Kesamaan
Konsep Antara Islam, Pancasila, Demokrasi dan HAM
1.
Konsep Islam
Allah Swt, berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat: 56).
Dari firman Allah ini telah jelas
dan tegas bahwa fungsi dan kedudukan manusia dijadikan oleh Allah dimuka bumi,
baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan umat, adalah semata-mata
untuk beribadah dan tunduk kepada Allah. Tak ada fungsi atau kedudukan lain
untuk saling menundukkan dan menguasai diantara makhluk hidup. Maka,
seandainya, dalam hidup, manusia harus berfikir, bekerja atau melakukan perbuatan
apa pun juga, maka seluruh yang dikerjakannya itu harus menjadi bagian yang
wajib disubordinasikan pada fungsi serta tugas pokok dan utama satu-satunya,
yaitu beribadah, serta tunduk dan taat kepada-Nya semata-mata. Dengan konsep
dasar demikian, Islam telah menundukkan tiap-tiap diri manusia dalam kedudukan
yang sama.
Tidak ada seseorang yang lebih
tinggi atau lebih kuat daripada yang lain, dan tak ada pula yang rendah atau
yang lemah daripada yang lain. Islam hanya mengenal kriteria bahwa satu-satunya
hal yang akhirnya dapat membedakan derajat dan nilai seseorang dari yang lain,
hanyalah takwanya kepada Allah. Agar manusia dapat menjalankan fungsi yang
telah ditetapkan-Nya itu, maka Allah telah menurunkan dan memberikan
tuntunan-Nya, yang berisikan perintah, larangan, dan pedoman. Wahyu yang
disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi dan rasul-Nya. Untuk dapat
memahami tuntutan-Nya itu, Allah memberikan kepada manusia, akal dan budi. Akal
digunakan untuk digunakan berfikir, sedangkan budi untuk memproses sampai
manusia mendapat keyakinan atas hasil pikirannya. Dengan akal dan budi inilah
manusia dapat membaca, mencermati dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah
sebagai Sang Maha Pencipta dan Pengatur alam semesta dan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai kesatuan umat. Dengan akal dan budi ini pula manusia
dapat membaca dan memahami apa-apa yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan
oleh Allah, disamping untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, adil
dan zalim, dan kedudukan demikian ini, merupakan prinsip dasar diajarkan oleh
Islam. Akal dan budi harus digunakan semata-mata untuk mewujudkan
terlaksanannya pengabdian manusia. Konsep dasar ini merupakan suprarasionalitas
yang harus mengatasi rasionalitas semu yang tidak terkendali, yang
sewaktu-waktu dapat muncul dalam alam pikiran manusia, karena didorong oleh
nafsu hewani. Penggunaan akal dan budi diluar jalur ini, yang semata-mata
menuruti kehendak manusia sendiri tanoa menghiraukan kesubordinasiannya dengan
suprarasionalitas tadi, pada hakikatnya sangat tidak rasional. Karena,
rasionalitas demikian akan terbentur pada keterbatasan-keterbatasan kemampuan
manusia itu sendiri.
Allah telah menciptakan manusia,
sekaligus dengan kedudukan, dungsi dan tugasnya. Alat untuk mennangkap dan
memahaminya pun, yaitu akal dan budi telah diberikan. persoalan tinggal manusia
apakah manusia mau memfungsikan kesemuannya itu menjadi satu rangkaian yang
utuh, ataukah ia hanya akan menuruti kemauannya sendiri di dalam menempuh
perjalanan hidupnya di muka bumi ini. Disinilah Allah memberikan kebebasan
kepada manusia. Manusia dipersilahkan memilih, mau mengikuti akalnya yang
terbatas semata-mata dengan mengabaikan petunjuk-petunjukn-Nya, atau mau
menggunakan akal dan budinya untuk berupaya sekuat tenaga mengikuti
ketetapan-ketetapan dan aturan-aturan-Nya. Seandainya pun manusia bisa memiliki
sesuatu, maka “satu-satunya milik” itu adalah kebebasan untuk memilih yang
diberikan Allah SWT. tersebut.
2.
Konsep Pancasila
Sesuai dengan namanya, Pancasila terdiri dari lima sila atau dasar,
yaitu:
a)
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b)
Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
c)
Persatuan
Indonesia.
d)
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
e)
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Implikasi munculnya Pancasila di Indonesia secara hukum, dengan setiap
bentuk perundang-undangannya diharuskan lebih inklusif dan harus
mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada
gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara. Akan
tetapi, jika diperhatikan secara seksama sila pertamanya, dapat diidentikkan
dengan anjuran tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa
dalam ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agama
mereka masing-masing. Segi lain yang perlu dicatat dalam hubungan dengan sila
pertama ini ialah bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan
bukan pula negara agama. Prinsip yang terkandung dalam sila pertama itu ialah
adanya suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan.
3.
Konsep Demokrasi.
Sidney Hook dalam Encyclopedia Americana, mendefinisikan: Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan diamana keputusan-keputusan pemerintah yang penting,
atau arah kebijakan dibalik keputusan ini, secara langsung maupun tidak
langsung, didasarkan pada kesempatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa. Definisi tersebut mengimplikasikan bahwa demokrasi mengandung
unsur-unsur: Kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas, dan
bertanggung jawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan kontemporernya,
demokrasi didefinisikan lebih pragmatis ketimbang filosofis. Pada zaman
pencerahan, demokrasi pada mulanya, didefinisikan dalam pengertian yang lebih
filosofis, yaitu dengan ide kedaulatan rakyat sebagai lawan kedaulatan tuhan
(teokrasi), dan sebagai lawan keadulatan monarki. Disamping definisi tersebut,
ada juga konsep demokrasi yang diajukan oleh negara-negara komunis dan
negara-negara dunia ketiga, termasuk negara-negara muslim. Konsep-konsep ini
dimaksudkan selain untuk membenarkan kebijakan pemerintah, juga untuk
menyesuaikan konsep demokrasi dengan nilai-nilai pribumi dan budaya bangsa
tertentu. Meskipun demikian, ada kriteria tertentu tentang demokrasi yang harus
dipenuhi oleh sebuah sistem demokratis.
Robert A. Dahl menunjukan tujuh kriteria yang harus dilakukan dalam
sitem yang demokratis:
a)
Kontrol
atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan
pada para penjabat yang dipilih.
b)
Para
pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur dimana paksaan dianggap
sebagai sesuatu yang tidak umum.
c)
Secara
praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat.
d)
Secara
praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada
jabatan-jabatan dipemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan
mungkin lebih ketimbang hak pilihnya.
e)
Rakyat
mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat
mengenai berbagai persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk
mengkritik para pejabat, pemerintahan, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideology
yang berlaku.
f)
Rakyat
mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. Lebih dari
itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum.
g)
Untuk
meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan diatas, rakyat
juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi
yang relative independen, termasuk berbagai partai politik dan kelompok
kepentingan yang independen.
4.
Konsep HAM.
Dari sejarah atau proses
lahirnya HAM seperti diuraikan diatas, tampak dengan jelas bahwa paham tentang
adanya HAM semata-mata lahir dari pemikiran atau angan-angan manusia, dengan
sama sekali mengabaikan sifat fitrah yang senantiasa ada dan melekat pada diri
dan jiwa setiap individu, yakni keimanan kepada pencipta, berikut
hukum-hukum-Nya (sunatullah). HAM berpangkal pada paham bahwa tiap diri
manusialah yang menentukan segalanya. Satu-satunya hal yang dapat membatasinya
hanyalah kepentingan manusia itu sendiri secara keseluruhan (masyarakat atau
orang lain). Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi
nilainya dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi, yang paling dihormati. Prinsip
paham inilah yang kemudian melahirkan paham indvidualisme (paham yang
sangat mendewa-dewakan individu) yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang
kehidupan politik dan ekonomi, telah melahirkan paham liberalism dan kapitalism.
Setiap anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan
sebebas-bebasnya (free fight com petition), siapa yang kuat dialah yang
akan menang.
Pada awal perkembangan paham ini, tugas negara hanyalah sebagai “polisi
lalu lintas yang mengatur jalan”, yang hanya bertugas mengatur lalu lintas agar
lancar dan tidak saling bertabrakan. Setelah dilaksanakan dalam praktik,
ternyata implementasi paham tersebut telah menimbulkan berbagai masalah. Yang terjadi
justru adalah timbulnya kesenjangan-kesenjangan, bahkan tidak jarang
benturan-benturan antara yang lemah dan yang kuat, atau yang miskin dan yang
kaya, baik antar individu maupun antara kelompok masyarakat yang satu dan
masyarakat yang lain. Kesalahan mendasar dari ajaran atau paham tersebut
adalah, bahwa paham individualism telah mengabaikan kedudukan Sang Maha
Pencipta dalam menentukan kehendaknya, Siapa yang menentukan seseorang individu
dilahirkan, sama sekali diluar pemikiran dan bahasan. Karena, sepanjang sejarah
kehidupan umat manusia, tidak pernah dapat dibuktikan tentang telah terjadinya “kesepakatan
sosial” seperti yang diteorikan oleh Juan-Jacques Rousseau.
Sebagai pembatasan atau sebenarnya lebih tepat sebagai koreksi atau
paham tersebut negara-negara penganut penganut paham individualisme
telah mengubah pemikirannya tentang fungsi negara, dari fungsinya sebagai “polisi
lalu lintas” menjadi penyelenggara kemakmuran masyarakat “ (wel fare state).
Sebenarnya, dengan adanya perubahan tersebut, ajaran tentang HAM sedikit banya
telah menjadi kabur, karena hak-hak asasi individu sejak saat keberangkatannya
sudah harus berhadapan dengan kepentingan umum masyarakat, yang penegakannya diwakili
oleh negara. Permasalahan belum berakhir, bila paham tentang HAM tersebut
dijadikan dasar seluruh tatanan kehidupan umat manusia. Bila tiap-tiap pihak
menjadikan hak sebagai dasar “perjuangannya” yang merupakan tuntutan yang wajib
dipenuhi oleh pihak lainnya (baik individu atau masyarakat).
Oleh karena itu, disamping dari berbagai pendapat aspek yang lain
yang memandang berbeda tentang HAM, tetapi dengan HAM juga apabila dijalankan oleh pemerintah
dan rakyat dengan benar-benar murni untuk menjunjung tinggi rasa saling
menghargai atau menghormati dan toleransi serta persaudaraan antar umat manusia
tanpa memandang ras, suku, bangsa dan agama maka dengan HAM maka terciptanya
tujuan bersama yaitu untuk menciptakan kedamaian, keamanan dan kesejahteraan
bersama. Hal ini sesuai dengan konsep Islam yaitu bahwa Islam itu rahmat
seluruh alam, dan sangat menjunjung tinggi kedamaian persaudaraan dan
toleransi.
Source:
-
Martini Eka, Fiqh
Siyasah, (Palembang: Noer Fikri Offset, 2014)
-
Dan berbagai
Sumber
-
www.iswahyudi-wahyu.top
- images: https://www.theodysseyonline.com
- images: https://www.theodysseyonline.com