EMPAT CONTOH ASAS-ASAS DALAM HUKUM AGRARIA BESERTA IMPLEMENTASINYA DI DALAM
MASYARAKAT ( UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 )
Oleh: Iswahyudi
1. ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)
a. Penjelasan
Asas ini
terdapat dalam UUPA Pasal 6 : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya
(atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu
dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social
ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya”.
Didalam
pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang
lain dan kepentingan umum, serta keagamaan. Sehingga tidak diperbolehkan jika
tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Fungsi sosial hak atas
tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan
antara lain :
a) Merupakan
suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara
singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut
prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat
komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan
ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b) Tanah
yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu
saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya,
dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu
saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan
kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan masyarakat.
c)
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan
tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar
tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta
kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik
hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara
tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.
UUPA
menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang
bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran,
keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah.
Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan
tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah
untuk kepentingan umum.
b. Implementasi
Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara (Kewarganegaraan)
Salah satu
contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah
Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya
terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya
untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah
yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah
mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya
pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi
kepentingan umum.
2. ASAS PERLINDUNGAN BAGI WARGA
NEGARA INDONESIA UNTUK MEMPUNYAI HAK MILIK ATAS TANAH
a.
Penjelasan
Asas
perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas tanah yakni
asas yang menyatakan bahwa hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan
pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi
hukum. Orang-orang asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luas
dan jangka waktunya terbatas. Peraturan mengenai asas perlindungan ini diatur
dalam :
1. Pasal 9 ayat 1 jo.pasal 21 ayat 1 UUPA
yang menyatakan bahwa “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Pasal 21 yang dengan tegas UUPA
menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki tanah.
3. Bagi mereka yang mempunyai
status Warga Negara Asing (WNA) hanya diperbolehkan menguasai hak atas tanah
dengan status hak pakai. Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara
Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di
Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang
- Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP)
atas tanah.
Berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan
di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan
Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan
bangunan dengan status Hak Milik (HM).
4. Hak milik kepada orang asing
dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung
sanksi “Batal Demi Hukum.
5. Pemerintah juga telah menerbitkan PP No.
41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh
WNA.
Namun demikian
UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan Warga Negara Asing dan badan hukum
asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga Negara Asing dapat
mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh
dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas
kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi
ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas untuk menciptakan
asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas
tanah.
Jadi bisa
ditegaskan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal
9(1)). Ketentuan ini mendapat penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik
sebagai Hak Atas Tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah.
Hanya WNI yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (Pasal 21(1)).
Konsekuensinya adalah penguasaan hak atas tanah oleh WNA dibatasi, yakni hanya
dimungkinkan diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Asas
tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan Nasional.
Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi asing.
Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh hak
atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP
No. 40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996
Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan
Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang
berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.
b. Implementasi Di Masyarakat
Kepemilikan Tanah
Terselubung Oleh Warga Negara Asing
Kepemilikan
tanah terselubung merupakan model kepemilikan tanah yang secara formal
diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk
perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat
dihadapan notaris. Model ini marak dilakukan oleh Warga Negara Asing
(selanjutnya disingkat WNA) yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di
Indonesia. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di
Indonesia. dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau
perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah
yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan
kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan
melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara
administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara
Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan
melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Dalam hasil
penelitian di Kota Batam terdapat sekitar 1.692 orang tenaga kerja WNA. Lebih
lanjut disebutkan bahwa secara materiil di Kota Batam terdapat banyak WNA yang
mempunyai rumah, namun secara yuridis sulit dibuktikan karena adanya pernikahan
dibawah tangan dengan seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Rumah tersebut
dicatat atasnama istri/suaminya yang berstatus WNI. Demikian pula di Provinsi
Bali yang menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Secara nyata di beberapa
Desa seperti Desa Canggu, Desa Lalanglinggah beberapa WNA yang meminjam nama
seorang WNI untuk memperoleh Hak Milik atas tanah. Selanjutnya antara WNI dan
WNA membuat suatu perjanjian dihadapan Notaris yang isinya bahwa WNI tetap
mengakui kepemilikan WNA tersebut dan baik dirinya maupun ahli warisnya tidak
akan melakukan gugatan apapun terhadap tanah tersebut.
Tindakan
demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA,
dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Menurut
Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Kepemilikan
tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA tersebut di atas, dapat dikatakan
merusak administrasi pertanahan.
3. Asas
Nasionalitas Dalam Hukum Agraria Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sehari
Hari
a.
Penjelasan
Asas
nasionalitas adalah asas yang menghendaki bahwa hanya bangsa Indonesia saja
yang dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Atau dengan kata lain asas
nasionalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara
Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai
hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warganegara baik asli maupun keturunan. Jadi tanah itu
hanya disediakan untuk warga negara dari Negara-negara yang bersangkutan.
Seperti di Indonesia, asas nasionalisme ini terdapat dalam UUPA Nomor 5
Tahun 1960 pasal 1 ayat (1), (2) dan (3). Pasal 1 ayat (1) UUPA, menyatakan
bahwa ”seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sedangkan dalam pasal 1 ayat
(2) UUPA, menyatakan bahwa ”seluruh bumi, air dan rang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak
senata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah
didaerah dan pulau-pulau tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari
daerah atau pulau yang bersangkutan saja.
Pada pasal 1 ayat (3) UUPA, dinyatakan bahwa “ hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi ,air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini
adalah hubungan yang bersifat abadi “. Ini berarti bahwa seelama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air,
dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun
tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Oleh sebab itu, seluruh bumi, air, ruang angkasa seta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan
yang abadi.
b. Implmentasi Asas Nasionalitas
Terhadap Hak-Hak Warga Negara
Dengan adanya asas nasionalitas tersebut, terdapat jaminan mengenai hak
Warga Negara Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan dengan
bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian warga Negara asing atau badan usaha asing tidak mempunyai hak
milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di buktikan tentang masalah hak
dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia tentang kepemilikan tanah yaitu
dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan
Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Dalam
praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya
berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah
lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing
melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga
negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan
modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada
Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah
hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar
atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara
Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik
tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam
hal ini Pasal 26 (ayat 2) UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut
penyelundupan hokum. Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No.
41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh
WNA.
4. Asas Hak Menguasai Negara
a.
Penjelasan
Hak
menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara,
sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu
harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara
konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah
sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk
kemakmuran rakyat.
Penjabaran
lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2
Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Asas ini
sebenarnya memiliki semangat pengganti asas Domein Verklaring yang berlaku pada
masa Colonial Belanda, yang ternyata hanya memberikan keuntungan pada
pemerintahan Colonial Belanda pada masa itu. Hak menguasai dari Negara memberi
wewenang kepada Negara untuk :
a. Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
tanah.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum atas tanah
Penguasaan
tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan
tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat
memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial
yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan
individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.
Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung
jawab.
Dinamika
pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan
kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta
masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bgai
kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian
dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh
negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.
b.
Implementasi Di Masyarakat
Otoritas
negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari Undang-undang Dasar atau
konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum
adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak
kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat
untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau
Pemerintah harus memiliki Sense Of Public Service, sedangkan masyarakat harus
memiliki The Duty Of Public Obedience. Dalam keseimbangan yang demikian, maka
tujuan penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara memperoleh
legitimasi politik dan legitimasi sosial.
Penguasaan
Sumber Daya Alam Kaltim
Kaltim sebagai contoh propinsi yang kaya
kedua setelah Papua dalam sumber daya alam, telah menerima akibat dari
kebijakaan penguasaan negara terhadap sumber daya alam. Ekspoitasi besar-besar
hutan dengan UU No.5 Tahun 1967, menjadikan kaltim jadi era banjir kap hutan.
Sehingga dapat menopang perekonomian dinegeri ini. Hutan dibabat habis tanpa
batas, tanpa memperdulikan daya dukung lingkungan dan kerusakan ekosistem.
Siapa yang diutungkan dan menikmati sumber daya hutan yang begitu besar, bukan
rakyat Kaltim, mereka tetap miskin, tergusur, dipinggirkan dari pengelolaan
sumber daya alamnya, yang jelas pemilik modal/swasta/investor yang bertindak
atas nama negara. Kenapa? Mereka yang diuntungakan oleh kebijakaan negara dalam
hal ini penguasaan negara atas sumber daya alam, itu diberikan oleh swasta
dalam pengelolaan. Sumber daya alam seharusnya ranah negara dalam pemanfaatan,
namun diberikan pada rana privat.[1]