Friday, 15 January 2016

Ontologi Ilmu, Metafisika dan Asumsi - Filsafat Ilmu

Ontologi Ilmu, Metafisika dan Asumsi
Oleh: Jamiatul Husnaini, Mawardi Naim & Riki Oktavianus


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara etimologi, Filsafat berasal dari bahasa yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu “philein” artinya cinta dan “shopia” artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan, cinta adalah Hasrat yang besar atau berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksaan adalah kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi, filsafat adalah hasrat atau keinginan sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Secara terminology, filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan secara radikal, sistematik dan universal (Sidi Gazalba). Filsafat adalah refleksi menyeluruh tentang segala sesuatu yang disusun secara sistematis, diuji secara kritis demi hakikat kebenaran yang terdalam serta demi makna kehidupan manusia di tengah-tengah alam semesta (Dmardjati Supadjar).
Dari pengertian filsafat tersebut, para filosof  berusaha memecahkan masalah-masalah melalui pengujian yang kritis untuk  mengevaluasi informasi-informasi dan kepercayaan-kepercayaan tentang alam semesta serta kesibukan dunia manusia. Filosof mencoba membuat generalisasi, sistematika, dan gambaran-gambaran yang konsisten tentang semua hal tanpa melihat tujuan, pekerjaan, dan latar belakang pendidikan sosialnya, para filosof telah menyumbangkan keyakinan mengenai pentingnya pengujian dan analisis yang kritis terhadap pandangan-pandangan manusia.
Filosof cenderung untuk tidak menjadi spesialis seperti ilmuan menganalisis dengan suatu pandangan yang menyeluruh tentang benda-benda atau masalah. Filsafat adalah berfikir secara radikal, sistematis dan universal tentang segala sesuatu. Jadi, yang menjadi objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Semua yang ada menjadi bahan pemikiran filsafat. Namun, karena filsafat merupan usaha berfikir manusia secara sistematis, maka segala sesuatu itu perlu disistematiskan.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Ontologi?
2.      Apa yang dimaksud Metafisika?


BAB II
PEMBAHASAN
Ontologi Ilmu; Metafisika dan Asumsi

A.    Ontologi
Tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta berarti segala sesuatu yang ada, dan logia berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan atau segala sesuatu yang ada. Louis O. kattoff membedakan antara metafisika dan antology. Metafisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan sesuatu di balik yang tampak. Sedang ontology, esensi dari yang ada hakikat adanya segala ujud yang ada. Jadi, persoalan yang pertama yang menyangkut masalah ontology. Dengan demikian, menurut Louis O. Kattsoff, ontology adalah bagian dari metafisika.
Di dalam ontology terdapat beberapa aliranyang penting, yaitu: Dualisme yang memandang alam menjadi dua macam hakikat sebagai sumbernya. Sedangkan monisme (materialism) memandang bahwa sumber yang berasal itu hanya tunggal. Idealism memandang segala sesuatu serba cita atau serba roh. Sedangkan faham yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu metafisika disebut aguosticisme.[1]
B.     Metafisika
Istilah metafisika berasal bahasa yunani terdiri dari dua kata “Meta” dan “Fisika”. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya. Fisika yang berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti sesudah, sebalik yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Pengertian metafisika menurut Van Peuten (Surajiyo, 2005:115) adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatian pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya kita. Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalaman yang ditangkap oleh indera.[2] Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.[3]
Ajaran aristoteles  mengenai fisika dan metafisika tidak senantiasa dapat dibeda-bedakan dengan jelas. Sebutan “metafisika” sebenarnya memeng hanya suatu sebutan yang kebetulan saja. Istilah ini tidak berasal dari Aristoteles sendiri, melainkan dari Andronikos dari Rhodos (70 SM). Ia menyusun karya-karya Aritoteles dengan cara demikian, bahwa karya-karya Aristoteles tentang “filsafat pertama”, yang mengenai hal-hal yang bersifat ghaib, ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang fisika (meta ta fusika) kata meta mempunyai arti lengkap, yaitu: sesudah dan di belakang. Judul metafisika itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna mengungkapkan isi pandangan-pandangan mengenai “hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisika”.[4]
Inti ajaran Aristoteles mengenai fisika dan meetafisika terdapat dalam ajarannya tentang apa yang disebut dinamis (potensi) dan energeia (aksi). Semula ajaran ini dipakai guna memecahkan soal perubahan dan gerak.
Menurut Aristoteles ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga dengan demikian ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisik  merupakan sesuatu yang fundamental dari kehidupan, oleh karena itu setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut dalamnya.
Ajaran Spinoza di bidang metafisik menjukan kepada suatu ajaran monistis yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan mewujudkan substansi tunggal, di mana tiada bagiannya yang dapat secara logis berada sendiri. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal memiliki suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal juga, sehingga harus disimpulakn, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu. Tabiat dunia dan hidup manusia secara logis dapat diturunkan dari aksoma-aksioma yang jelas pada dirinya sendiri. Oleh karena itu sebenarnya kita menyerah kepada kejadian-kejadian, seperti halnya kita menyerah kepada kenyataan, bahwa 2 kali 2 adalah 4. Hal ini disebabkan karena keduanya, baik kejadian-kejadian yang dialami manusia, maupun kenyataan-kenyataan ilmu hitung, sama-sama mewujudakn hasil suatu keharusan yang logis.[5]
Dalam pemikiran lebih lanjut pemakaian istilah metafisika disejajarkan dengan ontology. Pemakaian kedua istilah tersebut memiliki pendukung dan tokoh masing-masing. Seorang ahli ontology terkenal ialah Nicolai Harzman pernah menggunakan istilah metafisika, akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut menonjolkan istilah ontology. Gottfried Martin memandang istilah metafisika sinonim dengan istilah ontologi.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat ghaib (supernatural) dan wujud-wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animism merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme di mana manusia percaya bahwa roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat dalam benda seperti batu, pohon dan air terjun.
Paham naturalism menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural, materalisme, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri yang dapat kita pelajari dan dapat kita pahami. Prinsip naturalism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM) mengembangkan teori tentang atom. Ia berpendapat bahwa unsure dasar dari alam adalah atom. “hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Seringkali kita beranggapan obyek penginderaan bersifat nyata, padahal hanya atom dan kehampaanlah yang bersifat nyata.” Atau dengan perkataan lain, manis, panas, dingi, atau warna adalah terminology yang bisa kita berikan kepada gejala yang kitatangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak dan menghadirkan gejala tersebut.
Dengan demikian, maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalah selama diterapakan kepada zat-zat yang mati seperti batuan atau karat besi.
Kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik. Mekanistik dikembangkan oleh Galileo (1564-1641) yang berpandapat melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik yang dikembangkan oleh Hendry Bersgon (1859-1941) menyebutkan hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantifvtidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup.
Secara fisiologis otak manusia terdiri dari 10-15 biliun neuron. Neuron adalah sel saraf yang merupakan dasar dari keseluruhan sistem saraf. Cara kerja otak ini merupakan obyek telaahan dari berbagai disiplin keilmuan seperti fisiologi, psikologi, kimia, matematika, fisika dan lain-lain. Dalam hal ini. Maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energy , dalam teori relativitas Einstein, energy hanya merupakan bentuk lain dari zat. Dalam hal ini maka proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak. Jadi yang menjadikan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama swekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya menyamai manusia, maka robot itupun menjadi manusia. Aliran monistik dikembangkan oleh Christian Worlff (1679-1754).
Pendapat monistik ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Dalam metafisika, penafsiran dualistic membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualistic ini diantaranya adalah Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1783). Ketiga ahli filsafat ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia adalah bersifat mental.
C.    Asumsi
Asumsi adalah pendapat atau dugaan seseorang terhadap suatu masalah dalam usaha mencari jawaban dari masalah tersebut.
Para filsuf menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah memang ada namun berupa peluang, sekadar tangkapan probabilistic? Ketiga masalah ini, yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistic merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal tiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi , akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Pembatasan mengenai determinisme, pilihan bebas dan probabilistic itu baru dapat dilakukan jika hukum semacam itu memang ada. Jika hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada maka masalah determinisme, probabilistic dan pilihan bebas itu sama sekali tidak akan muncul. Jika hukum alam itu memeng benar-benar tidak ada maka tidak aka nada permasalahan dengan determinisme, probabilistic dan pilihan bebas, dengan demikian maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan belajar.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalism yang berpendapat bahwa  segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternative.
Konsekuensi dari pilihan ini jelas, sebab jika hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Jika kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling terhadap paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak diantara keduanya mengantarkan pada sifat probabilistic.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan Rumusan Masalah dan Pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan:
Ø  Tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta berarti segala sesuatu yang ada, dan logia berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Jadi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu.
Ø  Istilah metafisika berasal bahasa yunani terdiri dari dua kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya. Fisika yang berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti sesudah, sebalik yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indera.
Ø  Asumsi adalah pendapat atau dugaan dari seseorang dalam mencari jawaban atas suatu masalah tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Ø  Sudarsono. 2008.  Ilmu Filsafat ;suatu pengantar.  Jakarta: Rineka Cipta.
Ø  Surajiyo. 2005.  Ilmu Filsafat; suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Ø  Suriasumantri, Jujun S. 2007.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ø  Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I, hal. 47.



[1] Sudarsono, Ilmu Filsafat (suatu pengantar), (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 118.
[2] Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 115.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal. 63.
[4] Dr. Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, hal. 47.
[5] Ibid, hal. 31.

#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...