Perampokan (Hirabah)
Oleh: Iswahyudi
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki
fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika
sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah
dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam
kehidupannya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya
fitrah ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan,
perampokan dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan
sebagai perbuatan tindak pidana. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi
hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya
mengenai sanksinya dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan
berbagai hal, khususnya mengenai perampokan (hirabah) dan jarimahnya sebagai
bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian dari perampokan (hirabah)?
2.
Apa Sajakah bentuk-bentuk tindakan perampokan (hirabah)?
3.
Bagaimanakah pembuktian perampokan (hirabah)?
4.
Apa Sajakah Sanksi perampokan (hirabah)?
5.
Bagaimanakah penerapa hukumannya?
6.
Bagaimanakah perampokan dalam tinjauan hukum pidana/KUHP?
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perampokan (Hirabah)
Kata Perampokan berasal dari bahasa Arab, al-hirabah. Dalam
ensiklopedi fiqh:
الحرابة هى قطع الطريق او هى تعرض انسا ن مسلح مجا هرة لا موال الناس
او نفو سهم او اعرا ضهم
“ Hirabah adalah perampokan atau perampasan terhadap harta, jiwa
dan kehormatan manusia, yang dilakukan oleh orang yang bersenjata dengan
terang-terangan. “
Dengan kata lain hirabah merupakan aksi sekelompok orang
untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan, yang
secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku,
prikemanusiaan dan agama, dan disebut juga dengan as-sariqoh al-kubro
(pencurian besar).
Ulama fiqh menyebut hirabah sebagai as-sariqah al-kubro,
karena hirabah itu merupakan upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan
kekerasan. Abdul Qodir Audag mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara
pencurian dan perampokan bahwa dalam pencurian unsur utamanya adalah
pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan dalam hirabah unsur
utamanya adalah aksi kekerasan, baik mereka mengambil harta maupun tidak.
(Yusuf, 2009: 86-87)
Para
fuqaha lainya berbeda pendapat dalam mendefinisikan perampokan (hirabah)
diantaranya: (Faizal dan Jaih, 2004: 151)
Pendapat
Hanafiyah : perbuatan mengambil harta secara terang-terangan dari
orang-orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
Pendapat
Malikiyah : mengambil harta dengan cara penipuan baik menggunakan
kekuatan maupun tidak.
Pendapat
Syafi’iyyah : mengambil
harta / membunuh / menakut-nakuti yang dilakukan dengan
senjata di tempat yang jauh dari pertolongan.
Pendapat
Hanabilah : mengambil harta orang lain secara terang-terangan di
padang pasir menggunakan senjata.
Pendapat
Zhahiriyah : orang yang melakukan kekerasan, menakut-nakuti pengguna
jalan, dan membuat onar/kerusakan di bumi.
Jadi, hirabah itu
adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan
senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja
baik dilakukan satu orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan siapa korbannya
disertai dengan tindak kekerasan.
B.
Bentuk-Bentuk
Tindakan Perampokan (Hirabah)
Adapun bentuk-bentuk tindakan perampokan adalah sebagai berikut:
1.
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta masyarakat dengan
melakukan gangguan keamanan, sekalipun tidak jadi mengambil harta dan mereka
juga tidak juga melakukan pembunuhan.
2.
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta orang lain, tetapi mereka
tidak melakukan pembunuhan.
3.
Suatu Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta, tetapi ternyata
mereka mereka melakukan pembunuhan dan tidak jadi merampas harta.
4.
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta sekaligus melakukan
pembunuhan.
Menurut Abdul
Qadir Audah, unsur utama hirabah adalah aksi kekerasan yang mengganggu
masyarakat, baik dengan mempergunakan senjata maupun tidak, baik dilakukan di
desa, di kota maupun dijalan umum yang dilalui masyarakat.
Sayid Sabiq
mengatakan bahwa yang termasuk dalam hirabah adalah aksi penculikan
terhadap anak kecil, para pengusaha, para wanita, dan aksi pemusnahan pertanian
dan peternakan masyarakat.
Ulama Mazhab
Syafi’i menyatakan bahwa hirabah itu harus bertujuan mengambil harta
atau membunuh dengan dukungan kekuatan, sedangkan orang yang ditimpa aksi ini
tidak bisa ditolong.
Ulama Mazhab
az-Zahiri menyatakan bahwa hirabah itu harus merupakan aksi pengacauan
dengan tujuan merampas harta, membunuh, dan memperkosa orang-orang yang sedang
melakukan perjalanan dan dilakukan di luar kota. (Yusuf: 87-88)
C.
Pembuktian
Perampokan (Hirabah)
Pembuktian perampokan bisa dengan
sanksi yaitu dua orang saksi laki-laki dan bisa juga dengan pengakuan. (Ali,
2012: 69) Ada beberapa syarat untuk menjatuhi hukuman pada pelaku hirabah
yaitu:
·
Pelaku Hirabah
Adalah Orang Mukallaf
·
Pelaku Hirabah
Membawa Senjata
·
Lokasi Hirabah
Jauh Dari Keramaian
·
Tindakan
Hirabah secara terang-terangan
Ulama
Fiqh sepakat menyatakan bahwa tindak pidana hirabah merupakan salah satu
tindak pidana yang proses pembuktiaanya harus dilalui melakukan gugatan korban
pidana tersebut kepada hakim. Untuk itu, pihak korban harus dapat membuktikan
tindak pidana ini. Adapun alat bukti yang dipergunakan untuk tindak pidana
hirabah ini adalah kesaksian dan pengakuan. Alat bukti saksi yang diajukan itu
adalah dua orang laki-laki. Adapun untuk pembuktian melalui pengakuan, menurut
jumhur ulama cukup satu kali pengakuan saja, karena seseorang tidak mungkin
mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Namun ulama Mazhab Hambali
dan Imam Abu Yusuf mengatakan pengakuan itu harus dilakukan sebanyak dua kali.
(Yusuf: 88)
D.
Sanksi Perampokan (Hirabah)
Hirabah termasuk salah satu bentuk pidana hudud (jarimah) yang
diharamkan syara’ dan dan diancam dengan hukuman yang berat, serta merupakan
hak Allah SWT semata-mata. Hukuman bagi tindak pidana hirabah langsung
ditentukan oleh nash. Apabila tindak pidana ini telah terbukti secara
meyakinkan disidang pengadilan, maka hakim dapat mengeksekusi hukuman yang
telah ditentukan Allah SWT tersebut, tanpa boleh diubah, ditambah, maupun
dikurangi.
33.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. (QS.
Al-Maidah : 33)
[414] maksudnya
ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka
dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
Ayat ini mengandung empat hukuman, yaitu dibunuh,
disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari tempat kediamannya. (Yusuf:
88-90)
E.
Penerapan Hukuman
Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqh, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman
yang dikarenakan sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam
perampokan atau perompakan tersebut Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa hukuman yang akan dikenakan harus secara urut, sebagaimana
yang dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dalam bentuk tindakan pidana yang
dilakukan. Akan tetapi, ulama ini pun berbeda pendapat dalam mengurut hukuman
sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan para perampok atau perompak
tersebut. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, apabila perampok tersebut hanya
merampok harta, maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara
silang, misalnya tangan kanan dan kaki kiri. Apabila pelaku pidana itu hanya
membunuh maka hukumannya adalah juga dibunuh. Apabila pelaku pidana ini
membunuh dan merampas harta korban, maka menurut mereka, hakim bebas memilih
hukumannya, yaitu apakah akan dipotong tangan dan kakinya secara silang kemudian
dibunuh atau disalib, atau tidak dipotong tangan dan kakinya, tetapi dibunuh
atau disalib saja. Apabila pelaku pidana ini hanya menakut-nakuti atau
mengganggu keamanan, maka hukumannya dipenjarakan dan dikenakan hukuman takzir.
Bentuk hukuman takzir yang akan dikenakan diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, Apabila
pelaku hanya mengambil harta maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya
secara silang. Apabila ia membunuh, hukumannya juga dibunuh, tetapi tidak
disalib Apabila pelaku melakukan pembunuhan dan mengambil harta, maka
hukumannya dibunuh dan disalib. Apabila hanya mengganggu keamanan, hukumannya
dibuang dari kediamannya.
Adapun menurut Ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman
yang disebutkan dalam ayat itu diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim
setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fiqh dan pihak-pihak terkait, dengan
syarat hakim tersebut harus memilih yang terbaik. Apabila pelaku hanya
mengganggu keamanan, maka hakim boleh memilih anatara membunuhnya, menyalibnya,
memotong tangan dan kakinya secara silang, atau memukul dan membuangnya. Akan
tetapi, apabila pelaku tersebut melakukan pembunuhan, maka hukumannya harus
dibunuh dibunuh atau disalib saja, tidak boleh merapkan hukuman lain. Apabila
pelaku hanya mengambil harta, maka hukum yang dapat dipilih oleh hakim anatara
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara silang atau dibuang.
Ulama fiqh berbeda pendaoat pula dalam menafsirkan
hukuman pembuangan dalam ayat tersebut. Menurut Mazhab Hanafi pembuangan itu
berarti memenjarakan pelaku tindak pidana, karena apabila diartikan dengan
hukuman pembuangan secara harfiah, yaitu dibuang dari tempat asalnya kenegeri
lain, maka dikhawatirkan ditempat pembuangan itu ia akan melakukan tindak
pidana lagi, atau ia lari ke wilayah non-Islam dan bisa jadi ia murtad dari
Islam. Ulama Mazhab Maliki mengartikan itu dengan arti harfiahnya, yaitu
membuang pelaku pidana kenegeri lain, tetapi dinegeri itu dipenjarakan sambil
ia bertobat. Ulama Mazhab Syafi’i mengartikan dengan memenharakan pelaku sampai
tobat dinegerinya sendiri. Adapun Ulama Mazhab Hambali mengatakan pembuangan
itu adalah membuangnya kenegeri lain dan
tidak boleh kembali lagi kenegeri asalnya. (Yusuf: 90-92)
F.
Perampokan Dalam Tinjauan Hukum Pidana/KUHP
Dalam
Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu barang, yang seluruh atau
sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum diancam karena pencurian”. Dengan demikian perampokan dapat dikatakan
sebagai pencurian atas suatu barang. (Fauzan, 2005: 54)
Ketentuan pidana terhadap
delik perampokan menurut Hukum positif (KUHP) adalah berupa hukuman penjara
yang lamanya disesuaikan dengan bentuk delik yang dilakukan, maksimal 20 tahun
penjara, atau seumur hidup atau pidana mati, tetapi hukuman mati jarang
diterapkan karena masih banyak kontroversi para ahli hukum. Disini hakim
mempunyai peran penting dalam menentukan hukumannya, baik mengenai berat
ringannya maupun lamanya.
Berdasar pada Hukum positif (KUHP)
perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur
dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan
kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam
melakukan aksinya.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah tentang perampokan (hirabah), dapat di tarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perampokan atau hirabah itu adalah suatu
tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang
dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu
orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan siapa korbannya disertai dengan
tindak kekerasan.
2.
Adapun bentuk-bentuk tindakan perampokan adalah sebagai berikut:
·
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta masyarakat dengan
melakukan gangguan keamanan. sekalipun tidak jadi mengambil harta dan mereka
juga tidak juga melakukan pembunuhan.
·
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta orang lain, tetapi mereka
tidak melakukan pembunuhan.
·
Suatu Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta, tetapi ternyata
mereka mereka melakukan pembunuhan dan tidak jadi merampas harta.
·
Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta sekaligus melakukan
pembunuhan.
3.
Adapun
pembuktian perampokan itu adalah kesaksian dua orang laki-laki atau pengakuan
satu orang dari pelaku tindak pidana perampokan tersebut.
4.
Adapun
sanksi hirabah menurut QS. Al-Maidah : 33, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan
dibuang dari tempat kediamannya.
5.
Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqh, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman
yang dikarenakan sesuai dengan tindak pidananya dan juga dengan kebijaksanaan
hakim.
6.
Berdasar
pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan
kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului,
disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan
untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.
Daftar
Pustaka
Ali, Zainuddin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Faizal, Enceng Arif dan Jaih Mubarok. 2004. Kaidah
Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema
Insani.
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam).
Palembang: Rafah Press.
#makalah_s1_Syariah dan Hukum UIN Rafah