Ontologi Ilmu, Metafisika dan Asumsi
Oleh: Jamiatul Husnaini, Mawardi Naim & Riki Oktavianus
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara etimologi, Filsafat berasal dari bahasa yunani, yang terdiri
dari dua kata, yaitu “philein” artinya cinta dan “shopia” artinya
kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan, cinta adalah Hasrat yang
besar atau berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksaan adalah
kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi, filsafat adalah hasrat
atau keinginan sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Secara terminology, filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala
sesuatu yang dipersoalkan secara radikal, sistematik dan universal (Sidi
Gazalba). Filsafat adalah refleksi menyeluruh tentang segala sesuatu yang
disusun secara sistematis, diuji secara kritis demi hakikat kebenaran yang
terdalam serta demi makna kehidupan manusia di tengah-tengah alam semesta
(Dmardjati Supadjar).
Dari pengertian filsafat tersebut, para filosof berusaha memecahkan masalah-masalah melalui
pengujian yang kritis untuk mengevaluasi
informasi-informasi dan kepercayaan-kepercayaan tentang alam semesta serta
kesibukan dunia manusia. Filosof mencoba membuat generalisasi, sistematika, dan
gambaran-gambaran yang konsisten tentang semua hal tanpa melihat tujuan, pekerjaan,
dan latar belakang pendidikan sosialnya, para filosof telah menyumbangkan
keyakinan mengenai pentingnya pengujian dan analisis yang kritis terhadap
pandangan-pandangan manusia.
Filosof cenderung untuk tidak menjadi spesialis seperti ilmuan
menganalisis dengan suatu pandangan yang menyeluruh tentang benda-benda atau
masalah. Filsafat adalah berfikir secara radikal, sistematis dan universal
tentang segala sesuatu. Jadi, yang menjadi objek pemikiran filsafat adalah
segala sesuatu yang ada. Semua yang ada menjadi bahan pemikiran filsafat.
Namun, karena filsafat merupan usaha berfikir manusia secara sistematis, maka
segala sesuatu itu perlu disistematiskan.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Ontologi?
2.
Apa
yang dimaksud Metafisika?
BAB II
PEMBAHASAN
Ontologi Ilmu; Metafisika dan Asumsi
A.
Ontologi
Tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta
berarti segala sesuatu yang ada, dan logia berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan atau
segala sesuatu yang ada. Louis O. kattoff membedakan antara metafisika dan
antology. Metafisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan sesuatu di balik
yang tampak. Sedang ontology, esensi dari yang ada hakikat adanya segala ujud
yang ada. Jadi, persoalan yang pertama yang menyangkut masalah ontology. Dengan
demikian, menurut Louis O. Kattsoff, ontology adalah bagian dari metafisika.
Di dalam ontology terdapat beberapa aliranyang penting, yaitu:
Dualisme yang memandang alam menjadi dua macam hakikat sebagai sumbernya.
Sedangkan monisme (materialism) memandang bahwa sumber yang berasal itu hanya
tunggal. Idealism memandang segala sesuatu serba cita atau serba roh. Sedangkan
faham yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti
yang dikehendaki oleh ilmu metafisika disebut aguosticisme.[1]
B.
Metafisika
Istilah metafisika berasal bahasa yunani terdiri dari dua kata “Meta”
dan “Fisika”. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya. Fisika yang
berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti sesudah, sebalik yang nyata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang
memikirkan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada
sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Pengertian metafisika menurut Van Peuten (Surajiyo, 2005:115)
adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatian pada pertanyaan mengenai akar
terdalam yang mendasari segala adanya kita. Metafisika mempelajari manusia,
namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya,
termasuk pengalaman yang ditangkap oleh indera.[2]
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak
dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.[3]
Ajaran aristoteles mengenai
fisika dan metafisika tidak senantiasa dapat dibeda-bedakan dengan jelas.
Sebutan “metafisika” sebenarnya memeng hanya suatu sebutan yang kebetulan saja.
Istilah ini tidak berasal dari Aristoteles sendiri, melainkan dari Andronikos
dari Rhodos (70 SM). Ia menyusun karya-karya Aritoteles dengan cara demikian,
bahwa karya-karya Aristoteles tentang “filsafat pertama”, yang mengenai hal-hal
yang bersifat ghaib, ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang fisika (meta
ta fusika) kata meta mempunyai arti lengkap, yaitu: sesudah dan di
belakang. Judul metafisika itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna
mengungkapkan isi pandangan-pandangan mengenai “hal-hal yang di belakang
gejala-gejala fisika”.[4]
Inti ajaran Aristoteles mengenai fisika dan meetafisika terdapat
dalam ajarannya tentang apa yang disebut dinamis (potensi) dan energeia (aksi).
Semula ajaran ini dipakai guna memecahkan soal perubahan dan gerak.
Menurut Aristoteles ilmu metafisika termasuk cabang filsafat
teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga dengan demikian
ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental dari
kehidupan, oleh karena itu setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu
yang metafisik tetap tersangkut dalamnya.
Ajaran Spinoza di bidang metafisik menjukan kepada suatu ajaran
monistis yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan
mewujudkan substansi tunggal, di mana tiada bagiannya yang dapat secara logis
berada sendiri. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal memiliki
suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal juga, sehingga harus
disimpulakn, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu. Tabiat dunia dan
hidup manusia secara logis dapat diturunkan dari aksoma-aksioma yang jelas pada
dirinya sendiri. Oleh karena itu sebenarnya kita menyerah kepada
kejadian-kejadian, seperti halnya kita menyerah kepada kenyataan, bahwa 2 kali
2 adalah 4. Hal ini disebabkan karena keduanya, baik kejadian-kejadian yang
dialami manusia, maupun kenyataan-kenyataan ilmu hitung, sama-sama mewujudakn
hasil suatu keharusan yang logis.[5]
Dalam pemikiran lebih lanjut pemakaian istilah metafisika
disejajarkan dengan ontology. Pemakaian kedua istilah tersebut memiliki
pendukung dan tokoh masing-masing. Seorang ahli ontology terkenal ialah Nicolai
Harzman pernah menggunakan istilah metafisika, akan tetapi dalam perkembangan
lebih lanjut menonjolkan istilah ontology. Gottfried Martin memandang istilah
metafisika sinonim dengan istilah ontologi.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini
adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat ghaib (supernatural) dan
wujud-wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam
yang nyata. Animism merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran
supranaturalisme di mana manusia percaya bahwa roh-roh yang bersifat ghaib yang
terdapat dalam benda seperti batu, pohon dan air terjun.
Paham naturalism menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang
bersifat supernatural, materalisme, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan
yang terdapat dalam alam itu sendiri yang dapat kita pelajari dan dapat kita
pahami. Prinsip naturalism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM)
mengembangkan teori tentang atom. Ia berpendapat bahwa unsure dasar dari alam
adalah atom. “hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu
panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Seringkali kita beranggapan obyek
penginderaan bersifat nyata, padahal hanya atom dan kehampaanlah yang bersifat
nyata.” Atau dengan perkataan lain, manis, panas, dingi, atau warna adalah
terminology yang bisa kita berikan kepada gejala yang kitatangkap lewat
pancaindera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak dan menghadirkan
gejala tersebut.
Dengan demikian, maka gejala alam dapat didekati dari segi proses
kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalah selama diterapakan
kepada zat-zat yang mati seperti batuan atau karat besi.
Kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Mekanistik dikembangkan oleh Galileo (1564-1641) yang berpandapat melihat
gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika
semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik yang dikembangkan oleh Hendry Bersgon
(1859-1941) menyebutkan hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara
substantifvtidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena
hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup.
Secara fisiologis otak manusia terdiri dari 10-15 biliun neuron.
Neuron adalah sel saraf yang merupakan dasar dari keseluruhan sistem saraf.
Cara kerja otak ini merupakan obyek telaahan dari berbagai disiplin keilmuan
seperti fisiologi, psikologi, kimia, matematika, fisika dan lain-lain. Dalam
hal ini. Maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara
pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang
berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energy , dalam
teori relativitas Einstein, energy hanya merupakan bentuk lain dari zat. Dalam
hal ini maka proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
Jadi yang menjadikan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik
hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama swekali
bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya menyamai manusia, maka
robot itupun menjadi manusia. Aliran monistik dikembangkan oleh Christian
Worlff (1679-1754).
Pendapat monistik ini ditolak oleh kaum yang menganut paham
dualistic. Dalam metafisika, penafsiran dualistic membedakan antara zat dan
kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substantif. Filsuf yang
menganut paham dualistic ini diantaranya adalah Rene Descartes (1596-1650),
John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1783). Ketiga ahli filsafat
ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan
dari segenap pengalaman manusia adalah bersifat mental.
C.
Asumsi
Asumsi adalah pendapat atau dugaan seseorang terhadap suatu masalah
dalam usaha mencari jawaban dari masalah tersebut.
Para filsuf menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada
determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum
semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan
bebas, ataukah memang ada namun berupa peluang, sekadar tangkapan
probabilistic? Ketiga masalah ini, yakni determinisme, pilihan bebas dan
probabilistic merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa
mengenal tiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah
yang merupakan kompromi , akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan
dengan baik.
Pembatasan mengenai determinisme, pilihan bebas dan probabilistic
itu baru dapat dilakukan jika hukum semacam itu memang ada. Jika hukum yang
mengatur kejadian alam itu tidak ada maka masalah determinisme, probabilistic
dan pilihan bebas itu sama sekali tidak akan muncul. Jika hukum alam itu memeng
benar-benar tidak ada maka tidak aka nada permasalahan dengan determinisme,
probabilistic dan pilihan bebas, dengan demikian maka tidak ada masalah tentang
hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan
belajar.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856)
dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalism yang
berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham
determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan
bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternative.
Konsekuensi dari pilihan ini jelas, sebab jika hukum kejadian yang
berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme.
Jika kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia
maka kita berpaling terhadap paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang
terletak diantara keduanya mengantarkan pada sifat probabilistic.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Rumusan Masalah dan Pembahasan dalam makalah ini, maka dapat
disimpulkan:
Ø Tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta
berarti segala sesuatu yang ada, dan logia berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran. Jadi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
segala sesuatu.
Ø Istilah metafisika berasal bahasa yunani terdiri dari dua kata
“meta” dan “fisika”. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya. Fisika yang
berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti sesudah, sebalik yang nyata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang
memikirkan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada
sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Ø Asumsi adalah pendapat atau dugaan dari seseorang dalam mencari
jawaban atas suatu masalah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Sudarsono. 2008. Ilmu
Filsafat ;suatu pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ø Surajiyo. 2005. Ilmu
Filsafat; suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Ø Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Ø Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I, hal. 47.
[1]
Sudarsono, Ilmu Filsafat (suatu pengantar), (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), hal. 118.
[2]
Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal.
115.
[3]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal. 63.
[4]
Dr. Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, hal. 47.
[5] Ibid,
hal. 31.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang