Sunday 22 November 2015

EMPAT CONTOH ASAS-ASAS DALAM HUKUM AGRARIA BESERTA IMPLEMENTASINYA DI DALAM MASYARAKAT ( UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 )

EMPAT CONTOH ASAS-ASAS DALAM HUKUM AGRARIA BESERTA IMPLEMENTASINYA DI DALAM MASYARAKAT ( UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 )

Oleh: Iswahyudi

1.      ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)
a.    Penjelasan
Asas ini terdapat dalam UUPA Pasal 6 : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya”.
Didalam pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang lain dan kepentingan umum, serta keagamaan. Sehingga tidak diperbolehkan jika tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
                Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a) Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b) Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
c)  Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.
UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
b. Implementasi Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara (Kewarganegaraan)
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.

2.  ASAS PERLINDUNGAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA UNTUK MEMPUNYAI HAK MILIK ATAS TANAH
a.  Penjelasan
Asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas tanah yakni asas yang menyatakan bahwa hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum. Orang-orang asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luas dan jangka waktunya terbatas. Peraturan mengenai asas perlindungan ini diatur dalam :
1. Pasal 9 ayat 1 jo.pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Pasal 21 yang dengan tegas UUPA menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki tanah.
3. Bagi mereka yang mempunyai status Warga Negara Asing (WNA) hanya diperbolehkan menguasai hak atas tanah dengan status hak pakai. Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA)  yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM).
4.  Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.
5. Pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA.
Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan Warga Negara Asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga Negara Asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas untuk menciptakan asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas tanah.
Jadi bisa ditegaskan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 9(1)). Ketentuan ini mendapat penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik sebagai Hak Atas Tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah. Hanya WNI yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (Pasal 21(1)). Konsekuensinya adalah penguasaan hak atas tanah oleh WNA dibatasi, yakni hanya dimungkinkan diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Asas tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan Nasional. Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi asing. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh hak atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP No. 40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996 Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.

b. Implementasi Di Masyarakat
Kepemilikan Tanah Terselubung Oleh Warga Negara Asing
Kepemilikan tanah terselubung merupakan model kepemilikan tanah yang secara formal diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat dihadapan notaris. Model ini marak dilakukan oleh Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Dalam hasil penelitian di Kota Batam terdapat sekitar 1.692 orang tenaga kerja WNA. Lebih lanjut disebutkan bahwa secara materiil di Kota Batam terdapat banyak WNA yang mempunyai rumah, namun secara yuridis sulit dibuktikan karena adanya pernikahan dibawah tangan dengan seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Rumah tersebut dicatat atasnama istri/suaminya yang berstatus WNI. Demikian pula di Provinsi Bali yang menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Secara nyata di beberapa Desa seperti Desa Canggu, Desa Lalanglinggah beberapa WNA yang meminjam nama seorang WNI untuk memperoleh Hak Milik atas tanah. Selanjutnya antara WNI dan WNA membuat suatu perjanjian dihadapan Notaris yang isinya bahwa WNI tetap mengakui kepemilikan WNA tersebut dan baik dirinya maupun ahli warisnya tidak akan melakukan gugatan apapun terhadap tanah tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Menurut Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Kepemilikan tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA tersebut di atas, dapat dikatakan merusak administrasi pertanahan.

3.  Asas Nasionalitas Dalam Hukum Agraria Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sehari Hari

a. Penjelasan
Asas nasionalitas adalah asas yang menghendaki bahwa hanya bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Atau dengan kata lain asas nasionalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warganegara baik asli maupun keturunan. Jadi tanah itu hanya disediakan untuk warga negara dari Negara-negara yang bersangkutan.
Seperti di Indonesia, asas nasionalisme ini terdapat dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 1 ayat (1), (2) dan (3). Pasal 1 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa ”seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa ”seluruh bumi, air dan rang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak senata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah  atau pulau yang bersangkutan saja.
Pada pasal 1 ayat (3) UUPA, dinyatakan bahwa “ hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi ,air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi “. Ini berarti bahwa seelama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Oleh sebab itu, seluruh bumi, air, ruang angkasa seta kekayaan alam yang terkandung didalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan yang abadi.
b. Implmentasi Asas Nasionalitas Terhadap Hak-Hak Warga Negara
Dengan adanya asas nasionalitas tersebut, terdapat jaminan mengenai hak Warga Negara Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam  lain yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian warga Negara asing atau badan usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di buktikan tentang masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia tentang kepemilikan tanah yaitu dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA)  yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini Pasal 26 (ayat 2) UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hokum. Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA.

4.  Asas Hak Menguasai Negara
a.  Penjelasan
Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Asas ini sebenarnya memiliki semangat pengganti asas Domein Verklaring yang berlaku pada masa Colonial Belanda, yang ternyata hanya memberikan keuntungan pada pemerintahan Colonial Belanda pada masa itu. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah
Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.
Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bgai kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.
b. Implementasi Di Masyarakat
Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari Undang-undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau Pemerintah harus memiliki Sense Of Public Service, sedangkan masyarakat harus memiliki The Duty Of Public Obedience. Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara memperoleh legitimasi politik dan legitimasi sosial.
Penguasaan Sumber Daya Alam Kaltim
Kaltim sebagai contoh propinsi yang kaya kedua setelah Papua dalam sumber daya alam, telah menerima akibat dari kebijakaan penguasaan negara terhadap sumber daya alam. Ekspoitasi besar-besar hutan dengan UU No.5 Tahun 1967, menjadikan kaltim jadi era banjir kap hutan. Sehingga dapat menopang perekonomian dinegeri ini. Hutan dibabat habis tanpa batas, tanpa memperdulikan daya dukung lingkungan dan kerusakan ekosistem. Siapa yang diutungkan dan menikmati sumber daya hutan yang begitu besar, bukan rakyat Kaltim, mereka tetap miskin, tergusur, dipinggirkan dari pengelolaan sumber daya alamnya, yang jelas pemilik modal/swasta/investor yang bertindak atas nama negara. Kenapa? Mereka yang diuntungakan oleh kebijakaan negara dalam hal ini penguasaan negara atas sumber daya alam, itu diberikan oleh swasta dalam pengelolaan. Sumber daya alam seharusnya ranah negara dalam pemanfaatan, namun diberikan pada rana privat.[1]




[1] http://zherlyamalia.blogspot.com/2013/10/empat-contoh-asas-asas-dalam-hukum.html
loading...