Sunday 22 November 2015

Perampokan (Hirabah)

Perampokan (Hirabah)
Oleh: Iswahyudi


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan (hirabah) dan jarimahnya sebagai bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari perampokan (hirabah)?
2.      Apa Sajakah bentuk-bentuk tindakan perampokan (hirabah)?
3.      Bagaimanakah pembuktian perampokan (hirabah)?
4.      Apa Sajakah Sanksi perampokan (hirabah)?
5.      Bagaimanakah penerapa hukumannya?
6.      Bagaimanakah perampokan dalam tinjauan hukum pidana/KUHP?


BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perampokan (Hirabah)

Kata Perampokan berasal dari bahasa Arab, al-hirabah. Dalam ensiklopedi fiqh:
الحرابة هى قطع الطريق او هى تعرض انسا ن مسلح مجا هرة لا موال الناس او نفو سهم او اعرا ضهم
“ Hirabah adalah perampokan atau perampasan terhadap harta, jiwa dan kehormatan manusia, yang dilakukan oleh orang yang bersenjata dengan terang-terangan. “
Dengan kata lain hirabah merupakan aksi sekelompok orang untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, prikemanusiaan dan agama, dan disebut juga dengan as-sariqoh al-kubro (pencurian besar).
Ulama fiqh menyebut hirabah sebagai as-sariqah al-kubro, karena hirabah itu merupakan upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan kekerasan. Abdul Qodir Audag mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara pencurian dan perampokan bahwa dalam pencurian unsur utamanya adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan dalam hirabah unsur utamanya adalah aksi kekerasan, baik mereka mengambil harta maupun tidak. (Yusuf, 2009: 86-87)
Para fuqaha lainya berbeda pendapat dalam mendefinisikan perampokan (hirabah) diantaranya: (Faizal dan Jaih, 2004: 151)
Pendapat Hanafiyah : perbuatan mengambil harta secara terang-terangan dari orang-orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
Pendapat Malikiyah : mengambil harta dengan cara penipuan baik menggunakan kekuatan maupun tidak.
Pendapat Syafi’iyyah : mengambil harta / membunuh / menakut-nakuti yang dilakukan dengan senjata di tempat yang jauh dari pertolongan.
Pendapat Hanabilah : mengambil harta orang lain secara terang-terangan di padang pasir menggunakan senjata.
Pendapat Zhahiriyah : orang yang melakukan kekerasan, menakut-nakuti pengguna jalan, dan membuat onar/kerusakan di bumi.
Jadi, hirabah itu adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.

B.     Bentuk-Bentuk Tindakan Perampokan (Hirabah)

Adapun bentuk-bentuk tindakan perampokan adalah sebagai berikut:
1.      Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta masyarakat dengan melakukan gangguan keamanan, sekalipun tidak jadi mengambil harta dan mereka juga tidak juga melakukan pembunuhan.
2.      Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta orang lain, tetapi mereka tidak melakukan pembunuhan.
3.      Suatu Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta, tetapi ternyata mereka mereka melakukan pembunuhan dan tidak jadi merampas harta.
4.      Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta sekaligus melakukan pembunuhan.
Menurut Abdul Qadir Audah, unsur utama hirabah adalah aksi kekerasan yang mengganggu masyarakat, baik dengan mempergunakan senjata maupun tidak, baik dilakukan di desa, di kota maupun dijalan umum yang dilalui masyarakat.
Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang termasuk dalam hirabah adalah aksi penculikan terhadap anak kecil, para pengusaha, para wanita, dan aksi pemusnahan pertanian dan peternakan masyarakat.
Ulama Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa hirabah itu harus bertujuan mengambil harta atau membunuh dengan dukungan kekuatan, sedangkan orang yang ditimpa aksi ini tidak bisa ditolong.
Ulama Mazhab az-Zahiri menyatakan bahwa hirabah itu harus merupakan aksi pengacauan dengan tujuan merampas harta, membunuh, dan memperkosa orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dan dilakukan di luar kota. (Yusuf: 87-88)


C.    Pembuktian Perampokan (Hirabah)

Pembuktian perampokan bisa dengan sanksi yaitu dua orang saksi laki-laki dan bisa juga dengan pengakuan. (Ali, 2012: 69)  Ada beberapa syarat untuk menjatuhi hukuman pada pelaku hirabah yaitu:
·                 Pelaku Hirabah Adalah Orang Mukallaf
·                 Pelaku Hirabah Membawa Senjata
·                 Lokasi Hirabah Jauh Dari Keramaian
·                 Tindakan Hirabah secara terang-terangan

Ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa tindak pidana hirabah merupakan salah satu tindak pidana yang proses pembuktiaanya harus dilalui melakukan gugatan korban pidana tersebut kepada hakim. Untuk itu, pihak korban harus dapat membuktikan tindak pidana ini. Adapun alat bukti yang dipergunakan untuk tindak pidana hirabah ini adalah kesaksian dan pengakuan. Alat bukti saksi yang diajukan itu adalah dua orang laki-laki. Adapun untuk pembuktian melalui pengakuan, menurut jumhur ulama cukup satu kali pengakuan saja, karena seseorang tidak mungkin mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Namun ulama Mazhab Hambali dan Imam Abu Yusuf mengatakan pengakuan itu harus dilakukan sebanyak dua kali. (Yusuf: 88)

D.    Sanksi Perampokan (Hirabah)

Hirabah termasuk salah satu bentuk pidana hudud (jarimah) yang diharamkan syara’ dan dan diancam dengan hukuman yang berat, serta merupakan hak Allah SWT semata-mata. Hukuman bagi tindak pidana hirabah langsung ditentukan oleh nash. Apabila tindak pidana ini telah terbukti secara meyakinkan disidang pengadilan, maka hakim dapat mengeksekusi hukuman yang telah ditentukan Allah SWT tersebut, tanpa boleh diubah, ditambah, maupun dikurangi.

33.  Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah : 33)
 


[414]  maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.

Ayat ini mengandung empat hukuman, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari tempat kediamannya. (Yusuf: 88-90)

E.     Penerapan Hukuman

Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang dikarenakan sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam perampokan atau perompakan tersebut Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa hukuman yang akan dikenakan harus secara urut, sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dalam bentuk tindakan pidana yang dilakukan. Akan tetapi, ulama ini pun berbeda pendapat dalam mengurut hukuman sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan para perampok atau perompak tersebut. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, apabila perampok tersebut hanya merampok harta, maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silang, misalnya tangan kanan dan kaki kiri. Apabila pelaku pidana itu hanya membunuh maka hukumannya adalah juga dibunuh. Apabila pelaku pidana ini membunuh dan merampas harta korban, maka menurut mereka, hakim bebas memilih hukumannya, yaitu apakah akan dipotong tangan dan kakinya secara silang kemudian dibunuh atau disalib, atau tidak dipotong tangan dan kakinya, tetapi dibunuh atau disalib saja. Apabila pelaku pidana ini hanya menakut-nakuti atau mengganggu keamanan, maka hukumannya dipenjarakan dan dikenakan hukuman takzir. Bentuk hukuman takzir yang akan dikenakan diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, Apabila pelaku hanya mengambil harta maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silang. Apabila ia membunuh, hukumannya juga dibunuh, tetapi tidak disalib Apabila pelaku melakukan pembunuhan dan mengambil harta, maka hukumannya dibunuh dan disalib. Apabila hanya mengganggu keamanan, hukumannya dibuang dari kediamannya.
Adapun menurut Ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman yang disebutkan dalam ayat itu diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fiqh dan pihak-pihak terkait, dengan syarat hakim tersebut harus memilih yang terbaik. Apabila pelaku hanya mengganggu keamanan, maka hakim boleh memilih anatara membunuhnya, menyalibnya, memotong tangan dan kakinya secara silang, atau memukul dan membuangnya. Akan tetapi, apabila pelaku tersebut melakukan pembunuhan, maka hukumannya harus dibunuh dibunuh atau disalib saja, tidak boleh merapkan hukuman lain. Apabila pelaku hanya mengambil harta, maka hukum yang dapat dipilih oleh hakim anatara dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara silang atau dibuang.
Ulama fiqh berbeda pendaoat pula dalam menafsirkan hukuman pembuangan dalam ayat tersebut. Menurut Mazhab Hanafi pembuangan itu berarti memenjarakan pelaku tindak pidana, karena apabila diartikan dengan hukuman pembuangan secara harfiah, yaitu dibuang dari tempat asalnya kenegeri lain, maka dikhawatirkan ditempat pembuangan itu ia akan melakukan tindak pidana lagi, atau ia lari ke wilayah non-Islam dan bisa jadi ia murtad dari Islam. Ulama Mazhab Maliki mengartikan itu dengan arti harfiahnya, yaitu membuang pelaku pidana kenegeri lain, tetapi dinegeri itu dipenjarakan sambil ia bertobat. Ulama Mazhab Syafi’i mengartikan dengan memenharakan pelaku sampai tobat dinegerinya sendiri. Adapun Ulama Mazhab Hambali mengatakan pembuangan itu adalah membuangnya kenegeri lain  dan tidak boleh kembali lagi kenegeri asalnya. (Yusuf: 90-92)

F.     Perampokan Dalam Tinjauan Hukum Pidana/KUHP

Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian”. Dengan demikian perampokan dapat dikatakan sebagai pencurian atas suatu barang. (Fauzan, 2005: 54)
 Ketentuan pidana terhadap delik perampokan menurut Hukum positif (KUHP) adalah berupa hukuman penjara yang lamanya disesuaikan dengan bentuk delik yang dilakukan, maksimal 20 tahun penjara, atau seumur hidup atau pidana mati, tetapi hukuman mati jarang diterapkan karena masih banyak kontroversi para ahli hukum. Disini hakim mempunyai peran penting dalam menentukan hukumannya, baik mengenai berat ringannya maupun lamanya.
Berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.


BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan makalah tentang perampokan (hirabah), dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.     Perampokan atau hirabah itu adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.
2.      Adapun bentuk-bentuk tindakan perampokan adalah sebagai berikut:
·         Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta masyarakat dengan melakukan gangguan keamanan. sekalipun tidak jadi mengambil harta dan mereka juga tidak juga melakukan pembunuhan.
·         Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta orang lain, tetapi mereka tidak melakukan pembunuhan.
·         Suatu Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta, tetapi ternyata mereka mereka melakukan pembunuhan dan tidak jadi merampas harta.
·         Suatu aksi kekerasan untuk merampas harta sekaligus melakukan pembunuhan.
3.      Adapun pembuktian perampokan itu adalah kesaksian dua orang laki-laki atau pengakuan satu orang dari pelaku tindak pidana perampokan tersebut.
4.      Adapun sanksi hirabah menurut QS. Al-Maidah : 33, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari tempat kediamannya.
5.      Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang dikarenakan sesuai dengan tindak pidananya dan juga dengan kebijaksanaan hakim.
6.      Berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.


Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Faizal, Enceng Arif dan Jaih Mubarok. 2004. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani.
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam). Palembang: Rafah Press.


#makalah_s1_Syariah dan Hukum UIN Rafah

loading...