LAFADZ KHAS DAN
KAIDAH-KAIDAH YANG TERKAIT
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Ana Khoiriyah (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada makalah ini, pemakalah akan menguraikan materi tentang
pengertian, bentuk-bentuk, dan karakteristik dari lafadz khas itu sendiri.
Dalam hal ini, kami akan menjelaskan tentang lafadz khas dan Kaidah-kaidah yang
terkait didalamnya. Sehingga kita dapat mengetahui apa itu lafadz khas dan yang
berkenaan dengan lafadz khas itu sendiri.
B.
Rumusan masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan Lafadz Khas ?
b.
Jelaskan bentuk-betuk dari Lafadz Khas !
c.
Apa saja karakteristik dalam Lafadz Khas ?
PEMBAHASAN
LAFADZ KHAS DAN
KAIDAH-KAIDAHNYA
A.
Pengertian
Lafadz Khas
Lafadz
khas ialah suatu lafadz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu yang
satu perseorangannya, seperti Muhammad, atau satu dalam macamnya, seperti
seorang laki-laki, atau menunjukkan kepada sejumlah individu yang terbatas
seperti tiga, sepuluh, seratus, sekelompok, dan lain sebagainya yang
menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan
seluruh individu-individu.[1]
Al-Khas adalah suatu lafal yang menunjukkan arti atau makan tertentu dan
khusus.[2]
Lafadz
Khas ialah lafadz yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang namanya
disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya umpamanya
seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang.[3]
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa lafadz Khas dapat diartikan sebagai lafadz
yang menunjukkan suatu individu atau perorangan, tidak mencakup semuanya dan
berlaku untuk sebagian tertentu.
Lafadz
Khas terkadang berbentuk mutlak yakni tidak dikaitkan dengan sesuatu, tetapi
terkadang dikaitkan dengan sesuatu yang dinamakan Muqayyad, dan terkadang dalam bentuk amr (perintah), dan terkadang dalam bentuk nahyi (larangan). Jadi, Lafadz khas ada empat bentuk yakni mutlak, muqayyad, amar dan nahyi.
B. Bentuk-bentuk Lafadz Khas
Terdapat
dua bentuk dalam lafadz khas, antara lain :
1. Shighat (Bentuk)
Perintah
Apabila
lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam sighat amar (perintah) atau
sighat khabar yang mengandung arti perintah. Maka lafadz itu menunjukkan
kewajiban, artinya menuntut perbuatan yang diperintahkan itu atau yang
dikhabarkan secara penetapan atau pemastian.
Jika
ditemukan suatu qarinah yang memalingkan shighat perintah dari makna pewajiban
kepada makna lainnya, maka ia difahami sesuai dengan apa yang ditunjukki oleh
qarinah itu. Seperti Ibahah (pembolehan) pada firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2
yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah
menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Pengertian tahdid (ancaman) Firman
Allah SWT dalam QS. Al-Fushilah ayat 40 yang berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَنْ يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari
kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik,
ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?
perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Pengertian nadb (anjuran) firman Allah SWT QS. Al-Baqaroh
ayat 282 yang berbunyi :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar......”.
Pengertian ta’jiz (melemahkan) QS. Al-Baqaroh ayat
23 yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”[4]
Sebagian
ahli ilmu ushul fiqh berpendapat bahwasannya shighat perintah merupakan lafadz
yang musytarak antara sejumlah makna, dan untuk menentukan salah satu dari
makna-maknanya harus ada qarinah sebagaimana halnya setiap lafadz musytarak,
dimana ia diletakkan untuk sejumlah makna.[5]
Arti
dari lafadz musytarak itu sendiri yaitu lafadz yang makna nya masih ganda
(lebih dari dua). Dalam hal ini contoh dari lafadz musytarak yakni “Al-Yad”
yang diartikan sebagai tangan kanan atau kanan kiri, “Al-‘Ain” yang diartikan
secara bahasa air mata, mata-mata, dan mata air.
Shighat
perintah menurut bahasa tidaklah menunjukkan lebih dari tuntutan perwujudan
perbuatan yang diperintahkan, tidak pula menunjukkan terhadap tuntutan untuk
mengulangi perbuatan yaang diperintahkan serta tidak pula menunjukkan atas
kewajiban mengerjakannya dengan seketika.
2. Shighat (bentuk)
Larangan
Apabila
lafadz yang khas dalam nash syar’i datang dalam bentuk shighat nahyi (larangan)
atau shighat khabar (berita) yang bermakna larangan, maka ia menunjukkan
pengharaman. Artinya menghendaki meninggalkan terhadap yang dilarangnya secara
tetap dan pasti. Firman Allah QS. Al-Baqaroh ayat 221 yang berbunyi :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Firman
tersebut menunjukkan pengharaman terhadap seorang muslim menikahi wanita-wanita
musyrik.[6]
Sebagian dari ulama’ berpendapat bahwasannya shighat larangan itu termasuk
lafadz musytarak sebagaimana halnya perintah.
Larangan
menuntut permintaan meninggalkannya selamanya dan seketika. Sebabnya yang
dituntut tidak akan terealisir yaitu meninggalkanya perbuatan yang dilarang,
kecuali apabila hal tersebut adalah selama-lamanya. Dalam arti setiap mukallaf
untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang, maka pengulangan merupakan hal yang
otomatis untuk membuktikan pentaatan larangan itu. Jadi, shighat larangan
secara mutlak menuntut seketika dan pengulangan, sedangkan perintah secara
mutlak tidak menuntut seketika dan pengulangan.
C. Karakteristik Lafadz Khas
Sesuatu
lafal nash dapat dikategorikan kepada al-Khas bila lafal tersebut diungkapkan
dalam karakteristik sebagai berikut [7]:
a. Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah
atau bilangan dalam satu kalimat. Dalam nash, misalnya disebutkan pada QS. Al-Baqarah: 228 sebagai
berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Dalam
ayat diatas menyebutkan jumlah yaitu (tiga). Maksudnya, ayat diatas menjelaskan
tentang Iddah wanita yang masanya sampai tiga kali quru’. Atas dasar ini dapat
dipahami bahwa setiap lafal nash yang diungkapkan dengan jumlah atau hitungan,
maka ia adalah digolongkan kepada al-khas.
b. Menyebutkan jenis, golongan, nama
sesuatu atau nama seseorang. Misalnya yang menunjukkan golongan adalah contoh pada QS. At-Taubah ayat 5:s
فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ ۚ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu
dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lafal musyrik pada ayat ini adalah
menunjukkan golongan dan oleh karena itu ia termasuk lafadz al-khas.[8]
c.
Suatu lafadz yang diberi batasan dengan
sifat atau idofa. Misalnya dalam ayat berikut ini yang artinya :
“Dan barang siapa yang membunuh
seseorang mungkin karena tersalah, maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman” (QS. An-Nissa’)”.
Lafal “hamba sahaya yang beriman” adalah mengandung pengertian khusus,
karena mengacu kepada suatu jenis saja, yaitu hamba sahaya yang beriman saja.
Dalam hal ini yang bersifat pembatas dari suatu sifat atau idofa yaitu “Beriman”, sedangkan “Hamba Sahaya” merupakan jenis, golongan, dan lain-lainnya.
PENUTUP
A. Simpulan
Lafadz
khas yaitu lafadz yang menunjukkan suatu individu atau perorangan dan secara
khusus atau tertentu. Bentuk-bentuk pada lafadz khas terdapat dua bentuk, yakni
:
a. Shighat Perintah
b. Shighat Larangan
Dalam
lafadz khas juga terdapat 3 karakteristik didalamnya, yaitu :
d. Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah
atau angka
e. Menyebutkan jenis, golongan nama atau
seseorang
f. Suatu lafal yang diberi batasan dengan
sifat atau idofa.
B. Saran
Saran kami untuk para pembaca agar dapat mengambil intisari atau
kesimpulan dari makalah ini, dan kami sebagai penyusun ini mohon maaf bila
dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahanan, karena kami hanyalah manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan.
REFERENSI
Khalaf,
Abdul Wahhab,1994, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang : Toha Putra Group
Romli,1997, Ushul Fiqh 1 (Metodologi Penetapan Hukum Islam), Palembang: IAIN
Raden Fatah Press
Karim,
Syafi’i,2006, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia