islam. Hal semacam ini tampak dengan jelas, baik dalam bentuk perbandingan dan penyerapan sebagiannya maupun total.
Misalnya dalam pasal 25 dikemukakan ketentuan “ jika laki-laki bambang perempuan bercerai, belum habis dia punya iddah 3 bulan 18 hari, jika cerai mati 4 bulan 10 hari lamanya, kena 6 ringgit. Bambang adalah sama dengan bergubalan, yaitu laki-laki membawa lari perempuan ke rumah keluarga laki-laki atau ke rumah kepala dusun. Pasal ini secara tegas memakai istilah fikih yaitu iddah yang dijadikan perhitungan dalam mengukum kesalahan seseorang. Dalam ketentuan ini untuk iddah cerai dipakai tafsiran 3 bulan 18 hari.
Ketentuan lain yang menunjukkan pengaruh hukum Islam tampak pula dalam Bab III, Aturan Dusun dan Berladang (pasal 34) yang berbunyi” Siapa-siapa yang berjudi atau sabung tiada dengan izin daripada yang kuasa di dalam Batanghari, kena hukuman raja. Larangan berjudi dalam Islam selalu diajarkan oleh para ulama. Kemudian pengaruh Islam tampak pula dalam masalah warisan seperti yang tercantum dalam Bab V Adat Perhukuman pasal 52,53,54 dan 58 berikut ini :
 Jika orang berbini mati, hartanya dibahagi dua sebahagi pulang pada anak atau sanak lakilaki yang mati dan sebahagi pulang pada perempuan adat sepencaharian dan jika yang mati ada utang, hendaklah lebih dahulu dibayar segala hutang, maka harta lebih dari utang itulah boleh dibahagi.
Jika harta orang mati tiada cukup akan bayar utangnya, maka nyata bininya ikut tanggung dari utang initu, hendaklah perempuan itu bayar separo dari utang yang tinggal, akan tetapi tiada boleh sekali-sekali anak-anak kecil turut tanggung utang bapaknya, jika dia orang orang tiada menerima waris.
Jika perempuan yang berlaki mati, maka separo dari harta yang ia boleh sepencaharian dengan lakinya pulang pada ia punya anak dan jika tiada anak, pulang pada sanaknya perempuan itu.
Jika ada orang mati, hendaklah kepala dusun serta kaum periksa dari terikatnya dan tulis segala hartanya, lantas dibahagi pada yang dapat waris, jika anak lagi kecil atau yatim piatu, hendaklah dipewgang pasirah dan Lebai Penghulu sampai anak itu umurnya 14 tahun, maka ketika itu lepas yatim.
Dalam ketentuan fikih ditentukan bahwa sebelum harta waris dibagi, maka harus dilunasi dahulu seluruh utang dari yang meninggal, sisanya baru dibagi menurut ketentuan yang telah ditetapkan. Mengenai pembagian harta waris yang tidak disebutkan secara pasti, tampaknya diserahkan kepada rapat besar bila terjadi perselisihan. Dalam salah satu keputusan rapat besar marga Tanjung Raja, tanggal 20 Maret 1920 tercantum keputusan pembahagian waris bagi dua orang anak laki dan satu anak perempuan sebagai berikut : Masing-masing anak laki-laki mendapat 2/5 bagian dan anak perempuan mendapat 1/5 (Adatrechtbundels,22,1923:.250).
Artinya harta waris dibagi 5, anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan. Keputusan pembagian warisan anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan tampaknya juga pengaruh hukum Faraid (Rahim.1998: 120).
Pengaruh hukum Islam dalam Kitab Simbur Cahaya dapat dilihat pula dalam salah satu babnya (Bab IV) yang khusus mengatur masalah pejabat agama di daerah uluan. Di samping itu masih tampak pula pengaruh tersebut dalam beberapa bagian lain yang mengatur masalah perkawinan, sopan santun, dan waris. Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat dalam beberapa bab lain dalam kitab Simbur Cahaya (Rahim, 1998: 120).
Dalam Bab I, Aturan Bujang Gadis dan Kawin, tampaknya adanya aturan yang ketat mengenai hubungan pria dan wanita. Ketentuan yang ketat seperti ini merupakan pengaruh dari Islam(hukum Islam) yang sangat membatasi hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Walaupun demikian tampaknya ketentuan di atas telah menunjukkan adanya penyesuaian dengan adat setempat (Rahim.1998: 120).
Hubungan yang bebas antara pria dan wanita dalam Islam yang bukan muhrim dibatasi untuk menghindari terjadinya perzinaan. Perzinaan dalam Islam merupakan perb uatan yang tercela dan mendapat hukuman yang berat sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat alNur ayat 2 dan 3. Ketentuan ini menunjukkan bahwa perzinaan merupakan perbuatan tercela, walaupun hukumannya tidak seberat yang ditentukan dalam kitab fikih, tetapi makna dari hukuman itu telah diikuti, hanya bentuknya yang disesuaikan dengan adat setempat ( Rahim.1998: 120).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa antara adat dan Islam terjadi persentuhan yang harmonis. Hal ini boleh jadi karena kitab fikih tidak begitu dominan di daerah Palembang, sehingga timbul kelonggaran dalam pemikiran yang menyebabkan munculnya beberapa penafsiran yang disesuaikan dengan adat setempat (Rahim,1998:121).
Pengaturan masalah ibadah, zakat dan pelaksanaan perkawinan, perceraian dan rujuk, diserahkan oleh kitab Simbur Cahaya pada para penghulu sebagai pejabat agama resmi di daerah Palembang.
(http://dppm.uii.ac.id/datainformasi/uploads/f030204.pdf, diakses ahad, 21/12/14 13:29).


C.    KESIMPULAN (PENUTUPAN)


Sebagai penutup dari tulisan  tentang dinamika pembauran hukum islam di palembang: mengurai isi undang-undang simbur cahaya ini, dapat dikemukakan kesimpulannya sebagai berikut:
Pertama, bahwa kitab Simbur Cahaya merupakan kitab peradatan yang pernah berlaku pada masyarakat Sumatera selatan yang dianggap sebagai karya Ratu Sinuhun penguasa Palembang 1639-1650.
Kedua, dalam kitab Simbur Cahaya terkandung nilai-nilai pendidikan etika atau moral bagi masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya dan terutama bagi pergaulan remaja.
Ketiga, bahwa kandungan ajaran yang terdapat dalam kitab Simbur Cahaya menggambarkan keterpengaruhan isi Kitab Simbur Cahaya pada Islam. Hal ini juga menjelaskan bahwa antara adat dan Islam di Palembang terjadi persentuhan yang harmonis, sehingga timbul kelonggaran dalam pemikiran yang menyebabkan munculnya beberapa penafsiran Islam yang disesuaikan dengan adat setempat.
Keempat, bahwa untuk pembangunan dan pengembangan nilai-nilai luhur bangsa, terutama bagi masyarakat Sumatera Selatan, ajaran moral atau etika pergaulan yang terdapat dalam kitab Simbur Cahaya sudah selayaknya dipertimbangkan


DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1996. Bulughul Maram (Terjemahan A. Hasan). Bandung: Diponegoro.

KANKP.1939. Kitab Simbur Cahaya. Palembang:KANKP

Muzani, Saiful (ed). 1995. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Bandung: Mizan.

Rahim, Husni.1998. Sistem Otoritas Administrasi Islam Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos.

     .

(http://id.wikipedia.org/wiki/Simbur_Cahaya, diakses ahad, 14/12/2014 Pukul 7:20)

(http://totosmg.wordpress.com/tata-cara-hidup-dan-dagang/larangan-khalwat/, diaksess ahad, 14/12/2014 pukul 9.02)

 (http://www.republika.co.id/berita/duni_islam/khazanah/13/09/13/mt2f6t-bagaimana-islam-memuliakan-petani, diakses ahad, 21/12/14 (10:55)

(http://dppm.uii.ac.id/datainformasi/uploads/f030204.pdf, diakses ahad, 21/12/14 13:29).


loading...