Wednesday 17 August 2016

Kesamaan Konsep Antara Islam, Pancasila, Demokrasi dan HAM

Kesamaan Konsep Antara Islam, Pancasila, Demokrasi dan HAM

Image result for islam

1.    Konsep Islam
Allah Swt, berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat: 56).
Dari firman Allah ini telah jelas dan tegas bahwa fungsi dan kedudukan manusia dijadikan oleh Allah dimuka bumi, baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan umat, adalah semata-mata untuk beribadah dan tunduk kepada Allah. Tak ada fungsi atau kedudukan lain untuk saling menundukkan dan menguasai diantara makhluk hidup. Maka, seandainya, dalam hidup, manusia harus berfikir, bekerja atau melakukan perbuatan apa pun juga, maka seluruh yang dikerjakannya itu harus menjadi bagian yang wajib disubordinasikan pada fungsi serta tugas pokok dan utama satu-satunya, yaitu beribadah, serta tunduk dan taat kepada-Nya semata-mata. Dengan konsep dasar demikian, Islam telah menundukkan tiap-tiap diri manusia dalam kedudukan yang sama.
Tidak ada seseorang yang lebih tinggi atau lebih kuat daripada yang lain, dan tak ada pula yang rendah atau yang lemah daripada yang lain. Islam hanya mengenal kriteria bahwa satu-satunya hal yang akhirnya dapat membedakan derajat dan nilai seseorang dari yang lain, hanyalah takwanya kepada Allah. Agar manusia dapat menjalankan fungsi yang telah ditetapkan-Nya itu, maka Allah telah menurunkan dan memberikan tuntunan-Nya, yang berisikan perintah, larangan, dan pedoman. Wahyu yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi dan rasul-Nya. Untuk dapat memahami tuntutan-Nya itu, Allah memberikan kepada manusia, akal dan budi. Akal digunakan untuk digunakan berfikir, sedangkan budi untuk memproses sampai manusia mendapat keyakinan atas hasil pikirannya. Dengan akal dan budi inilah manusia dapat membaca, mencermati dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Maha Pencipta dan Pengatur alam semesta dan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kesatuan umat. Dengan akal dan budi ini pula manusia dapat membaca dan memahami apa-apa yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Allah, disamping untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, adil dan zalim, dan kedudukan demikian ini, merupakan prinsip dasar diajarkan oleh Islam. Akal dan budi harus digunakan semata-mata untuk mewujudkan terlaksanannya pengabdian manusia. Konsep dasar ini merupakan suprarasionalitas yang harus mengatasi rasionalitas semu yang tidak terkendali, yang sewaktu-waktu dapat muncul dalam alam pikiran manusia, karena didorong oleh nafsu hewani. Penggunaan akal dan budi diluar jalur ini, yang semata-mata menuruti kehendak manusia sendiri tanoa menghiraukan kesubordinasiannya dengan suprarasionalitas tadi, pada hakikatnya sangat tidak rasional. Karena, rasionalitas demikian akan terbentur pada keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri.
Allah telah menciptakan manusia, sekaligus dengan kedudukan, dungsi dan tugasnya. Alat untuk mennangkap dan memahaminya pun, yaitu akal dan budi telah diberikan. persoalan tinggal manusia apakah manusia mau memfungsikan kesemuannya itu menjadi satu rangkaian yang utuh, ataukah ia hanya akan menuruti kemauannya sendiri di dalam menempuh perjalanan hidupnya di muka bumi ini. Disinilah Allah memberikan kebebasan kepada manusia. Manusia dipersilahkan memilih, mau mengikuti akalnya yang terbatas semata-mata dengan mengabaikan petunjuk-petunjukn-Nya, atau mau menggunakan akal dan budinya untuk berupaya sekuat tenaga mengikuti ketetapan-ketetapan dan aturan-aturan-Nya. Seandainya pun manusia bisa memiliki sesuatu, maka “satu-satunya milik” itu adalah kebebasan untuk memilih yang diberikan Allah SWT. tersebut.
2.    Konsep Pancasila
Sesuai dengan namanya, Pancasila terdiri dari lima sila atau dasar, yaitu:
a)    Ketuhanan Yang Maha Esa.
b)   Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c)    Persatuan Indonesia.
d)   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
e)    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Implikasi munculnya Pancasila di Indonesia secara hukum, dengan setiap bentuk perundang-undangannya diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara. Akan tetapi, jika diperhatikan secara seksama sila pertamanya, dapat diidentikkan dengan anjuran tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Segi lain yang perlu dicatat dalam hubungan dengan sila pertama ini ialah bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Prinsip yang terkandung dalam sila pertama itu ialah adanya suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan.
3.     Konsep Demokrasi.
Sidney Hook dalam Encyclopedia Americana, mendefinisikan: Demokrasi adalah bentuk pemerintahan diamana keputusan-keputusan pemerintah yang penting, atau arah kebijakan dibalik keputusan ini, secara langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada kesempatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Definisi tersebut mengimplikasikan bahwa demokrasi mengandung unsur-unsur: Kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan kontemporernya, demokrasi didefinisikan lebih pragmatis ketimbang filosofis. Pada zaman pencerahan, demokrasi pada mulanya, didefinisikan dalam pengertian yang lebih filosofis, yaitu dengan ide kedaulatan rakyat sebagai lawan kedaulatan tuhan (teokrasi), dan sebagai lawan keadulatan monarki. Disamping definisi tersebut, ada juga konsep demokrasi yang diajukan oleh negara-negara komunis dan negara-negara dunia ketiga, termasuk negara-negara muslim. Konsep-konsep ini dimaksudkan selain untuk membenarkan kebijakan pemerintah, juga untuk menyesuaikan konsep demokrasi dengan nilai-nilai pribumi dan budaya bangsa tertentu. Meskipun demikian, ada kriteria tertentu tentang demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem demokratis.
Robert A. Dahl menunjukan tujuh kriteria yang harus dilakukan dalam sitem yang demokratis:
a)    Kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan pada para penjabat yang dipilih.
b)   Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur dimana paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.
c)    Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat.
d)   Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dipemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketimbang hak pilihnya.
e)    Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat mengenai berbagai persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk mengkritik para pejabat, pemerintahan, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideology yang berlaku.
f)    Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. Lebih dari itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum.
g)   Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan diatas, rakyat juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang relative independen, termasuk berbagai partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.
4.    Konsep HAM.
Dari sejarah  atau proses lahirnya HAM seperti diuraikan diatas, tampak dengan jelas bahwa paham tentang adanya HAM semata-mata lahir dari pemikiran atau angan-angan manusia, dengan sama sekali mengabaikan sifat fitrah yang senantiasa ada dan melekat pada diri dan jiwa setiap individu, yakni keimanan kepada pencipta, berikut hukum-hukum-Nya (sunatullah). HAM berpangkal pada paham bahwa tiap diri manusialah yang menentukan segalanya. Satu-satunya hal yang dapat membatasinya hanyalah kepentingan manusia itu sendiri secara keseluruhan (masyarakat atau orang lain). Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi nilainya dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi, yang paling dihormati. Prinsip paham inilah yang kemudian melahirkan paham indvidualisme (paham yang sangat mendewa-dewakan individu) yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi, telah melahirkan paham liberalism dan kapitalism. Setiap anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan sebebas-bebasnya (free fight com petition), siapa yang kuat dialah yang akan menang.
Pada awal perkembangan paham ini, tugas negara hanyalah sebagai “polisi lalu lintas yang mengatur jalan”, yang hanya bertugas mengatur lalu lintas agar lancar dan tidak saling bertabrakan. Setelah dilaksanakan dalam praktik, ternyata implementasi paham tersebut telah menimbulkan berbagai masalah. Yang terjadi justru adalah timbulnya kesenjangan-kesenjangan, bahkan tidak jarang benturan-benturan antara yang lemah dan yang kuat, atau yang miskin dan yang kaya, baik antar individu maupun antara kelompok masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Kesalahan mendasar dari ajaran atau paham tersebut adalah, bahwa paham individualism telah mengabaikan kedudukan Sang Maha Pencipta dalam menentukan kehendaknya, Siapa yang menentukan seseorang individu dilahirkan, sama sekali diluar pemikiran dan bahasan. Karena, sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tidak pernah dapat dibuktikan tentang telah terjadinya “kesepakatan sosial” seperti yang diteorikan oleh Juan-Jacques Rousseau.
Sebagai pembatasan atau sebenarnya lebih tepat sebagai koreksi atau paham tersebut negara-negara penganut penganut paham individualisme telah mengubah pemikirannya tentang fungsi negara, dari fungsinya sebagai “polisi lalu lintas” menjadi penyelenggara kemakmuran masyarakat “ (wel fare state). Sebenarnya, dengan adanya perubahan tersebut, ajaran tentang HAM sedikit banya telah menjadi kabur, karena hak-hak asasi individu sejak saat keberangkatannya sudah harus berhadapan dengan kepentingan umum masyarakat, yang penegakannya diwakili oleh negara. Permasalahan belum berakhir, bila paham tentang HAM tersebut dijadikan dasar seluruh tatanan kehidupan umat manusia. Bila tiap-tiap pihak menjadikan hak sebagai dasar “perjuangannya” yang merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi oleh pihak lainnya (baik individu atau masyarakat).
Oleh karena itu, disamping dari berbagai pendapat aspek yang lain yang memandang berbeda tentang HAM, tetapi dengan HAM juga apabila dijalankan oleh pemerintah dan rakyat dengan benar-benar murni untuk menjunjung tinggi rasa saling menghargai atau menghormati dan toleransi serta persaudaraan antar umat manusia tanpa memandang ras, suku, bangsa dan agama maka dengan HAM maka terciptanya tujuan bersama yaitu untuk menciptakan kedamaian, keamanan dan kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai dengan konsep Islam yaitu bahwa Islam itu rahmat seluruh alam, dan sangat menjunjung tinggi kedamaian persaudaraan dan toleransi.

Source:
-   Martini Eka, Fiqh Siyasah, (Palembang: Noer Fikri Offset, 2014)
-   Dan berbagai Sumber
-   www.iswahyudi-wahyu.top
-   images: https://www.theodysseyonline.com
loading...