Saturday, 31 December 2016

Apakah pajak diwajibkan disamping zakat?


Image result for pajak dan zakat
 Zakat & Pajak
source: http://www.halhalal.com
Pertanyaan
Apakah pajak diwajibkan disamping zakat?
Jawaban
Ya, pajak disampingkan disamping zakat. Hal ini berkaitan dengan beberapa hal berikut.
a.       Karena jaminan solidaritas sosial merupakan satu kewajiban.
Apakah dalam harta dan kewajibannya selain zakat. Yang menjadi perhatian khusus disini adalah adanya jaminan solidaritas sosial dan merupakan kewajiban bagi warga Negara untuk membayar pajak. Bahkan, jika harus mengeluarkan seluruh harta untuk kemaslahatan umatpun, umat Islam akan rela mengeluarkannya dengan ikhlas.
Teori solidaritas dan persaudaraan sebagai asas teori kewajiban zakat. Kedua teori itu juga merupakan segala kewajiban atas harta sesudah zakat.
b.      Sasaran zakat terbatas, sedangkan pembiayaan Negara tidak (banyak).
Telah kita ketahui bahwa zakat adalah pajak dengan harta khusus dan tujuan tertentu, baik tujuan sosial, akhlak, agama, maupun politik. Tujuan pajak bukanlah semata-mata tujuan keuangan, yakni semata-mata mengumpulkan uang untuk membiayai segala keperluan Negara, kecuali terhadap orang yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup segala urusan dan kepentingan. Pendapat tersebut tidak sejalan dengan apa yang disyaratkan oleh ayat atau hadits, dan menyalahi pendapat jumhur. Oleh karena itu, sasaran zakat terbatas pada delapan asnaf yang telah ditentukan Al-Qur’an dan menghimpun dua golongan telah ditentukan dari kalangan kaum muslimin, seperti fakir miskin, hamba sahaya, orang yang berhutang, dan orang yang dalam perjalanan. Golongan kedua adalah mereka yang dibutuhkan oleh kaum muslimin, seperti para pejuang dijalan Allah, para muallaf, dan aamilin, serta orang yang berhutang untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, zakat adalah Baitul Mal yang bersifat khusus, yaitu anggaran yang berdiri sendiri. Para ahli fiqh tidak membolehkan mencampuradukan antara harta zakat dan kekayaan dari sumber lain. Zakat harus digunakan pada sasaran yang telah ditentukan oleh syariat dan menempati fungsinya yang utama dalam menegaskan solidaritas sosial. Oleh karena itu, Abu Yusuf berkata “Tidaklah layak kiranya harta kharaj (harta yang tidak dizakati) digabungkan dengan harta zakat karena harta kharaj adalah harta oeruntukan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an.
Atas dasar itu pula mereka mengatakan bahwa zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan,  membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan, dan bendungan. Akan tetapi, semua itu diperlukan oleh Negara Islam dan Negara manapun. Lalu, dari manakah biaya untuk itu semua zakat tidak bisa digunakan untuk memenuhi kepentingan tersebut diatas?
Jawabannya, untuk keperluan-keperluan ini dibiayai dari 1/5 hasil ghanimah (rampasan perang) yang diperoleh kaum muslimin dari musuh-musuh yang kalah dalam perang atau yang diperoleh dari harta kaum musyrikin tanpa perang.
Dua sumber pendapat ini sejak masa-masa penaklukan Islam pertama dapat mencukupi kas Negara sehingga tidak mewajibkan kewajiban-kewajiban lain diluar zakat. Kewajiban Negara pada waktu itu masih terbatas, tetapi pada zaman sekarang kedua sumber pendapatan ini telah tiada lagi.
Untuk dapat membiayai keperluan-keperluan umum itu tidak ada jalan lain, kecuali mewajibkan pajak atau tugas-tugas yang ditentukan bagi mereka yang mempunyai uang untuk sekedar memenuhi keperluan-keperluan yang wajib dibiayai sesuai dengan kaidah. Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa sesuatu yang menjadi syarat bagi wajib adalah wajib.
Kita lihat para ahli fiqh golongan Syafi’I menetapkan bahwa tentara regular yang digaji dari kas umum Negara tidak boleh dibiyai dari harta zakat. Adapun saham sabilillah ialah bagi para pejuang sukarela. Akan tetapi, mereka juga membahas apabila dalam kas Negara tidak ada uang untuk membiayai tentara regular, sedangkan kaum muslimin membutuhkan mereka untuk memerangi orang kafir, dari manakah biaya untuk memenuhi kebutuhan mereka itu?
Dalam hal ini, Imam Nawawi dan imam-imam lain dari golongan mazhab Syafi’I menarjihkan bahwa membantu mereka merupakan kewajiban bagi orang-orang kaya dikalangan kaum muslimin dan harta diluar zakat.
c.       Kaidah-kaidah umum hukum syara’
Kaidah-kaidah itu menjadi landasan pokok untuk melaksanakan syariat, hukum-hukumnya didasarkan atas kaidah-kaidah tersebut yang dijadikan oleh para ulama sebagai pegangan untuk membuat undang-undang, member fatwa, atau memutuskan perkara. Dari kaidah itu timbulah istilah memelihara kepentingan umum, menolak bahaya didahulukan atas besar manfaatnya dari dua hal yang sama-sama bermanfaat, dan memilih sesuatu yang bahayanya lebih kecil dari dua keadaan yang sama-sama berbahaya.
Tidak diragukan lagi bahwa mencari hukum melalui kaidah-kaidah syariat ini tidak hanya berfikir pada membolehkan pajak semata-mata, tetapi untuk menetapkan kewajiban serta memungutnya demi merealisasi kepentingan umat dan Negara serta menolak segala yang membahayakannya. Jika sumber-sumber lain yang ada padanya tidak mencukupi dan Negara Islam modern dibiarkan tanpa pajak untuk membiayainyam dapat dipastikan bahwa dalam waktu singkat akan hilang kemampuannya dan lambat laun akan menjadi lemah, terlebih lagi jika timbul ancaman militer terhadapnya. Oleh karena itu, para ulama Islam dalam berbagai masa mengharuskan mengisi kas Negara dengan hasil pajak yang ditetapkan kewajibannya oleh kepala Negara Islam. Hal ini sebagai upaya untuk menghadapi berbagai bahaya yang mengancam atau untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Imam Ghazali yang bermazhab Syafi’I, termasuk ulama yang sedikit menggunakan kaidah mashalihul mursalah (atas dasar kepentingan), mengatakan jika kas Negara itu kosong dan tidak ada dana yang mencukupi untuk pengeluaran biaya militer, sedangkan ditakutkan masuknya musuh kedalam Negara Islam atau tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat, kepala Negara dibolehkan  memungut biaya dari orang kaya sekedar untuk mencukupi pembiayaan tentara. Kita mengetahui apabila timbul dua bahaya, hukum syara’ mengharuskan untuk menolak bahaya yang lebih besar dengan beban yang diberikan pada orang kaya daripada bahaya mengancam jiwa dan hartanya jika negeri itu tidak ada kepala Negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan Negara dan menolak segala bahaya.
Imam Syatibi, pengikut mazhab Maliki, berkata, “Apabila kepala Negara perlu melindungi tentara untuk menutupi kebutuhan pertahanan dan melindungi Negara yang daerahnya luas, sedangkan kas Negara kosong, padahal dibutuhkan biaya besar untuk pembiayaanya, kepala Negara (imam) hendaklah adil dan membebankan kepada mereka yang kaya untuk sekedar dapat mencukupi kebutuhan sampai kas Negara berisi kembali. Kemudian kepala Negara hendaklah membebankan biaya itu selanjutnya kepada hasil kekayaan Negara dan lain-lain.”
Pendapat seperti itu memang tidak kita temukan pada masa-masa permulaan Islam karena pada waktu itu keuangan Negara cukup besar. Berbeda dengan zaman kita sekarang, jika kepala Negara tidak melakukan hal seperti itu, akan hilanglah kekuasaanya dan Negara kita akan dihadapkan pada bahaya penguasaan orang  kafir, padahal segalanya terletak pada kekuatan kepala Negara. Dengan demikian, bagi mereka yang menghindar dari pajak yang dikenakan atas mereka, seandainya kekuatan itu lenyap dari Negara, bahaya itu akan mengancam harta mereka seluruhnya. Apabila bahaya yang besar (kehilangan seluruh harta) dibandingkan dengan bahaya yang kecil, yaitu kehilangan sebagian hartanya, sudah tentu akan memilih yang kedua daripada yang pertama.
Jadi, pendapat Ghazali dan Syatibi yang membolehkan untuk mewajibkan pajak atau memberikannya kepada mereka yang ada dalam situasi yang mereka sebutkan didasarkan pada kaidah “kewajiban memikul bahaya yang kecil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar”.
d.      Jihad dengan harta dan tuntutannya atas biaya yang besar.
Islam telah mewajibkan kaum muslim untuk berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah:
ٱنفِرُواْ خِفَافٗا وَثِقَالٗا وَجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  (41) .
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. At-Taubah: 41).

Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ (195) .
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195).

Tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta yang diperintahkan itu adalah kewajiban lain diluar zakat. Dianatara hak pemerintah kaum muslimin ialah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta.
Dalam buku Ghayatul Umam, Ibnu Taimiyah menyatakan, “persenjataan dan pembiayaan tentara dizaman kita sekarang membutuhkan sumber pendapatan yang besar. Disamping itu, kekuatan tidak terbatas pada persenjataan dan keunggulan dalam segi kehidupan, baik industry maupun ekonomi. Semua itu membutuhkan penyediaan biaya yang besar. Tidak ada jalan untuk memperoleh pembiayaan tersebut, kecuali dengan mewajibkan pajak yang dianggap semacam jihad dengan harta agar tiap individu dapat memperkuat bangsanya dan menjaga negaranya. Dengan demikian, dirinya menjadi kuat dan agamanya terpelihara begitu pula darah dan kehormatannya.”
e.       Kerugian dan keuntungan.
Kekayaan diperoleh dari pajak dipergunakan untuk membiayai segala keperluan umum yang manfaatnya kembali kepada seluruh anggota masyarakat, seperti pertahanan, keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan, perhubungan, pengairan, dan kepentingan-kepentingan lain yang diambil manfaatnya oleh seluruh kaum muslim yang dekat atau yang jauh.
Apabila seseorang memperoleh faedah dari Negara dan pengawasannya serta menikmati fasilitas umum dibawah bimbingan pengaturan dan perlindungannya terhadap keamanan dari dalam dan luar, hal ini merupakan kewajiban dari orang itu untuk menyokongnya dengan harta yang diperlukan dalammelaksanakan tanggung jawabnya. Hal ini sebagaimana seseorang memperoleh manfaat dan keuntungan dari masyarakat dengan berbagai kegiatannya sebagai pelaksana dalam Negara. Jadi, sebagai timbale baliknya, ia wajib menyerahkan jumlah tertentu dari pajak dan kewajiban sebagai penjabaran dari prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama, yaitu kerugian dibalas dengan keuntungan (alghurmu bil ghurmi).

Source:
Al-FurqonHasbi, 125 Masalah Zakat, (Solo: TigaSerangkai, 2008)
Dan Berbagai Sumber …         
loading...