➤ Baca Juga:
Taqlid |
Secara bahasa kata taqlid ( تقليد ) berarti meniru, contoh dan mengikuti. Adapun secara istilah
seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:[1]
التقليد
هو أخذ قول الغير من غير معرفة د ليله
“Taqlid ialah
berpegang kepada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”
Salam Madkur, menyebutkan bahwa taqlid
secara istilah adalah sebagai berikut:[2]
التقليد
هو العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج الشرعية بلا حجة منه.
“Taqlid ialah
mengamalkan satu pendapat tanpa ada landasan hujjah syariyah.”
Sementara, Imam Al-Gazali
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Salam Madkur menyebutkan bahwa taqlid itu ialah:[3]
قبول
قول بلآ حجة.
“Mengikuti
suatu pendapat tanpa mengetahui hujjahnya.”
Wahbah Zuhaili menyebutkan, bahwa
pada awal abad keempat Hijriyah, keadaan ini terus berlangsung pada abad-abad
berikutnya. Hal ini terlihat, terutama setelah berlalunya imam-imam yang empat
dan melembaga serta mengakarnya mazhab yang empat dalam masyarakat.[4]
Dalam munculnya sikap taqlid dari
para pengkikut mazhab, maka semangat berijtihad dikalangan ulama fiqh semakin
hari semakin menurun dan berukurang, yang pada akhirnya para ulama hanya
mencukupkan daripada pendapat-pendapat.[5]
Dikalangan ulama terjadi perbedaan
pendapat boleh atau tidaknya bertaqlid. Perbedaan ini agaknya dilatarbelakangi
oleh dua hal yaitu; pertama dalam kaitannya dengan pembidangan
ajaran agama dan kedua, dalam kaitannya dengan pengelompokkan
orang yang bertaqlid itu.
Dalam pandangan ulama fiqh, bahwa
hukum syara’ dibagi kepada persoalan yang menyangkut dengan aqidah atau
disebut dengan ushul al-‘ammah (pokok-pokok ajaran keimanan) dan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan furu’iyah yaitu menyangkut
amalan praktis.[6]
a.
Taqlid dalam
persoalan aqidah
Yang
dimaksud dengan masalah aqidah disini ialah sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah
Zuhaili,[7]
yaitu mengetahui Allah SWT. dengan segala syifat-Nya, masalah tauhid dan
masalah kenabian, dan seluruh persoalan hukum yang mesti diketahui oleh semua
orang mukallaf, seperti; masalah ibadah, mu’amalah, hukuman,
rukun Islam yang lima, keharaman riba’, zina, halalnya nikah dan lain-lainnya. Yang
kesemuanya itu ditetapkan dengan dasar yang qath’iy (pasti). Ulama ushul
berbeda pendapat tentang hukum bertaqlid terhadap masalah aqidah. Dalam hubungan
ini, Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh bertaqlid dalam masalah aqidah
dimana seseorang harus berupaya memahaminya dengan menggunakan nalar, bukan
hanya sekedar mengikut pendapat orang lain.[8]
Jumhur ulama berpendapat bahwa mempergunakan nalar itu adalah wajib sedangkan taqlid
tidak mempergunakan nalar sama sekali. Hal ini berarti mengamalkan yang wajib. Oleh
karena itu, taqlid tidak dibolehkan. Lebih tegas lagi, jumhur ulama
ushul dan ulama kalam sepakat dalam hal mewajibkan kepada setiap orang untuk
mengetahui dan mengenal Allah SWT. dengan demikian, tidak dibenarkan bersikap taqlid
dalam persoalan aqidah ini. Adapun yang mendasari pandangan jumhur ushul fiqh
Al-Qur’an surat Alim Imran, ayat 190;
إِنَّ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ (190)
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali-Imran: 190).[9]
Ayat
diatas jelas memerintahkan untuk menggunakan nalar dan akal untuk berfikir,
termasuk persoalan aqidah.
Sementara
pendapat lain mengatakan bahwa boleh bertaqlid dalam persoalan aqidah.
Ubaidillah bin Hasan al-Anbari tokoh dari kalangan Muktazilah, Al-Hasyawiyyah
(kelompok Batiniah yang berpendapat bahwa pada setiap masa terdapat
seorang imam yang maksum (terpelihara dari kesalahan) menegaskan bahwa bertaqlid
dalam hal ini diwajibkan, sebaliknya menggunakan nalar dan ijtihad dalam
urusan aqidah adalah diharamkan.[10] Kelompok
ini juga mengatakan. Apabila menggunakan nalar dalam persoalan aqidah
diwajibkan, maka tentunya para sahabat akan melakukannya dan memerintahkan
orang lain untuk melakukannya. Akan tetapi, para sahabat tidak melakukannya,
karena tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan mereka melakukan hal tersebut.[11]
b.
Taqlid dalam masalah
furu’iyah
Masalah
furu’iyah ialah persoalan-persoalan hukum yang berhubungan dengan amalan
praktis yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang zhanniyat (dalil-dalil
yang tidak tegas yang mengandung berbagai kemungkinan pendapat). Dalam hal ini
ulama berbeda pendapat; Pertama, yaitu golongan mazhab zahiri,
sebagaian mutakzilah di Bagdad, dan sekelompok syi’ah Imamiah mengatakan bahwa
tidak dibenarkan bertaqlid dalam urusan furu’iyah. Sekarang harus
melakukan ijtihad dan beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya itu. Bahkan Ibnu
Hazm, salah seorang ulama ushul fiqh dari kalangan mazhab zahiri mengatakan
bahwa haram dan tidak halal lagi seseorang mengikuti (bertaqlid) pendapat orang
lain, selain yang datang dari Rasulullah Saw. kelompok ini beralasan kepada
surat Al-A’raf ayat 3;
ٱتَّبِعُواْ
مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ
أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raf: 3).[12]
Berdasarkan
ayat diatas, maka kelompok ini menyatakan tidak boleh bertaqlid kepada selain
dari dari apa yang dibawa Rasul selanjunya pendapat. Pendapat Kedua,
menyatakan bahwa bertaqlid itu wajib hukumnya dalam masalah-masalah furu’iyah.
Sebagaimana halnya pendapat mereka wajibnya bertaqlid dalam persoalan aqidah. Pendapat
ini dikemukakan oleh Nasyawiyah dan at-Ta’limiyah. Kemudian kelompok
Ketiga, dari kalangan jumhur ulama ushul fiqh yang terdiri dari
mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafe’I dan mazhab Hanbali mengatakan
bahwa berijtihad dalam masalah furu’ tidak dilarang dan para mujtahid
diharamkan (dilarang) bertaqlid.[13]
Adapun orang awam yaitu orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mujtahid
sekalipun ia berilmu, “boleh” bertaqlid. Kelompok jumhur ini
mengemukakan beberapa alasan. Diantara alasan tersebut ialah;
(1)
Berdasarkan
surat An-Nahl ayat 43:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن
قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ
إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ (43)
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).[14]
Kemudian
alasan
(2)
Ialah
menurut kelompok ini para sahabat telah mengeluarkan fatwa bagi orang awam yang
bertanya kepada mereka dalam berbagai persoalan dan tidak seorangpun diantara
mereka yang mengingkari hal ini. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama ushul
ini, orang-orang yang mampu berijtihad haram baginya bertaqlid dan sedangkan
orang-orang awam dibolehkan bertaqlid. Disamping itu jumhur ulama ushul membagi
taqlid itu kepada dua macam.
Pembagian taqlid menurut Jumhur Ulama ushul
Yaitu
(1) taqlid al-Mahmud dan (2) taqlid al-Mazmum,[15]
yang dimaksud taqlid al-Mahmud atau mahmudah ialah
taqlid yang dilakukan oleh seorang awam yang tidak memiliki kualifikasi sebagai
mujtahid. Orang-orang seperti ini hanya bisa mengikuti pendapat atau pandangan
para imam mujtahid dengan mengetahui dalilnya. Bagi orang awam akan lebih baik
bertaqlid kepada pendapat-pendapat imam mazhab yang mereka yakini. Sebab, jika
tidak bertaqlid justru akan salah. Adapun taqlid al-Mazmum atau Mazmumah
adalah taqlid yang tercela atau dilarang. Menurut jumhur ulama ushul ada
tiga bentuk taqlid yang dilarang; yaitu (a) bertaqlid kepada orang tua atau
pemimpin tanpa mengkaji (mengetahui) sama sekali pendapat tersebut; (b)
bertaqlid yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, sementara dia
sebenarnya mampu berijtihad sendiri dan pendapatnya bisa diikuti oleh orang
awam; dam (c) bertaqlid kepada suatu pendapat setelah diketahui adanya dalil
yang bertentangan dengan pendapat yang diikuti itu. Dalam hubungan inilah
jumhur ulama ushul dari kalangan mazhab menegaskan bahwa tiga macam taqlid
tercela diatas haram diikuti. Tokoh-tokoh mazhab seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal
dan Imam AbuYusuf menghimbau dan menyatakan, “agar pendapat mereka jangan
diikuti secara membabi buta. Imam Syafe’I mengatakan” orang yang bertaqlid
kepada orang lain tanpa mengetahui dalilnya adalah ibarat pencari kayu bakar
dimalam yang mengambil seluruhnya yang dianggapnya sebagai kayu bakar, sehingga
tidak tahu bahwa ular telah melilit pada ikatan kayu bakar. Begitu juga Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan “jangan kamu bertaqlid pada saya, pada Imam Mail,
Sufyan As-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’I, ambilah pendapat mereka sesuai
tempat mereka mengambilnya.[16]
Bahkan Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa tidak halal bagi seseorang mengambil
pendapat kami sampai dia mengetahui darimana kami mengambil pendapat itu.[17] Menurut
jumhur ulama ushul, orang seperti ini boleh bertaqlid dalam masalah furu’ yang
ditetapkan berdasarkan dalil yang zhanny. Bagi orang yang mampu memahami
dalil yang digunakan mujtahid maka harus ittiba’.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya sikap taqlid tersebut. Berdasarkan catatan Sya’ban
Muhammad Ismail,[18]
bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya sikap taqlid itu
adalah sebagai berikut:
1. Kuatnya
ajakan untuk mengikuti mazhab oleh murid-murid para imam yang menganud dan
mengaitkan kepada imam-imam yang menjadi tokoh mazhab. Disamping itu, adanaya
keberpihakkan penguasa kepada salah satu mazhab-mazhab dalam hal yang berkaitan
dengan urusan agama.
2. Melemahnya
kemampuan hakim (qadli) dalam istinbat hukum. Hal ini terlihat terutama
pada abad kelima Hijriah. Jika sebelumnya, hakim-hakim itu dipilih dari para
ulama yang memiliki kemampuan untuk melakukan istinbat hukum dari al-Qur’an
dan Sunnah. Mereka dikenal sebagai orang taqwa, zuhud, dan wara’.
Mereka mampu melakukan ijtihad dalam rangka menetapkan hukum dari Al-Qur’an
dan Sunnah. Kadang-kadang mereka bertanya kepada para Mufti apabila mereka
tidak menemukan jawaban atas sesuatu kasus hukum. Karena lemahnya kemampuan
hakim dalam menetapkan hukum, sehingga mereka hanya mempedomani pendapat mazhab
saja. Disamping itu pada masa ini mazhab-mazhab fiqh juga telah tersebar dari
berbagai wilayah Islam, yang juga menjadi anutan masyarakat.
3.
Semakin
melembaga dan mengakarnya ajaran mazhab didalam masyarakat, sehingga ia ma
menjaga anutan yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat.
4. Timbulnya
rasa iri atau dengki antar tokoh dan pengikut mazhab yang tidak jarang berujung
pada konflik.
5.
Munculnya
fuqoha yang berpikiran picik dan seringnya terjadi konflik (jidal) antara sesama
mereka.
6.
Rusaksanya
sistem pendidikan dan sibuknya ulama pada urusan-urusan yang tidak produktif.
7.
Banyaknya
karta-karya yang sesungguhnya tidak mendukung untuk kemajuan.
8.
Munculnya
sikap matrealitis dikalangan masyarakat dan senang mengumpulkan harta serta
hilangnya semangat untuk mengembangkan ilmu.
➤ Baca Juga:
> TAQLID > ITTIBA' > TALFIQ > IFTA'
➤ Baca Juga:
> TAQLID > ITTIBA' > TALFIQ > IFTA'
[1]
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam Jilid II, 1986 (Damaskus: Dar
al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-Nasyar) hlm. 1120
[2]
Muhammad Salam Madkur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyir al-Islami, 1984 (Kairo:
Dar al-Nahdah al-Arabiyah) hlm. 170-171
[3] Ibid.
[4]
Wahbah Zuhaili, loc.cit.
[5]
Ichtiar Baru Van Hoeve; 200, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve) hlm. 1761
[6] Romli
SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008
(Palembang: Tunas Gemilang Press)
[7] Wahbah
Zuhaili, loc.cit.
[8] Ibid.,
hlm. 1161
[9]
Qur’an, 3: 190
[10] Ibid.,
hlm 1762
[11] Ibid.
[12]
Qur’an, 7: 3
[13] Wahbah
Zuhaili, loc.cit.
[14]
Qur’an, 16: 43
[15] Wahbah
Zuhaili, op.cit. hlm. 1763
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18]
Sya’ban Muhammad Ismail, Al-Tasyri’ al-Islami (Maskadiruh wa atwaroh), 1985
(Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah) hlm. 374-476
Images: http://www.14publications.com/