Politik Hukum
Pengadilan Agama
Dalam Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki
kebutuhan dasar yang berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memilki dan
dimiliki, rasa kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan
akan pertumbuhan. Setiap orang akan merasa senang apabila mendapat penghargaan
atas sesuatu yang dilakukannya. Sebalikanya dia akan merasa kecewa, marah
apabila harga dirinya tersinggung atau diremehkan. Apalagi jika ia merasa mendapat
perlakuan yang tidak wajar. Dengan demikian sudah menjadi kodrat bahwa setiap
orang ingin mendapat perlakuan dan penghargaan dari pihak lain terutama
perlakuan adil dan manusiawi. Terlebih jika menghadapi masalah atau kesulitan
sosial dalam bentuk sengketa. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan dan
pelayan dari suatu pihak yang dapat menyelesaikan sengketanya yakni salah
satunya pengadilan.
Pengadilan merupakan
tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau para pihak yang bersengketa.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama,
yaitu memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, dan
memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan, serta memberikan
penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga
memuaskan kepada pihak-pihak yang bersengketa dan masyarakat. Untuk mewujudkan
tugas utama pengadilan tersebut, maka Negara Indonesia melakukan reformasi di
bidang hukum melalui amandemen Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Makhamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh
sebuah Makhamah Konstitusi”.
Makhamah Agung sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Agama merupakan salah satu dari 4
(empat) lingkungan peradilan tersebut diatas yang keberadaan diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman
dan yang terakhir telah diganti dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan kehakiman. Undang-undang tersebut merupakan suatu
undang-undang yang bersifat organik, sehingga perlu adanya peraturan
pelaksanannya. Khususnya untuk pengadilan agama dilakukan pengaturan lebih
lanjut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di dalamnya memuat
hukum materiil sekaligus hukum formiilnya. Peradilan agama sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai kompetensi memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara terkait keperdataan Islam. Dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberi kewenangan lebih luas dari
kewenangan yang diwariskan kolonial Belanda, dengan menambahkan kewenangan
menangani sengketa kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sejalan
dengan itu disahkan pula Kompilasi Hukum Islam melalui Inpres Nomor 1 Tahun
1991 sebagai hukum materiil/hukum terapan berkenaan kewenangan baru Pengadilan
Agama tersebut.
Di era reformasi
kesadaran dan semangat untuk menerapkan lebih banyak lagi norma ajaran Islam
melalui kekuasaan (legislasi) semakin tumbuh. Sementara semangat reformasi di
dunia peradilan menumbuhkan tekad agar semua lembaga peradilan berada dalam
satu wadah penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung (one
roof sistem). Konsekuensinya Undang-undang mengenai lembaga peradilan harus
direvisi sesuai dengan semangat satu atap dunia peradilan di Indonesia
tersebut.
Ketika Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 direvisi, legislator memanfaatkan bukan hanya merubah status
organisasi, administrasi dan finansial yang semula berada di bawah Departemen
Agama menjadi di bawah Mahkamah Agung, namun juga dilakukan perluasan wewenang,
sejalan dengan semangat untuk menerapkan lebih banyak lagi ajaran Islam melalui
hukum nasional. Kewenangan baru meliputi bidang : zakat, infaq dan ekonomi
syari’ah. Bidang perkawinan kendati telah dan selalu menjadi
wewenang Pengadilan Agama, namun dengan berdasarkan Pasal 49 huruf (i)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi
syari’ah”.
Yang dimaksud dengan
ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syariah yang meliputi ; a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro
syari’ah, c) asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksadana syari’ah,
f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g)
sekuritas syari’ah, h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k) bisnis syari’ah. (www.badilag.net). Wewenang Pengadilan Agama menurut UU Nomor 7/1989 :
a. Perkawinan,
b. Kewarisan, wasiat
dan hibah,
c. Wakaf dan shadaqah..
Sementara menurut UU
Nomor 3/2006 : a. perkawinan, b. waris, c.wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat,
g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi syari’ah. Dengan penerapan prinsip
syari’ah dalam kegiatan usaha tersebut, maka harus diikuti dengan oleh
perkembangan lembaga penyelesaian sengketa (dispute resolution) yang
ada. Khususnya lembaga peradilan sebagai the last resort bagi pihak-pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. (Abdul Ghofur
Anshori, 2007 : 4-5)
Dengan sebutan
”perbuatan atau kegiatan usaha” maka yang menjadi kewenangan pengadilan agama
adalah transaksi yang menggunakan akad syari’ah, walau pelakunya bukan muslim.
Ukuran Personalitas ke Islaman dalam sengketa ekonomi syari’ah adalah akad yang
mendasari sebuah transaksi, apabila menggunakan akad syari’ah, maka menjadi
kewenangan peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang
menggunakan akad syari’ah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga
oleh karenanya UU Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketanya harus
diselesaikan di Pengadilan Agama.
Perkembangan baru dalam
ranah dunia peradilan adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah kepada peradilan agama. Hal ini tentunya merupakan salah satu
bentuk politik hukum pemerintah Indonesia dalam menangani sengketa tersebut.
Kompetensi ini merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan
peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus
tersebut.
Dalam Undang-undang
Perbankan Syari’ah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam
revisi Undang-undang Peradilan Agama yang baru, sengketa ekonomi syari’ah
menjadi kompetensi absolut peradilan agama (www.badilag.net ).
Secara yuridis, baru di
era reformasi dengan UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai revisi dari UU Nomor 7
Tahun 1992, istilah pembiayaan berdasarkan syariat dan prinsip syariat, disebut
secara tegas (H. Abdurrahman). Dalam konsep Bank Syari’ah yang merupakan bagian
kegiatan ekonomi syari’ah diwajibkan adanya Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang dibentuk
oleh Bank yang bersangkutan dengan berkonsultasi dengan lembaga yang menjadi
wadah ulama. DPS bersifat independen yang tidak boleh mencampuri operasional
bank. DPS bertugas menentukan boleh tidaknya suatu produk/jasa dipasarkan
(Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 Pasal 5).
Penyelesaian sengketa
perbankan syari’ah masih termasuk kewenangan peradilan umum, sebagaimana
sengketa perbankan pada umumnya. Persoalan hukum berkenaan Bank Syari’ah
menyangkut prinsip dan ketentuan hukum syari’ah, karenanya jajaran pengadilan
(negeri) yang akan menangani sengketa perbankan syari’ah perlu menyiapkan
tenaga ahli dalam bidang hukum syari’ah.
Pengadilan Negeri akan
menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara sengketa
perbankkan syari’ah. Menurut UU No 21 tahun 2008, Pasal 55 penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah diselesaikan dengan cara ;
1. Penyelesaian sengketa
Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3. Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syari’ah.
4. Perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketa ekonomi
syari’ah menjadi wewenang peradilan agama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar
belakang di atas, dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dimensi
politik hukum pengadilan agama dalam prosedur penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah ?
2. Apa yang menjadi sumber
hukum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
Syari’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Beberapa Alternatif
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Berdasarkan Hukum Positif Indonesia
1.
Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Pemikiran kebutuhan
akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah
suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah
praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute
Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung
keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (IKAHI, 2008 : 60)
Dengan adanya
pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan
dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses teknis pelaksanaan
hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh
negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riil dan lebih
spesifik dalam upaya negara mengaplikasikan dan mensosialisasikan institusi
perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan
bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah
sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi,
konsiliasi atau penilaian para ahli. (Munir Fuady, 2000 : 122)
Menurut Suyud Margono
(2000 : 82) kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR)
oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama :
kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya
keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga
masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya
menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua :
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun
yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri
sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke
Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata
lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan
merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI.
Dengan demikian
penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni
melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli.
Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan
secara rinci dan jelas. (H. Abdul Manan, : 14-16)
2.
Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak
bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian
sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan
kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui
lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of
jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak
ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila
dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).
(Karnaen Perwaatmaja, 2005 : 288).
Dasar hukum
pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999. adapun
ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase
mengikuti ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat
subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu
merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan
sekaligus menjadi bagian dari seluruh topic yang diperjanjikan oleh para pihak
tersebut.
Di Indonesia terdapat
beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang
terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis
Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) yang menangani
masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari‟ah, dan BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non
Islam.
Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagimana dimaksud
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah :
a.
Reglemen Acara Perdata (Rv.S,1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651,
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR S.1941 : 44) Pasal 377 dan Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg 3.1927 : 227) Pasal 705.
b.
Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI. 2). SK MUI (MajelisUlama
Indonesia) SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24
Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syari’ah Nasional.
c.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2000 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah)
satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa
muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan
lain-lain. Semua fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan
: "Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara keduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah". (Lihat Fatwa No. 05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06
tentang Jual Beli Istishna', Fatwa No. 07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa
No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya).
3.
Proses Litigasi Pengadilan
Dalam konteks ekonomi
syari’ah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian)
maupun secara tahkim (arbitrase) dapat diselesaikan melalui lembaga
Pengadilan. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di
Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Lembaga Peradilan Agama
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan
hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan
wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang
beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan Undang-undang ini
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi
syari’ah dan surat-surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas
syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dan dana pensiun, lembaga
keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia.
Dalam hal penyelesaian
sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari’ah melalui mekanisme
litigasi Pengadilan Agama terdapat beberapa kendala, antara lain belum
tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi
sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak
para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syari’ah atau hukum
bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya
lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syari’ah.
Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi)
syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai
keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam
dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan
Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta
telah menguasai hukum Islam.
B. Sumber Hukum Yang
Digunakan Sebagai Dasar Hukum Untuk Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sumber hukum yang dapat
digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah : (H. Abdul
Manam, : 27)
1.
Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang
berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah adalah
Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg)
untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan
Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang
Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas,
diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang
Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga
diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan
berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225,
258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga
Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan
Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.
2.
Sumber Hukum Materiil
Seperti dikemukakan di
atas, setelah seluruh tahap pemeriksan selesai lalu hakim melanjutkan kerjanya
untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili perkara tersebut. Untuk itu
hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk
kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkret yang ditemukan dalam
perkara tersebut. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum,
khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudisprudensi,
kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi
lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk
dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al
Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a. Peraturan
Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan
hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai
titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu
Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman
dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah.
b. Fatwa-fatwa Dewan
Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional
(DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai
kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
c. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Menurut Taufiq (2006 :
6-7) dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama
adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena
itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat
dan rukun sahnya suatu perjanjian. Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah
memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas
keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang
dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala
bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan
unsur dhulm atau ketidakadilan.
Ketentuan tersebut
tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena
dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari
tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan
prinsip Syariat Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu
dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar
janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan
wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan
bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal
di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda
dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta
tidak mengandung unsur ribawi.
Perbuatan melawan hukum
oleh CST Kansil (1986 : 254) diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang
berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila,
maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan
masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
d. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber
hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah
yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
e. Adat Kebiasaan
Untuk dapat dijadikan
sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan
syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling
tidak tiga syarat yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 99) :
1. Perbuatan itu dilakukan
oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet
inveterate consuetindo) ;
2. Kebiasaan itu sudah
merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates) dan
3. Adanya akibat hukum
apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah
mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai
dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.
f. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang
dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi
syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat
pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah
dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah.
Dengan perkataan lain
yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan
hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari
Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar
hukum yurisprudensi. (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004 : 10-11).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan pada tulisan ini adalah :
1. Beberapa alternatif
penyelesaian sengketa ekonomi Syari’ah berdasarkan hukum positif Indonesia
yakni Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Arbitrase (Tahkim)
dan Proses Litigasi Pengadilan.
2. Sumber hukum yang
dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah : (H.
Abdul Manam, : 27)
ü Sumber Hukum Acara (Hukum
Formil) dan
ü Sumber hukum materiil,
yang terdiri dari: (1) Peraturan Perundang-Undangan, (2) Fatwa-fatwa
Dewan Syari’ah Nasional (DSN), (3) Aqad Perjanjian (Kontrak), (4) Fiqih
dan Ushul Fiqih, (5) Adat Kebiasaan dan (6)Yurisprudensi.
B. Saran
Adapun yang menjadi
saran dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Dalam upaya politik
hukum yang dijalankan pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
Syari’ah, agar diperhatikan yang menjadi fungsi ideal dari lembaga tersebut
sehingga memang secara tegas menjalankan fungsi latennya.
2. Pemerintah sebagai
aparatur Negara diharapkan dapat bekerja sama dan sekaligus mengayomi
Pengadilan Agama dalam menjalankan perannya dalam menyelesaikan setiap sengketa
ekonomi Syari’ah yang ditanganinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Kamil dan M.
Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Khairul Bayan,
Jakarta
Abdul Ghofur Anshori,
2007, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah,
Kedudukan & Kewenangan), UII Press, Yogyakarta.
CST Kansil, 1986, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Fuady, Munir, 2000, Arbitrase
Nasional, alternative penyelesaian sengketa bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Majalah IKAHI
Sudikno Mertokusumo,
1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,Yogyakarta.
Suyud Margono, 2000, ADR
dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
________________, 2005, Hukum
Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor
21Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
http//:www.badilag.net
(diakses Ahad, 7-12-2014 : 20,45)
#makalah s1 syariah dan hukum UIN Rafah