Kaidah Ushuliyah - Part 3
Oleh: Safri Erawansyah PMH 2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kaidah ushuliyah adalah
dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau
nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan
kebahasaan dan kesusastraan arab. Dengan demikian kaidah ushuliyah itu
berkaitan dengan bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa
bahasa. Jadi,kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan
hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Dengan mempelajari dan menguasai
kaidah ushuliyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui
hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya .
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang diuraikan di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian dari kaidah
Ushuliyah?
2. Apa saja jenis-jenis kaidah
Ushuliyah?
3. Bagaimana contoh dari jenis
kaidah ushuliyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Qaidah
dalam bahsa arab ditulis dengan Qaidah,artinya patokan,pedoman dan titik tolak.
Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad)
adalah qawa’id. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i,sebagaimana dikemukakan oleh Mushlih
Usman mengartikan qaidah sebagai berikut:
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang
dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i “.
Demikian pula,dengan Fathi Rdwan yang memaknakan qaidah
sebagai berikut:
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi
bagian-bagiannya.”
Kaidah diartikan pula sebagai hukum yang berlaku untuk
sebagian besar yang meliputi sebagian besar bagiannya. Dengan demikian ada dua
hal yang dapat ditarik dari pengertian kaidah tersebut ,yaitu:
1.Kaidah adalah hukum yag general atau umum yang melingkupi
hukum-hukum khusus,atau dapat diartikan sebagai hukum-hukum yang kulli yang
meliputi hukum-hukum yang juz’i.
2. Kaidah adalah hukum yang kebanyakan bersifat umum dan
meliputi hukum-hukum yang tergolong bersifat bagian-bagiannya dari yang umum.
Secara etimologi,qaidah adalah asas (dasar) , yaitu yang
menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan
pondasinya (pokoknya) . Sedangkan secara istilah,para ulama ushul memberikan
beberapa definisi :
“Ketentuan universal yang bersesuaian dengan
bagian-bagiannya (juz-juznya)”.
“Ketentuan kenyataan universal yang memberikan pengetahuan
tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”
“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya
melalui penalaran.”
“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan
bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.”
Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl ,
artinya pokok, sebagaimana telah diuraikan dalam pengertian ushul fiqh bahwa
makna ushul adalah pokok,dasar,atau dalil sebagai landasan.
Dengan demikian,makna qaidah ushuliyah adalah pedoman bentuk
menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang
dijadikan metode penggalian hukum. Kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau
ada yang menyebut sebagai kaidah lughowiyah.
B. JENIS-JENIS KAIDAH USHULIYAH
1. LAFAZH DAN DALALAHNYA
2. TAKWIL (MUAWWAL)
A.Pengertian Takwil (Muawwal)
Secara etimologi,takwil dirujuk
dari kata يؤوّل - أوّل yang berarti At-Tafsir, Al-Marja’,
Al-Mashr. Demikian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani yang
keterangannya dikemukakan oleh Abu ja’far Al-Thabary (Adib Shalih,1984:356).
Pengertian ini diambil dari hadist
Artinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang masa,maka
berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasannya.”
Di samping itu ,takwil berarti Al-Jaza,seperti firman Allah
SWT :
Artinya : “yang demikian itu,lebih utama dan lebih baik
akibatnya” (Q.S. An-Nisa : 59)
Dengan demikian,dari sudut bahasa, takwil mengandung arti
At-Tafsir (penjelasan,uraian) atau Al-Marja’ (kembali,tempat kembali) atau
Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan
definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh,yaitu:
a. Menurut Wahab Khalaf
“Memalingkan lafazh dari zhahirnya ,karena ada
dalil.”
b. Menurut abu Zarhah: ( Abu
Zarhah:130)
Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya
yang dzahir kepada makna lain,tetapi bukan zhahir-nya.”
Apabila diteliti secara
seksama pengertian takwil menurut bahasa lebih umum dari pada pengertian khas,
amm, atau mutlaq karena lafazh-lafazh tersebut menunjukkan
arti yang dimaksud dan dianggap dalil qath’i. Dalil qath’i adalah setiap nash
yang mempunyai makna secara pasti dan jelas (tanpa ta’wil), baik ditinjau dari
segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun dari segi dalalah (penunjukannya).
Penyebab adanya
penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat
diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti hakiki,
sehingga dalil hasil takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata
lain,mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
C. Dalil-dalil penunjang Takwil
Dalil yang dipakai untuk
menguatkan takwil juga disyaratkan harus sesuai dengan
ketentuan syara’,di antaranaya,dalil yang memberikan batasan yang
terlalu luas terhadap maksud syara’,atau yang memperluas arti
haqiqi yang dikandung dalam maksud syara’.
Secara ringkas,dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah
sebagai berikut:
a. Nash yang diambil
dari Al-Qur’an dan As-Sunah
b. Ijma’.
c. Kaidah-kaidah umum
syariat yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang
menetapkan bahwa pembentuk syriat memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’I tanpa batas,yang
diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam
berijtihad dengan ra’yu
e. Hakikat kemaslahatan
umum
f. Adat yang
diucapkan dan diamalkan
g. Hikamah syariat atau
tujuan syariat itu sendiri,yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan
kemasyarakatan,perekonomian,politik,dan akhlak.
h. Qiyas
i. Akal yang
merupakan sumber perbincangan segala sesuatu,yang menurut kaum ushuliyyah lebih
dikenal dengan takwil qarib.
j. Kecenderungan
memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam
pembinaan syariat yang bersifat ijtihady,atau ijtihad dengan ra’yu.
D. Dalil Penunjang Takwil tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil
itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil sahih,baik yang
qath’I maupun zhanni. Maka hikmah syari’at yang bersifat zhanni bisa dipakai
dalil dalam ta’wil, di antaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.
E. SYARAT-SYARAT TAKWIL
Takwil erat kaitannya dengan maksud syari’at yang
berasal dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. hal itu juga
termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang
dimaksud dengan dalil, agar lebih jelas, di bawah ini akan
diterangkan persyaratan takwil tersebut:
a. Lafadzh yang
ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
b. Takwil itu harus
berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
1. Takwil berdasarkan dalil
adalah maslahat
2. Mentaksis keadaan umum
dengan kemaslahatan
c. Lafazh mencakup arti
yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
d. Takwil tidak boleh
bertentangan dengan nash yang qath’, karena nash tersebut bagian dari aturan
syara’yang umum.
e. Arti dari penakwilan
nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yang dikuatkan denngan dalil.
F. Takwil Ba’id
Sebagai mana dikatakan diatas, bahwa jika persyaratan tak
dapat dipenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil
ba’id. Juga jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti itu
di tolak.
3. Khash (Khusus)
a. Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda
pendapat dalam memberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi
tersebut memepunyai pengertian yang sama. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan
khash, diantaranya:
Artinya: “sesungguhnya pengkhusussan lafazh
umum adalah diperbolehkan.”
Artinya: “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang
sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”
Menurut Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
Artinya:
“setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu
arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi diatas,
ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan
pula bagian dari lafazh ‘amm. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama
Syafi’iyah.
Cara penunjukan lafazh
atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti
lafazh insanun dipasangkan pada hewan berpikir, atau bentuk spesies (nau’un),
seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda
tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3,5,100, dan seterusnya).
b. Hukum Dan Contoh Lafazh
Khash
Lafazh yang terdapat pada
nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil
yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkina arti
lain yang tidak berdasarkan dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nya tidak
terpengaruhi.
Atas dasar itu, maka tsalatsatin pada firman Allah SWT.
(Al-Baqarah:196) yang berbunyi:
Mengandung pengertian
khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang
dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu artinya tiga. Oleh karena itu
dilalah makna-nya adalah qath’iyah, disebabkan karena tidak ada dalil yang
memalingkan dari masalah haqiqi-nya (al-wad’ al-Haqiqi).
Selain itu juga terdapat lafazh “nar” dalam firman Allah
SWT. yang berbunyi:
An-nar adalah lafazh khash yang berarti api, namun ternyata
mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu. Tanpa adanya dalil,
maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna
yang termasuk dalam lafazh tersebut.
c. Macam-Macam Lafazh
Khash
Lafazh khash itu
bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu
sendiri. Macam-macam lafazh khash mencakup: mutlaq, muqayyad, amr dan nahyi.
a) Mutlaq
Apabila lafazh khash memberikan faedah ketetapan hukum
secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b) Amr
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka
ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih),
selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c) Nahy
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan, ia
memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama
tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
4. ‘Amm
a. Pengertian Lafazh ‘Amm
Pembahasan ‘amm dalam
ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafazh ’amm mempunyai
tingkat yang luas serta menjadi perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan
hukum. Di lain pihak, sumber hukum islam pun, Al-Quran dan Sunah, dalam bayak
hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.
Lafazh ‘amm adalah suatu
lafazh yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak
terbatas dalam jumlah tertentu.[3][3]
Sebagaimana pendapat para
ulama ushul :
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻮمه ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲ
“keumuman al-‘Aam
bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili).”
Al-‘amm itu umumnya
bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian.
Artinya bahwa kata-kata yang umum mencakup seluruh bagiannya, sebagaimana jika
benar seluruhnya, benar pula bagian-bagiannya, sedangkan lafazh umum
menunjukkan sebagian hanya berlaku bagi sebagian tersebut, sebagaimana jika
benar sebagian, belum tentu benar seluruhnya.[4][4]
5. AMR (PERINTAH)
a. Pengertian AMR
Menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr adalah lafazzh yang
menunukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan.
b. Bentuk-bentuk Amr dan Hakikatnya
Para ulama ushul telah
menyepakati bahwa bentuk amr ini digunkan untuk berbagai macam
arti. Al-Amidi menyebutkan sebnayk 5 macam makna (Al-Amidi,
1968,II:9). Sedangakan Al-Mahalli dalam Syarah Jamu ‘Al-jawami’ menyebutkan
sebanyak 26 makna. Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk amr secara
hakikat digunakan untuk thalab(tuntutan).
c. Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan
Terus-menerus
Telah dibahas diatas,
bahwa sighat amr menunjukan adanya tututan mengerjakan sesuatu
pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan konteks
bahasanya membutuhkan keseinambungan atau tidak?
Dalam hal ini terbagi dalam dua pendapat:
1. Menunjukkan tuntutan untuk
mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.
2. Hal itu tidak menunjukkan
kepda mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja, karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh golongan pertama:
1. Pemahaman para ahli bahasa
dari hadis Rasulullah SAW. Bahwa Aqra Ibnu Habis bertanya kepada Rasulullah
SAW. Tentang salah satu isi khotbahnya, ”sesungguhnya Allah SWT. telah
mewajibkan kepada kami semua untuk melaksanakan haji, maka tunaikanlah oleh
kaum semua ibadah haji”. Dia bertanya kepada Rasulullah SAW.“Apakah
pada tiap-tiap tahun, Ya Rasulullah?”. Rasulullah diam, ehingga ia
mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “jika
aku katakan wajib maka kamu semua tidak mungkin mapu melaksanakannya,haji itu
adalah sekali, adapun selebih nya adalah sunah.”
Hadis itu menunjukkan
keharusan untuk terus menerus dalam melaksanakan amr.Namun karena
yang bertanya itu adalah ahli bahasa, sehingga jika tidak memahaminya sebagai
keharusan melaksanakan haji berulang kali, ia tidak mungkin bertanya.
Namun hal itu dibantah
oleh golongan kedua, bahwa adaya pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka
bahwa adanya pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka bahwa haji itu
seperti ibadah-ibadah lainnya yag memerlukan pengulangan. Itu sebabnya
dijelaskan oleh Rasulullah SAW. bahwa haji itu hanya diwajibkan sekali saja.
2. Amr mengandung
perwujudan sesuatu yang positif, yakini mewujudkan suatu pekerjaan pada waktu
yang akan datang, yang sebelumnya tidak ada. Hal itu bisa terpenuhi dengan
sekali melaksanakan, namun harus diulangi sebagai perwujudan melaksanakan
kewajiban.
d. Amr Tidak Menuntut agar
dilaksanakan secara langsung
Sesungguhnya amr tidak menuntut untuk
dilaksanakan secara langsung atau ditunda-tunda, berdasarkan
ketentuan-ketentuan dibawah ini :
1. Bila amr itu
dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila habis waktunya,
seperti ibadah puasa.
2. Bila amr itu
memerlukan pelaksanaa secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung.
Seperti menolong yang kebakaran atau orang tenggelam.
3. Bersegera dalam
melaksanakan amr adalah sunah, seperti firman Allah SWT. Dalm
suratAl-Baqarah : 148
Artinya : Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
6. NAHYI (LARANGAN)
a. Pengertian Nahyi
Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah
kebalikan dari amr, yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari tasan
kepada bawahan.
Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu
seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
b. Makna Sighat Nahyi
Para ulama ushul sepakat bahwsa hikakt dalalah
nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih
makna, kecuali bila ada suatu qarinah (Abd. Aziz Al-Bukhari :
256).
c. Nahyi menuntut untuk Meninggalkan
secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu
menuntut meninggalkan apa yang dilarang sebagaimana disebuytkan dalam firman
Allah SWT . surat Al-An’am ayat 151
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak”.
Dengan kata lain
janganlah kamu semua menyebabkan seseorang terbunuh. Kata “terbunuh” adalah
bentuk nakirah dalam keadaan nahyi. Hal itu sangat umum dan
menunjukkan siapa saja yang terbunuh, kapan saja dan dilakukan terus menerus,
kecuali jika ada dalil yang men-taksis keumumannya, seperti membunuh dengan
hak.
Dengan demikian, jelaslah
bahwa larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus menerus,
karena pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah
nahyi. Hal itu merupakan ijma’ dari ulama, masa
sahabat dan tabi’in. mereka menetapkan bahwa nahyi itu
menuntut agar meninggalkan yang dilarang secara langsung dan terus menerus.
d. Ihwal Nahyi
Para ulama ushul dalam
menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai jalan. Namun,
pada garis besarnya, hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam :
1. Nahyi yang
melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya. Seperti jual beli riba
dan larangan puasa pada hari raya.
2. Nahyi kembali
kepada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan. Tetapi, perbuatan itu bisa
terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat di tempat hasil
rampasan dan larangan jual beli di waktu shalat jum’at.
7. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
a. Pengertian Mutlaq dan
Muqayyad
Para
ulama ushul memberikan definisi Mutlaq adalah berbagai definisi. Namun semuanya
bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud muthlaq ialah suatu lafadz
yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit
keluasan artinya.
Pula
para ulama memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi. Namun,
semuanya bertemu pada satu pengertian, yaitu suatu lafadz yang menunjukkan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit
keluasan artinya.
b. Hukum Lafadz Mutlaq dan
Muqayyad
Pada
prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafadz mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga
hukum lafadz muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya. Yang menjadi persoalan
disini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada
yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
Hukum dan sebabnya sama. Disini para ulama sepakat bahwa
wajibnya membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad.
Hukum dan sebabnya
berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa wajibnya memberlakukan
masing-masing lafadz, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap
pada kemuqayyadannya.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini,
para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafadz mutlaq kepada
muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
8. MANTUQ DAN MAFHUM
a. Pengertian Mantuq dan Mafhum
Suatu
lafadz bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Hanafiyah
terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isayarat nash, dilalah nash dan
iqtida, nash. Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
Dilalah
mantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri.
Dilalah mantuq seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah
Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat dan iqtida nash.
Dilalah
mafhum ialah petunjuk lafad pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz
itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam
istilah Hanafiyah disebut dilalah nash.
Dari
definisi mantuq dan mafhum diatas dapat disimpulkan bahwa mantuq dan mafhum ini
termasuk mafhul, bukan dilalah. Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
b. Dilalah Mafhum
Dilalah
mafhum ini terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
Mafhum
muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu suatu
petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu
berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai
dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini
dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan
pembahasan yang mendalam atau ijtihad. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum
yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum
muwafaqah disebut pula dengan nama fahwa al-kitab dan lahn al-khitab,
sebagaimana dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah. Ibnu As-Subki membedakan
pengertian antara keduanya, yang pertama dimaksudkan untuk masalah tak
tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih sesuai daripada hukum bagi
masalah tertulis, sedangkan yang terakhir dimaksudkan untuk masalah yang sama
tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis. Perbedaan ini
disepakati oleh Asy-Syukani.
Mafhum
al-mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir
dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu,
yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahirdari mantuq-nya, karena tidak
adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. (lihat Ibnu Al Hajib jild
II hal.172, Al-Amidi jilid II: 99, Al-Mahalli, I :245 dan Zakiyuddin Sya’an:
43).
c. Macam-macam Mafhum
Mukhalafah
1. Mafhum Sifat
Mafhum
sifata ialah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukkan berlakunya kebaikan
hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi
qayid pada lafadz tersebut.
Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap ulama terdapat
kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat
a) Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai
hujjah.
Ia dipandang sebagai salah satu cara untuk menggali hukum.
Apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada
apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad bin Hambal, Al-Asy’ary, dan segolongan dari kalangan mutakallimin
(Al-Amidi, 1968, II: 103 Asy-Syaukani, 1973,168)
Alasan mereka adalah sebagai berikut:
a. Para ahli bahasa memakai mafhum sifat
b. Dicantumkannya suatu sifat dan
pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaan.
b) Mafhum sifat itu tidak dapat dijadikan hujjah
karena bukan merupakan suatu metode untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum
dibatasi dengan sifat tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya
sifat tersebut. Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum
yang dibatasi dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum
sifatnya karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah.
Malikiyah, Al-Ghazali, dan Al-Amidi dari golongan Syafi’iyyah (Al-Amidi,
1968,III: 103).
2. Mafhum syarat, Adad dan
Ghayah
Seperti
telah dijelaskan di muka bahwa ulama yang memakai mafhum mukhalafah
memberikan beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau qayyid yang
terdapat pada suatu lafadz harus berfungsi. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah
yang qayidnya berfungsi seperti mafhum syarat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah
dapat dijadikan hujjah syara’. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan
alasan kehujjahan mafhum mukhalafah dari sifat. Sedangkan ulama yang tidak
memandang mafhum mukhalafah sebagai hujjah syara’ tetap berpendapat bahwa
ketiga macam mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah syara’.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qaidah ushuliyah adalah
pedoman bentuk menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau
peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum.
Daftar Pustaka
Syafe’i,Rachmat. Ilmu Usul Fiqih.Bandung:
Pustaka setia.2010
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh.Bnadung: Pustaka
setia.2012
Saefuddin,Asis. Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh.Bandung:
Pustaka karya.2012
#makalah s1 syariah dan Hukum UIN Rafah