Monday, 7 December 2015

Qaidah Ushuliyah - Part 2

Qaidah Ushuliyah 
Oleh Jamiatul Husnaini (PMH 12)

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Qaidah Ushuliyah adalah pedoman untuk menggali hukum atau dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikn metode penggalian hukum. Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughowiyyah. Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kaliamt atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Secara global kaidah-kaidah ushul fiqih bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughowi). Qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Dengan demikian, Qaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Kaidah ushuliyah itu sangat penting karena Qaidah ushuliyah merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk Fiqih. Tanpa kaidah Ushuliyah, pengalaman hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
Penetapan hukum perintah, larangan, umum, khusus dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama kaidah uhuliyah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas secara rinci dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa sajakah kaidah-kaidah Istinbath hukum yang digunakan dalam penggalian hukum atau dalil-dalil syar’i guna mempermudah dalam mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum?
2.      Apa fungsi dan kegunaan kaidah ushuliyah dalam penggalian hukum syara’?


BAB II
KAIDAH-KAIDAH ISTINBATH HUKUM

A.    AL-AMAR (PERINTAH)
1.      Pengertian Al-Amr
Al-Amr adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan kepada bawahan.
الأمر طلب الفعل من الأ على الى الأدنى
“Amar (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”[1]
Kalimat perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah memiliki makna-makna tertentu. Menurut Abi Al-Hasan ‘Ali Al-Amidi[2], Amr memiliki 15 makna. Ada pula yang mengatakan bahwa amr memiliki 26 makna, seperti Al-Mahalli dalam Syarh ‘ala Matn Jam’u Al-Jawami-nya.
2.      Makna-makna Al-Amr
Makna-makna amr adalah sebagai berikut:
1)      Menunjukan Wajib
Kaidah ushuliyah lughowiyah-nya:
الأصل فى الأمر للوجوب
“Asal dari perintah adalah wajib.”
Misalnya, perintah Allah kepada Iblis agar bersujud kepada Adam yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 34:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
 “Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada Malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka, kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan ia termasuk golongan orangorang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34).
Atau contoh lain, dalam Surat An-Nisa ayat 77:
واقيمواالصّلاة
Dan dirikanlah olehmu Shaolat.” (QS. An-Nisa: 77).
Perkataan “dirikanlah” itu, suatu perintah dari Allah. Tiap-tiap perintah asalnya wajib. Jadi, sholat itu hukumnya wajib.
2)      Menunjukan Anjuran (Sunnah)
Kata perintah terkadang menunjukan anjuran, kaidahnya:
الأصل فى الأمرللنّدب
Asal dari perintah adalah anjuran (sunnah).”
Kaidah tersebut menunjukan bahwa tidak semua perintah itu bermakna wajib, tetapi banyak pula yang menunjukan makna anjuran, seperti perintah sholat tahajud, bukan perintah wajib jika dimaksudkan seluruh umat Islam, tetapi sunnah. Perintah tersebut dikhususkan bagi Rasulullah SAW. Dalam surat Al-Muzzammil ayat 1-4:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
 “Hai oarng yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil: 1-4).
3)      Perintah bermakna irsyad atau petunjuk
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282, yaitu ayat yang memberi petunjuk  agar berutang harus dicatat dengan teliti.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil.” (QS. Al-Baqarah: 282).
4)      Perintah bermakna Do’a
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 201:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 “Dan di antara mereka, ada yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201).
5)      Perintah bermakna iltimas (permintaan)
Contoh syair:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزلى
بسقط اللّوى بين الدّخول فحومل
“Berhentilah dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih dan rumahku, di Siqtilliwa antar Dakhul dan Haumal.” (Syair Umruul Qais).
6)      Perintah bermakna tamanni (berangan-angan)
Contoh syair:
الا ايذها اللّيل الطّويل الاانجلى
بصبح وماالأصباح منك بأمثل
“Wahai malam panjang! Berakhirlah dengan subuh. Tak ada subuh yang lebih utama daripada subuhmu.” (Syair Umruul Qais).
7)      Perintah bermakna takhyir (menyuruh memilih)
Contohnya:
فمن شآء فليؤمن ومن شآء فليكفر
“Barang siapa yang mau beriman, berimanlah. Dan yang mau kufur, maka kufurlah.”
8)      Perintah bermakna taswiyah (mempersamakan)
Misalnya, dalam surat Ath-Thur ayat 16:
اصْلَوْهَا فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ ۖ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
 “Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu. Kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Ath-Thur: 16).
9)      Perintah bermakna Ta’jiz (melemahkan)
I’jaz dibahas pula dalam ilmu Al-Qur’an, sebagaimana contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 23:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
 “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah: 23)
10)  Perintah bermakna tahdid (ancaman)
Misalnya dalam surat Ibrahim ayat 30:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِهِ ۗ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, bersenang-senanglah kamu, karna sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.” (Q.S. Ibrahim: 30)

11)  Perintah bermakna ibadah
Misalnya dalam surat Al-Baqarah 187:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Q.S. Al-Baqarah: 187)
Perintah tidak selalu menggunakan amr, terkadang menggunakan kata kerja mudhari’ yang di beri lam amr, misalnya dalam surat Al-Hajj ayat 29: 
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
 “Supaya mereka mengelilingi Ka’bah yang kuno.” (Q.S. Al-Hajj: 29)

Digunakan pula Isim fi’il amr, sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 105:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk, hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 105)
Dan ada juga kata perintah yang menggunakan masdar pengganti fi’il sebagaimana contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 83.

3.      Kaidah-kaidah lain dari Al-Amr
Kaidah-kaidah lain dari Amr adalah sebagai berikut:
a)      Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan
ألأمر بعد النّهي يفيد الأباحة
“Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan.”
Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, kemudian datang perintah mengerjakan,maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah SWT.:

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 10).
b)      Perintah tidak menghendaki untuk segera dilaksanakan
ألأصل فى الأمر لا يقتضى الفور
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan.”
Misalnya, tentang haji:
وأذّن فى النّاس بالحجّ

c)      Perintah tidak perlu diulang-ulang
ألأصل فى الأمر لا يقتضى التّكرار
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah).”
Misalnya, perintah mengerjakan haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan kepada pengulangan. Menurut ulama, qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
Pertama, perintah dihubungkan dengan syarat, seperti wajib mandi setelah junub.

 “Jika kamu junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6).
Kedua, perintah itu dihubungkan dengan ‘illat, dengan kaidah:
الحكم يدور مع العلّة وجودا وعدما
“Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya ‘illat.”
Seperti hukum rajam sebab melakukan zina, sebagaimana firman Allah SWT.:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” (QS. An-Nur: 2).
Ketiga, perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam.” (QS. Al-Isra’: 78).
d)     Objek perintah dan medianya
ألأمر بالشّيء امر بوسائله
“Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu, seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa bersuci terlebih dahulu, karena perintah shalat berarti juga perintah untuk bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama menetapkan kaidah:
كلّ ما للا يتمّ الواجب الّا به فهو واجب
“Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula.”
e)      Perintah perlu diulang-ulang
ألأصل فى الأمر يقتضى التّكرار مدّةالعمر مع الأمكان
“Asal dari perintah menghendaki diulang-ulang perbuatan (yang diminta) sepanjang selama hidup masih ada kesanggupan.”
f)       Perintah menghendaki kesegeraan
ألأصل فى الأمر يقتضى الفور
“Asal dari perintah menghendaki kesegeraan.”

B.     AN-NAHY (LARANGAN)[3]
1.      Pengertian An-Nahy
Menurut bahasa An-Nahyu berarti larangan. Sedang menurut istilah adalah:
النّهي هو طلب التّرك من الأعلى الى الأدنى
“Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.”
2.      Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk, yaitu:
a)      Fi’il Mudhari yang disertai dengan La An-Nahiyah, seperti:
 “Janganlah berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 11).
b)      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
واحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275 ).
3.      Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah pertama,
ألأصل فى النّهي للتّحريم
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”
Seperti,:
ولا تقربواالزّنى
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al-Isra’: 32).
Sebagian ulama lain berpendapat:
ألأصل فى النّهي للكراهة
“Pada dasarnya larangan itu menunjukan makruh.”
Menurut kaidah ini, nahi bermakna sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik. Karena itu, ia tidak selalu bermakna haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti.
Sighat nahi selain menunjukan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti, antara lain sebagai berikut:
a)      Bermakna karahah, seperti:
ولا تصلّوا فى اعطان الأبل
“Jangan kamu shalat di atas kulit Unta yang disamak.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
b)      Bermakna Doa, seperti:
  
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa.” (QS. Al-Baqarah: 286).
c)      Bermakna Irsyad, member petunjuk, mengarahkan, seperti:

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101).
d)     Bermakna Tahqir, menghina, seperti:

 “Jangan sekali-kali engkau (Muhammad) tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan.” (QS. Al-Hijr: 88).
e)      Bermakna Bayan Al-Aqibah, seperti:

 “Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati.” (QS. Ali ‘Imran: 169).
f)       Ta’yis, menunjukkan putus asa, seperti:

 “Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini.” (QS. At-Tahrim: 7).
g)      Tahdid, seperti:
لا تطع امرى
“Janganlah kamu taati perintahku.”
Kaidah kedua:
االنّهي بالشّيء امر بضدّه
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya.”
Misalnya:
لا تشرك بالله
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah.”
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah men-Tauhidkan-Nya.
Kaidah ketiga:
ألأصل فى النّهي المطلق يقتضى التّكرار فى جميع الأزمنة
“Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu.”
Jadi, larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab, seperti waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti diharuskan meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa. Namun, bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku selama ada sebab. Misalnya:
 “Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk.” (QS. An-Nisa’: 43).
Kaidah keempat:
الأصل فى النّهي يقتضى الفساد مطلقا
“Pada dasarnya larangan itu bermakna fasad (rusak) secara mutlak.”
Rasulullah SAW. Bersabda:
كلّ أمر ليس عليه أمرنا فهو ردّ
“Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak.”
Dengan demikian, setiap perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diperintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal (tidak sah, fasad) hukumnya.
Kaidah kelima:
ألأصل فى النّهي المطلق يقتضى الدّوام
“Asal larangan yang mutlak menghendaki ditinggalkannya perbuatan (yang dilarang) untuk selamanya.”
Misalnya:
  
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra’: 33)
Ÿ  
 “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).

C.    MUTHLAQ DAN MUQAYYAD[4]
1.      Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq menurut bahasa berarti tidak terikat atau makna yang sebenarnya, suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa ada yang membatasinya sehingga tujuan dari maknanay menjadi sempit. Dengan kata lain, muthlaq adalah memahami lafadz sesuai dengan makna tekstualnya yang tidak terdapat pembatasan makna di dalamnya.
Menurut Istilah ulama ushul, muthlaq adalah:
لفظ خاصّ قيّد بقيد لفظى يقلّل شيوعه
“Suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi keumumannya.”
Misalnya:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
“Maka merdekakanlah hamba sahaya.” (QS. Al-Mujaadillah: 3).
Makna dari hamba sahaya tersebut adalah muthlak hamba sahaya, tidak ada kata lain yang menyifatinya, misalnya hamba sahaya yang kulitnya hitam atau yang rambutnya keriting.
Muqayyad menurut bahasa adalah terikat. Kata yang menunjukan hakikat sesuatu yang dipersempit atau dibatasi oleh pembatasan tertentu. Menurut Istilah, Muqayyad adalah:
لفظ خاصّ قيّد بقيد لفظى يقلّل شيوعه
“Suatu lafadz yang dibatasi oleh batasan lafadz lain yang mengurangi keumumannya.”
Misalnya:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Maka hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 92).
Yang termasuk muqayyad pada ayat tersebut  adalah pembatasan atau penyempitan makna dari kata “Raqabatin” yang dipersempit oleh kata “Mu’minatin”
2.      Hukum Muthlaq dan Muqayyad
Hukum nash yang mutlak hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaknya selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dengan demikian, nash yang muqayyad juga harus dipegang sesuai dengan sifat muqayyadnya tersebut.
Dengan demikian, hukum bagi yang muthlaq dan muqayyad adalah sebagai berikut:
a)      Hukum dan sebabnya sama.
ألمطلق تحمل على المقيّد اذا اتّفق فى السّبب والحكم
“Muthlaq itu dibawa ke Muqayyad jika sebab dab hukumnya sama.”
Misalnya, yang muthlaq terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3:
  
 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Maidah: 3).
Contoh yang muqayyad:

 “Katakanlah: ‘tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. Al-An’am: 145).

Kedua ayat tersebut memiliki sebab yang sama, yaitu “hendak makan”, dan berisi hukum yang sama, yaitu “haramnya darah”. Dengan demikian, yang diharamkan ialah darah yang mengalir, sedangkan darah yang tidak mengalir, seperti hati dan limpa, tidak haram.
b)     Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.
Kaidahnya:
ألمطلق يحمل على المقيّد وان اختلف فى السّبب
“Muthlaq dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.”
Seperti mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zihar.
Mengenai kifarat pembunuhan tersalah:

“Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 92).
Sedang mengenai kifarat zihar:

“Maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (QS. Al-Mujaadillah: 3).

Masalah yang ada dalam dua ayat terakhir tersebut berbeda, yaitu ada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah, sedang pada ayat kedua tentang zihar. Hukum terhadap keduanya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun yang pertama disebutkan hamba sahaya yang beriman, sedang yang kedua hanya hamba sahaya. Karenanya, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zihar.
c)      Berbeda hukum dan sebabnya.
Dalam hal ini masing-masing Muthlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
d)     Berbeda hukum, tapi sebabnya sama.
Misalnya, yang muthlaq tentang tayamum, bahwa tayamum ialah menyapu debu satu kali dan mengusapkannya ke muka dan kedua tangan. Adapun yang muqayyad berkaitan dengan surat Al-Maidah ayat 6:

 “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak shalat, maka cucilah wajah kalian dan tangan kalian hingga siku-siku.” (QS. Al-Maidah: 6).

Ayat di atas yang muqayyad, tidak bisa menjadi penjelasan hadits yang muthlaq, karena berbeda hukum . yang dibicarakan, yaitu wudhu pada Al-Maidah ayat 6 dan tayamum pada hadits, meskipun sebabnya sama, yaitu hendak shalat atau karena hadas (tidak suci). Tangan bisa diartikan dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku,  atau sampai bahu.


D.    MANTHUQ DAN MAFHUM
1.      Pengertian Manthuq dan Mafhum
Menurut bahasa manthuq berarti diucapkan. Sedang menurut istilah:
ما د لّ عليه اللفظ لا فى محلّ النّطق
“Pengertian suatu lafadz, bukan arti harfiah dari yang diucapkan.”
Contohnya:

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Lafadz ayat ini secara jelas menunjukkan, bahwa jual beli halal dan riba itu haram.
Sedangkan Mafhum menurut bahasa berarti pengerian. Menurut istilah:
ما د لّ عليه اللّفظ فى محلّ النّطق
“Apa yang ditunjukkan oleh lafadz sesuai dengan yang diucapkan.”
Contohnya:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ahh’.” (QS. Al-Isra’: 23).
Secara manthuq ayat ini mengharamkan mengucapkan ‘ahh’ kepada kedua orang tua, namun mafhumnya menunjukkan bahwa memukul mereka itu haram. Haramnya memukul orang tua tidak ditunjukkan oleh lafadz ayat ini, tetapi ditunjukkan oleh mafhum ayat.
Dengan demikian, manthuq berarti yang tersurat, sedang mafhum berarti yang tersirat.
2.      Macam-macam Manthuq
Manthuq dapat dibagi dua, yaitu:
a)      Manthuq nash, yaitu lafadz yang tidak mungkin ditakwilkan kepada arti lain selain arti harfiahnya. Seperti:
فصيام ثلاثة أيّم
“Maka hendaklah berpuasa tiga hari.”
b)      Manthuq zhihar, yaitu suatu lafadz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya. Seperti:
يدالله فوق أيديهم
“Tangan Allah di atas tangan manusia.”
Menurut zahirnya kata ‘yadun’ berarti tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka ditakwilkan kepada arti kekuasaan.
3.      Macam-macam Mafhum
Mafhum dapat dibagi menjadi:
a)      Mafhum Muwafaqat, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) hukumnya sama dengan apa yang diucakan.
Contohnya, minum-minuman keras itu memabukkan. Khamar (arak) itu memabukkan dan diharamkan. Karena itu hukum minuman keras sama dengan  hukum khamar, yaitu haram.
Mafhum muwafaqat ada dua macam, yaitu:
1)      Fahwal khithab, yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan ‘ahh’ saja (lebih ringan dari memukul) juga haram, apalagi memukul.
2)      Lahnul khithab, yaitu apabila tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu haram, sebab memakannya juga haram. Keduanya sama-sama merusak harta mereka.
b)     Mafhum Mukhalafah, yaitu yang tidak diucapkan itu berlainan hukumnya dengan yang diucapkan, baik dalam menetapkan hukum maupun meniadakannya.
Mafhum Mukhalafah terdiri dari:
1)      Mafhum sifat, yaitu berlakunya kebalikan, hukum sesuatu yang disertai dengan sifatnya itu tidak menyertainya. Seperti:

 “Dan barang siapa diantara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa’: 25).
2)      Mafhum syarat, yaitu berlakunya hukum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya. Seperti:
“Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu dari (mas kawin) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4).

Pernyataan halalnya bagi suami memakan sebagian dari mas kawin istrinya dengan penyerahan secara senang hati, mafhumnya jika istri tidak menyerahkannya dengan senang hati, maka haram atas suami memakannya.
3)      Mafhum ghayah, yaitu berlakunya hukum yang disebut sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan bila hukum tersebut terlampaui. Seperti:

 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” (QS. Al-Baqarah: 187).

Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Mafhumnya haram makan dan minum setelah terbit fajar.
4)      Mafhum hasyr, yaitu hukum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Yang di luar batas berarti berlaku hukum kebalikannya. Seperti sabda Rasulullah:
انّما الرّبو فى النّسيئة
“riba itu hanya pada nasi’ah.”
Dengan demikian, selain pada nasi’ah tidak ada riba.
5)      Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali, Amin; berbentuk sifat, seperti yang mencari atau yang membunuh; atau nama jenis, seperti emas, padi dan sebagainya. Nama yang disebutkan berlaku hukum kebalikannya. Seperti hadits Nabi yang menerangkan tentang barang-barang yang mengandung riba:
الذّهب بالذّهب والفضّة بالفضّة والبرّ بالبرّ والشّعير بالشّعير والتّمر بالتّمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد
“(Menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah) yang serupa (sifatnya) sama (jumlahnya), suka sama suka.”

Bila penukaran barang sejenis, seperti dalam hadits tersebut dengan tidak sama jumlahnya, hukumnya riba. Maka mafhum selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.
4.      Berhujjah dengan mafhum
Para ulama sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Sedang berhujjah dengan mafhum mukhalafah, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat, bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
وجميع مفاهيم المخلفة حجّة الّا مفهوم اللّقب
“semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”
Sedang menurut ulama Hanafiyah, Ibn Hazm dan golongan Zaidiyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
Jumhur membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah dengan syarat:
a)      Mafhum mukhalafh itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
b)      Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan suatu keadaan, seperti:
 “Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya.” (QS. An-Nahl; 14).
Mafhum mukhalafahnya, yaitu terlarang makan ikan kering, tidak menjadi hujjah.
c)      Jika sesuatu yang disebutkan iyu dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah. Seperti:
“Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Mafhumnya boleh mencampuri istri bila tidak beri’tikaf di masjid tidak bisa dijadikan hujjah.
d)     Sesuatu yang disebutkan itu bukan sesuatu yang biasa terjadi, misalnya:
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. An-Nisa’: 23).

e)      Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam sesuatu yang lain, seperti: 
 “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Ayat ini tidak mengandung mafhum mukhalafah bahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan istrinya.

E.     MUJMAL DAN MUBAYYAN
1.      Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah:
اللّفظ الّذى لا يدلّ بصيغته على المراد
“Lafadz yang sighatnya tidak (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud.”
Sedangkan mubayyan adalah:
اللّفظ الّذى يدلّ بصيغته على المراد
“Lafadz yang sighatnya (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud.”
Lafadz mujmal dapat terjadi pada:
a)      Lafadz mufrad, baik yang berbentuk isim, fi’il maupun huruf. Yang berbentuk isim seperti lafadz ‘Qur’un’ bisa berarti suci maupun haid.
Yang berbentuk  fi’il, seperti lafadz ‘as’asa’ bisa berarti datang dan pergi. Yang berbentuk huruf, seperti wawu bisa untuk ‘athaf dan awal kalimat.
b)      Susunan kalimat, seperti:
الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
“Atau memaafkan orang yang mempunyai ikatan perkawinan.” (QS. Al-Baqarah; 237).

Yang dimaksud dengan  dalam ayat tersebut belum jelas, yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan ayah, wali atau suami. Karena itulah, lafadz mujmal itu  masih memerlukan penjelasan (bayyan), agar dapat diketahui maksudnya secara jelas. Ketika sebuah kalimat masih bersifat mujmal dan belum ditemukan penjelasannya, maka hukumnya ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan) yang dapat menjadikan lafadz mujmal tersebut lebih jelas maksudnya.
2.      Tingkatan Bayan
Yang dimaksud bayan adalah menjelaskan status yang samar sehingga menjadi jelas.
a)      Bayan dengan kata-kata (بيان بالقول) disebut juga sebagai bayan penguat. Misalnya:  
 “Maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 196).
Kata-kata ‘asyrun kamilah menguatkan kata tsalatsah ayyam dan wa sab’atin yang telah ditegaskan sebelumnya.
b)      Bayan dengan perbuatan ( بالفعل بيان ), seperti sabda Rasulullah saw, “Shallu kama ra’aitumuni ushalli” menguatkan pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh Nabi.
c)      Bayan dengan isyarat ( بالأشارةبيان ), seperti penjelasan Rasulullah saw. Tentang keharaman emas dan perak bagi laki-laki.
انّ هذين حرام على ذكور أمّتى
“Sesungguhnya dua (barang) ini haram atas umatku yang laki-laki.”
d)     Bayan dengan meninggalkan (بالتّركبيان ), seperti hadits riwayat Ibnu Hibban:
كان أخر الأمرين منه صلّى الله عليه وسلّم عد م الوضوء ممّا مسّت النّار
“Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi saw. Adalah tidak mengambil wudhu karena memakan sesuatu yang dimasak.”
e)      Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan
Seperti kisah Uwaimir Al-‘Ajalany tatkala bertanya kepada Rasul tentang istrinya yang kelihatannya berbuat serong, maka Rasul diam tidak memberikan jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hukum li’an. Setelah itu turun ayat li’an, lalu Nabi saw, bersabda kepada Uwaimir:
قد انزل فيك وفى صاحبك قرأن ولا عن بينهما
“Sesungguhnya telah diturunkan (Ayat) Al-Qur’an mengenai kamu dan istrimu, dan nabi menjelaskan li’an kepada keduanya.”
3.      Penangguhan bayan
Setiap lafadz ‘Am, Muthlaq, Mujmal, Majaz dan Musytarak memerlukan penjelasan. Namun penjelasan tidak selalu ada sehingga elalu ditangguhkan. Karena itulah, di dalam penangguhan para ulama membedakan dalam dua hal, yait:
a)      البيان عن وقت الحاجة لا يجوزتأخير
“Mengakhirkan atau penangguhan penjelasan pada saat waktu yang dibutuhkan itu tidak diperbolehkan.”

Mengenai masalah ini, para ulama sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu yang diperlukan. Karena penangguhan berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang masih mujmal. Seperti hadits riwayat siti Aisyah mengenai kedatangan Fatimah binti Abu Hubais kepada Nabi seraya bertanya,”Hai Rasulullah, saya perempuan yang sedang istihadhah. Sebab itu saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?” Nabi menjawab:
لا انّما ذالك عرق وليست بالحيضة فاذّا أقبلت الحيضة فدعى الصّلاة واذا أدبرت فاغسلى عنك الدّم وصلّى
“tidak, itu hanya semacam cairan dan bukan haid, maka apabila datang haid tinggalkanlah shalat, dan apabila (haid) telah berlalu, maka basuhlah darah itu dari dirimu dan laksanakanlah shalat.”
b)      تأخير البيان عن وقت الخطاب يجوز
“mengakhirkan atau penangguhan penjelasan dari waktu khithab diperbolehkan.”
Artinya adalah pada waktu turunnya perintah tersebut belum ada penjelasan. Misalnya khithab “dirikanlah shalat” yang penjelasan pelaksanaannya datang kemudian dengan dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi saw. Dan selanjutnya Rasulullah mengajarkan kepada umatnya.

F.     MURADIF DAN MUSYTARAK
1.      Pengertian Muradif dan Musytarak
Yang dimaksud dengan muradif (sinonim) adalah:
اللّفظ المتعدّد للمعن الواحد
“Beberapa lafadz menunjukkan satu arti.”
Seperti lafadz ‘asad’ dan ‘laits’ artinya sama-sama singa.
Sedang musytarak adalah:
اللّفظ الموضوع لحقيقتين مختلفين او اكثر
“Satu lafadz yang menunjukkan dua makna atau lebih.”
Seperti lafadz ‘Qur’un’ bisa berarti suci dan haid dan ‘jaun’ bisa juga berarti putih dan hitam.
2.      Hukum Muradif
Apakah dua lafadz atau lebih yang mempunyai arti sama dapat dipertukarkan dalam pemakaiannya atu tidak. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pebdapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Namun, pendapat yang kuat membolehkan selama tidak ada halangan syara’. Kebolehan inipun hanya terbatas pada selain lafadz-lafadz Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang tidak boleh ditukar dan diganti.
Misalnya lafadz Allahu Akbar dalam takbiratul ihram.
Menurut Imam Malik tidak boleh selain lafadz Allahu Akbar, sedang menurut Imam Syafi’i boleh Allahu Akbar atau Wallahu Akbar dan kata-kata muradifnya.
Begitu juga menurut Imam Abu Hanifah, bahwa takbiratul ihram itu diperbolehkan dengan lafadz yang sama artinya dengan lafadz Allahu Akbar.
3.      Hukum Musytarak
Jumhur ulama termasuk Syafi’i, Qadhi Abu Bakar dan Al-Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh.
استعمال المشترك فى معنيه هو معانيه يجوز
“Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Alasan mereka adalah firman Allah:
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?.” (QS. Al-Hajj: 18).
Lafadz sujud dalam ayat di atas mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki, yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk yang tidak berakal, seperti bulan, matahari, bintang, dan binatang, arti sujud adalah tunduk. Sedang bagi manusia adalah meletakkan dahi di bumi. Bila arti sujud bagi manusia adalah tunduk, maka Allah tidak mengakhiri firman-Nya dengan katsirin min al-nas sebab arti tunduk mencakup semua manusia seperti halnya mencakup semua makhluk tak berakal.

G.    ZAHIR DAN TAKWIL
1.      Pengertian Zahir dan Takwil
Zahir adalah suatu lafadz yang jelas dalalah-nya yang menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain di luar lafadz tersebut. Contohnya:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini secara zahir menunjukkan halalnya jual beli dan haramnya riba.
Jika zahir adalah lafadz yang sudah jelas, maka takwil adalah mengalihkan lafadz dari makna zahirnya kepada makna yang mungkin baginya, berdasarkan dalil baik berupa nash Al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas maupun prinsip-prinsip umum dalam pembentukan suatu hukum sehingga menjadikannya jelas. Seperti kata ‘yadun’ disamping mempunyai makna asal tangan, juga ada kemungkinan makna lain, yaitu kekuasaan.

2.      Masalah yang bisa ditakwil
Para ulama sepakat bahwa masalah-masalah furu’ dapat ditakwil, sedang masalah-masalah ushul atau akidah, seperti soal sifat Tuhan, kepercayaan dan pokok-pokok agama, para ulama berbeda pendapat.
الفروع يدخله التّأويل اتّفاقا
“Masalah cabang dapat ditakwil secara ittifaq.”
Perbedaan pendapat itu, sebagai berikut:
a)      Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut tidak perlu ditakwilkan, karena maknanya sudah jelas dan berlaku menurut makna zahir.
b)      Golongan Ulama Salaf menyatakan bahwa masalah-masalah ushul atau kaidah dapat dilakukan takwil, tetapi takwilnya diserahkan kepada Allah.
c)      Golongan berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut dapat ditakwil.

3.      Syarat-syarat Takwil
a)      Takwil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits, ijma’, qiyas maupun hukum syari’ah yang memperhatikan dasar-dasarnya yang umum.
b)      Bila dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qiyas jail) dan bukan qiyas khafi.
c)      Takwil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.

H.    NASAKH, NASIKH  DAN MANSUKH
1.      Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh
Nasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Menurut istilah adalah:
ابطال العمل بالحكم الشّعيّ بدليل متراخ عنه

“Membatalkan pengamalan sesuatu hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian.”
Dengan demikin, sesuatu yang membatalkan disebut nasikh, dan yang dibatalkan disebut mansukh.
Para ulama sepakat bahwa nasakh atau pembatalan hukum syara’ dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya terjadi pada zaman Rasul masih hidup, kecuali Abu Muslim Al-Asfahany yang menyatakan tidak ada nasakh dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh nasakh:
أنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم : قام يستقبل بيت المقدس فى الصّلاة ستّة عشر شهرا ثمّ نسخ ذالك بطلب التّوجّه الى الكعبة
“Sesungguhnya Nabi berdiri menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat selama enam belas bulan, kemudian dinasakhkan yang demikian itu dengan tuntutan menghadap ke ka’bah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2.      Syarat-syarat Nasakh
a)      Yang dinasakh itu hukum syara’ yang bukan diwajibkan karena zatnya, seperti iman dan bukan dilarang karena zatnya, seperti kufur. Jadi, wajib iman dan haram kufur tidak mungkin dinasakhkan dalam agama apapun.
b)      Pembatalan itu hendaknya dengan hukum syara’. Jadi, tidak berlakunya hukum karena mati bukanlah nasakh.
c)      Bahwa nasikh itu harus terpisah dari mansukh dan yang datang kemudian. Jika nasikh bersambung dengan mansukh seperti sifat, syarat dan pengecualian, maka yang demikian bukanlah nasakh.
d)     Yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
e)      Nasikh dan mansukh sama-sama kuat tingkatannya.
f)       Dalil qath’i tidak dapat dihapus dengan dalil dzanni.
القطعى لا ينسخه الظّنّ
g)      Penghapusan tanpa adanya pengganti diperbolehkan.
النّسخ بلا بدل يجوز

I.       ‘AM
1.      Pengertian ‘Am
 ‘Am menurut bahasa artinya merata yang umum sedang menurut istilah ialah:
اللفظ المستغرق لجميع ما يصله له بحسب وضع واحد دفعة
“Lafadz yang meliputi pengertian umum terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafadz itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain al-‘Am adalah suatu perkataan yang member pengertian umum, misalnya Al-insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafadz al-insan sudah meliputi jenis manusia seluruhnya.

2.      Bentuk ‘Am
Lafal umum itu mempunyai bentuk tertentu yang diantaranya adalah:
a.       Lafal kullun, jami’un, kaaffah, ma’syar
1)      Kullun
كلّ نفس ذائقة الموت
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.” (Q.S. Ali Imran: 185)
2)      Jami’un
هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا
“Dialah (Allah) yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada di bumi, semuanya.” (Q.S. Al-Baqarah: 29)
3)      Ma’syar
يامعشرالجنّ والانس ألم يأتكم رسل منكم يقصّون عليكم اياتي وينذرونكم لقاء يومكم هذا
“Hai sekalian Jin dan manusia ! apakah tidak pernah datang kepadamu Rasul dari golonganmu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan member peringatan kepadamu bahwa aka nada pertemuan hari kiamat ini.” (Q.S. Al-An’am: 131)
4)      Kaffah   
وماآرسلناك الاّ كافّة للنّاس
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruyh manusia.” (Q.S. Saba’: 28)
b.      Isim istifham man, ma, aina, ayyun dan mata, Miasalnya:
1)      Man (siapa)
من ذاالذي يقرض الله قرضً حسنا
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 245)
2)      Ma (apa)
ما سلككم في سقر
“Apa sebab kamu masuk neraka ?” (Q.S. Al-Mudatsir: 42)
3)      Ayyun (siapakah)
ايّكم يأتيني بعرشها قبل أن يأتوني مسلمين (النمل. 38)
“Siapakah di antara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (balqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah diri.” (Q.S. An-Naml: 38)
4)      Mata (kapan)
متى نصرالله ألا انّ نصرالله قريب (البقرة. 215)
“Kapan datangnya pertolongan Allah ? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (Q.S. Al-Baqarah: 215)
5)      Aina (di mana)
أين مسكنك
“Di mana tempat tinggalmu ?”
c.       Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)misalnya:
1)      Man (barang siapa):
من يعــمـل سوءً يجز به. (النّساء: 123)
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (Q.S. an-Nisa’: 123)
2)      Ma (apa saja)
وما تنفقوا من خيرٍيوفّ اليكم وانتم لاتظلمون (البقرة: 272)
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan sedikit pun kamu tidak akan dianiaya.” (Q.S. al-Baqarah: 272)
3)      Ayyun (mana saja); ayyuma (siapa saja):
أيّامّاتـدعوا فله الأسماء الحسنىـى. (الاسراء. 11)
“Dengan apa saja kamu seru Dia, maka Ia mempunyai nama-nama yang baik.” (Q.S. al-Isra’: 110)
أيّما امرأةٍ سألت زوجهاالطّلاقَ من غيرما بأسٍ فحرامٌ عليهارائحة الجنّة. (رواه أحمد)
“Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman syurga.” (H.R. Ahmad)
d.      Isim mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
واحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا. (البقر: 275)
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah: 275)
والسّارق والسّارقة فاقطعواأيْد يهـمـا. (المائدة: 38)
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah potong tangannya.” (Q.S. al-Maidah: 38)

Makrifat dengan idhafah:
واتعـدّوا نعمة الله لاتخصوهَا. (ابرهم. 34)
“kalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah tentu kamu tidak dapat menghitungnya.” (Q.S. Ibrahim: 34)
e.       Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
1)      Makrifat dengan alif lam (al):
انّ الله يحبّ المقسطين. (المائدة: 42)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang lurus.” (Q.S. al-Maidah: 42)  
2)      Makrifat dengan idhafah:
Seperti lafal ummahaatukum pada ayat ini:  
حرّمتْ عليكم امّهاتكم. (النّساء: 23)
“Terlarang bagimu (mengawini) ibu-ibumu.” (Q.S. an-Nisa’: 23)
f.       Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi:
مارأيت رجــلاً
“Aku tidak melihat seorang pun.”
واتّقوايومًالاتجزى نفسٌ عن نفسٍ شيـئا. (البقرة: 48)
“Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun.” (Q.S. al-Baqarah: 48)
Kalimat nafsun = “seorang pun,” yang jatuh sesudah naïf (laa = tidak) yakni tidak tertentu dan ditujukan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
g.      Isim maushul (alladzi, alladziina, allati, ma):

“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang-orang itu makan apa pada perut mereka.” (Q.S. an-Nisa’: 10)

3.      BEBERAPA KAIDAH TENTANG ‘AM
            Kaidah:  (I)
اذاوردالعامّ على سببٍ خاصّ فالعبــرة بعموم اللّفظ لابخصوص السّبـب.
“Apabila ‘Am datang karena sebab khas, yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan khususnya sebab.”
Contohnya:
يارسول الله إنّانركب البحرونحمل معناالقليل من الماءفإنتوضّأنابه عطشناأفنتوضّأ بماءالبحر؛فقال ص م هوالطّهورماؤهوالحلّ ميتته, (رواه الترمذى)
“Hai Rasulullah ! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, sedangkan bekal air hanya sedikit. Kalau berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehabisan air, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut ? Nabi saw. Lalu bersabda: “laut itu airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).” (H.R. Turmudzi)
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Akan tetapi, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi saw. Itu menunjukan yang ‘am. Hukum itu berlaku, baik dalam keadaan memaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberkan pengertian yang umum.
Kaidah: (II)
الخطاب الخاصّ بواحدٍ من الامّة يفيد العموم حتّى يدلّ الدّليل على الخصوص.
Khithab yang khusus tertuju kepada seseorang dari seluruh umat memberikan faedah menunjukkan umum, kecuali apabila diketahui ada dalil yang menunjukan khusus bagi orang itu saja.”
Kita sering mejumpai suatu khitbah yang ditujukan untuk seseorang saja, berhubung suatu kejadian yang dialami oleh orang itu. Dalam hal ini, jika khithab itu tidak dijumpai adanya dalil yang menentukan bahwa khithab itu hanya khusus untuk orang yang menerimanya, maka khithab tersebut berlaku untuk umum, sebagaimana Nabi saw. Bersabda:
إنّماقولى لإمرأةواحدةكقولى لمائةامرأةٍ. (رواه الترمذى)
“Sesungguhnya perkataan yang tertuju kepada seorang wanita sama seperti perkataanku terhadap seratus wanita.” (H.R. Turmudzi)
Contoh sabda Nabi saw.:
قدأنكحتكهابمامعك من القرآنِ. (روه البخارى ومسلم)
“Aku telah menikahkan kamu kepadanya (wanita itu) dengan mahar al-Qur’an, artinya dengan mahar mengajar.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kaidah: (III)
ذكربعض أفرادالعامّ الموافق له فى الحكم لايقتضى التخصيص.
“Menyebut sebagian satuan lafal ‘am yang sesuai hukumnya dengan lafal ‘am tersebut, tidak berarti mentakhshishkan.”
1)      Contoh sabda Nabi saw.
أيّماإهاب دبخ فقدطهور. (رواه مسلم)
“Kulit (bangkai) apa saja yang sudah di samak tentu suci.” (H.R. Muslim)
2)      Di lain kesempatan Nabi saw. Bersabda lagi tentang kulit (bangkai) kambing siti maimunah:
دباغهاطهورها. (رواه ابن حبان)
“Disamaknya (kulit kambing Maimunah) menjadikannya suci.” (H.R. Ibnu Hibban)
Kaidah: (IV)
العامّ بعد التخصيص حجّة فى الباقى
“Lafal ‘am sesudah di takhshishkan tetap jadi hujjah bagi (satuan-satuan) yang masih tertinggal.”
Dalil ‘am sesudah ditakhshishkan masih nerlaku bagi satuan lain, misalnya firman Allah swt.:
قل من حرّم زينة الله التى اخرج لعباده. (الأعرف: 31)
“Katakanlah (Hai, Muhammad) ! Siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang sudah Ia keluarkan bagi hamba-Nya ?”
Ayat ini menyatakan bahwa semua perhiasan dibolehkan, kemudian ditakhshish dari padanya “cincin emas” bagi laki-laki, dengan hadis Nabi saw.:
“Bahwasanya Nabi saw. Melihat cincin emas di tangan seorang laki-laki, kemudian oleh beliau dicabut dan diletakkannya, seraya bersabda: dengansengaja salah seorang di antara kamu mengambil bara api neraka maka jadikanlah ia di tangannya.” (H.R. Muslim)
العمل بالعامّ قبل البحث عن المخصّص لايجوز
“Mengamalkan (dalil) ‘am sebelum menyelidiki yang mentakhshish tidak diperbolehkan.”

J.      Khas dan Takhshish
1.      Pengertian Khas dan Takhsis
(   الخاصّ والتخصيص    )
Khash ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum, seperti Ahmad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khash itu kebalikan dari ‘am.
Dalam pasal ini ada beberapa kata-kata yang erat sekali dengan khash, takhsihs, mukhashshish dan makhshush.
Takhsish artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum ketika tidak ada yang menakhshish (mukhashshish).
Mukhashshish ialah:
a)      Orang yang mempergunakan takhshish;
b)      Dalil yang dipakai takhshish.
Makhshush ialah ‘am yang sudah kena takhsish.
2.      Macam –macam Mukhashshish  (أقسم المخصّص)
Mukhshshish itu ada dua macam, (1) mukhashshish muttashil dan (2) mukhashshish munfasil.
Mukhashshish muttashil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal sebelumnya.
Misalnya :
ولاتقتلواالنفس الّتى حرّم الله إلاّ بالحقّ ( الأ نعام – 151)
“Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (Q.S. al-An’am: 151)
Adapun mukhashshish munfashil yaitu yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum.
Misalnya :
وكلوا واشربواولا تشرفوا ( الأعراف – 31)
“Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (Q.S. al-A’raf: 31)
3.      Beberapa ketentuan tentang lafal al-khashsh
Secara garis besar, ketentuan tentang lafal al-khashsh adalah sebagai berikut.
Pertama, ketentuan hukum yang lahir dari lafal al-khashsh bersifat qath’i. dengan demikian, ketentuan hukum yang lahir dari lafal khashsh wajib diberlakukan. Sebagai contoh, firman Allah swt. Pada surah an-Nisa’: 92 tentang kafarat bagi pembunuh karena tersalah, sedang ia tidak mampu memerdekakan hamba: 
فمن ّلم يجد فصيام شهرين متتابعين
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut.”
Lafal شهرين متتابعين (dua bulan berturut-turut) yang terdapat dalam ayat di atas, adalha lafal al-Khashsh, sedangkan lafal al-khashsh bersfat qath’I (pasti). Dengan demikian kewajiban puasa itu adalah dua bulan, tidak boleh kurang atau lebih dari dua bulan, dan berturut-turut, tidak boleh diseling-selingi dengan hari berbuka.
Kedua, jika di dalam suatu kasus hukumterdapat ketentuan yang umum, kemudian terdapat kasus lain yang bersifat khusus terdapat pula ketentuannya yang bersifat khusus, maka ketentuan khusus terhadap kasus yang bersifat khusus itu, mengenyampingkan ketentuan umum yang terdapat dalam kasus tertentu itu. Misalnya, firman Allah swt. Pada surah al-Baqarah: 228.
والمطلّقت يتربّصن بأنفسهنّ ثلثة قروءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Ayat ini menjelaskan ketentuan umum bagi setiap wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu ber-‘iddah selama tiga quru’. Akan tetapi, khusus terhadap wanita yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, terdapat kwtentuan yang khusus pula, yaitu firman Allah swt. Pada surah ath-Thalaq : 4;
وأولت الأحمل أجلهنّ أن يضعن حملهنّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dengan adanya ayat ini, maka khusus terhadap wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, masa ‘iddah-nya bukan tiga quru’, tetapi sampai ia melahirkan anaknya. Ketentuan ini juga diberlakukan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Istilah yang digunakan ialah: Lex specialis drogat lex generalis (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum).
Ketiga, jika lafal al-khashsh disebutkan secara bersamaan atau berurutan dengan ketentuan umum, maka ketentuan khusus tersebut menjadi merupakan mukhashshish (menjadi ketentuan khusus) yang mengenyampingkan ketentuan yang umum sebatas yang dikhususkannya.
At-Takhshish
 ialah, membatasi tunjukan lafal yang umum menjadi hany sebagian maknanya saja. Definisi lain menyebutkan takhshish ialah, suatu penjelasan yang menerangkan bahwa sejak semula, yang dimaksud asy-Syar’i dari tunjukan suatu lafal ‘amm adalah sebagian dari satuan maknanya saja, bukan keseluruhan maknanya.
Mukhashshishat
Artinya yang mengkhususkan. Adapun yang dimaksud adalah dalil-dalil yang dapat berperan untuk men-takhsish ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Sebagaimana telah di jelaskan, lafal-lafal umum berlaku kepada semua satuan makna umum yang ditunjuknya, selama tidak ada dalil yang men-takhshish-nya. Dalil-dalil yang men-takhsish makna yang terdapat dalam lafal umum (al-amm) itulah yang disebut dengan mukhashshish.
Adapun dalil-dalil mukhashshish ada beberapa macam, antara lain sebagai berikut.
a)      Nash Al-Qur’an yang bersifat khusus
Nashsh Al-Qur’an yang bersifat khusus dapat menjadi mukhashshish terhadap ayat Al-Qur’an lainnya yang bersifat umum. Misalnya, firman Allah saw. Pada surah al-Baqarah (2): 234:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزوجا يتربّصن بأنفسهنّ أربعة أشهوروعشرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.

Ayat ini menjadi mukhashshis terhadap ketentuan umum masa ‘iddah bagi wanita yang bercerai, baik yang bercerai karena dijatuhkan talak oleh suaminya maupun karena suaminya wafat, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. Pada surah al-Baqarah (2): 228:
والمطلّقت يتربّصن بأنفسهنّ ثلثة قروءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu ) tiga kali quru’.
b)      Nash hadits yang bersifat khusus
Nash hadits yang bersifat khusus misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-jama’ah, dari Aisyah ra.:[5]
عن عائشة عن رسول الله صلى عليه وسلّم تقطع يدّ السارق فى ربع دينار 
فصا عدا
Dari Aisyah ra., dari Rasulullah saw. Beliau bersabda : “Tidak dipotong tangan pencuri, kecuali (nilai curiannya) seperempat dinar ke atas.”
Hadits ini merupakan mukhashsh terhadap ketentuan umum yang terdapat dalam firman Allah swt. Pada surah al-Maidah (5): 38:
والسّارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
c)      Logika (akal pikiran)
Logika dapat menjadi mukhashshish lafal ‘amm yang terdapat dalam nashsh. Misalnya, firman Allah swt. Pada surah ali ‘Imran (3): 97:
ولله على النّاس حجّ البيت مَن استطاع إليه سبيلا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
Lafal an-nas besifat umum, menunjuk semua manusia, sehingga berdasarkan pengertian umumnya, ayat tersebut mewajibkan manusia, termasuk anak-anak, dan orang-orang gila, yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah, untuk melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, logika mengatakan, orang gila dan anak-anak tidak mencukupi syarat taklif, sehingga mereka dikecualikan dari pengertian umum ayat tersebut. Dalam hal ini, alasan yang menjadi mukhashshish terhadap ayat tersebut adalah logika.
d)     Adat kebiasaan
Contoh adat kebiasaan yang menjadi mukhashshish ketentuan umum ialah, kebiasaan wanita-wanita arab yang tidak menyusukan secara langsung anak-anak mereka, sedangkan Rasulullah saw. Tidak menyalahkan kebiasaan wanita-wanita arab tersebut. Karena itu, kebiasaan wanita arab tersebut dipandang  menjadi mukhshshish terhadap ketentuan umum yang terdapat dalam firman Allah swt. Pada surah al-Baqarah (2): 233:
والولدات يرضعن أولـدهنّ حولين كاملين لمن أرد أن يتمّ الرّضاعة
para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu yang ingin menyempurnakan penyusuan.
e)      Ijma’
Ijma’ dapat menjadi mukashshish, karena ijma’ adalah dalil syara’ yang bersifat qath’i, sementara tunjukkan lafal ‘amm adalah zhahir (perhatikan makna zhahir dalam uraian tentang lafal ditinjau dari segi kejelasan maknanya yang telah diuraikan sebelumnya). Oleh karena itu, ijma’ dapat menjadi mukhashshish terhadap lafal zhahir. Contohnya, ketentuan yang berlaku umum dalam hal pengadaan jasa ialah, jasa yang dibayar adalah jasa kadar jumlahnya. Akan tetapi, semua orang sepakat jasa pengadaan pemandian umum, misalnya, tidak terdapat pembatasan dalam jumlah air yang digunakan untuk mandi. Karena itu, kesepakatan tersebut menjadi mukhashshish terhadap ketentuan tentang batas dan kadar jumlah pembayaran jasa tertentu.



DAFTAR ISI

Drs. Moh. Rifa’I. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT. Al-Ma’arif. hlm. 21.
Abi Al-Hasan ‘Ali Al-Amidi, Al-Ahkam fi Ushul Al-Ahkam, Al-Muasassah Al-Halabi, Kairo, Jilid II, 1968, hlm. 9.
Malik bin anas, Muwatha’ Malik, hadits nomor 1312.; al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6291; Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 3189.
Drs, Beni Saebani dan Drs. H. Januri. 2009. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Djunaedi, Wawan. 2008. Fiqih. Jakarta: Frima Jaya.



[1] Drs. Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 21.
[2] Abi Al-Hasan ‘Ali Al-Amidi, Al-Ahkam fi Ushul Al-Ahkam, Al-Muasassah Al-Halabi, Kairo, Jilid II, 1968, hlm. 9.
[3] MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta: Frima Jaya, 2008), hlm.93.
[4] Drs. Beni Saebani dan Drs. H. Januri, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 275.
[5] Malik bin anas, Muwatha’ Malik, hadits nomor 1312.; al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6291; Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 3189.


#makalah s1 syariah dan hukum UIN RAFAH
loading...