Zakat & Pajak
source: http://www.halhalal.com
|
Pertanyaan
Apakah
pajak diwajibkan disamping zakat?
Jawaban
Ya, pajak disampingkan disamping zakat. Hal ini berkaitan dengan
beberapa hal berikut.
a. Karena
jaminan solidaritas sosial merupakan satu kewajiban.
Apakah
dalam harta dan kewajibannya selain zakat. Yang menjadi perhatian khusus disini
adalah adanya jaminan solidaritas sosial dan merupakan kewajiban bagi warga
Negara untuk membayar pajak. Bahkan, jika harus mengeluarkan seluruh harta
untuk kemaslahatan umatpun, umat Islam akan rela mengeluarkannya dengan ikhlas.
Teori
solidaritas dan persaudaraan sebagai asas teori kewajiban zakat. Kedua teori
itu juga merupakan segala kewajiban atas harta sesudah zakat.
b. Sasaran
zakat terbatas, sedangkan pembiayaan Negara tidak (banyak).
Telah kita ketahui bahwa zakat adalah pajak dengan harta khusus dan
tujuan tertentu, baik tujuan sosial, akhlak, agama, maupun politik. Tujuan
pajak bukanlah semata-mata tujuan keuangan, yakni semata-mata mengumpulkan uang
untuk membiayai segala keperluan Negara, kecuali terhadap orang yang
berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup segala urusan dan
kepentingan. Pendapat tersebut tidak sejalan dengan apa yang disyaratkan oleh
ayat atau hadits, dan menyalahi pendapat jumhur. Oleh karena itu, sasaran zakat
terbatas pada delapan asnaf yang telah ditentukan Al-Qur’an dan
menghimpun dua golongan telah ditentukan dari kalangan kaum muslimin, seperti
fakir miskin, hamba sahaya, orang yang berhutang, dan orang yang dalam
perjalanan. Golongan kedua adalah mereka yang dibutuhkan oleh kaum muslimin,
seperti para pejuang dijalan Allah, para muallaf, dan aamilin, serta orang yang
berhutang untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, zakat adalah Baitul
Mal yang bersifat khusus, yaitu anggaran yang berdiri sendiri. Para ahli fiqh
tidak membolehkan mencampuradukan antara harta zakat dan kekayaan dari sumber
lain. Zakat harus digunakan pada sasaran yang telah ditentukan oleh syariat dan
menempati fungsinya yang utama dalam menegaskan solidaritas sosial. Oleh karena
itu, Abu Yusuf berkata “Tidaklah layak kiranya harta kharaj (harta yang
tidak dizakati) digabungkan dengan harta zakat karena harta kharaj
adalah harta oeruntukan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an.
Atas dasar itu pula mereka mengatakan bahwa zakat tidak boleh
dipergunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah,
pengairan, dan bendungan. Akan tetapi, semua itu diperlukan oleh Negara Islam
dan Negara manapun. Lalu, dari manakah biaya untuk itu semua zakat tidak bisa
digunakan untuk memenuhi kepentingan tersebut diatas?
Jawabannya, untuk keperluan-keperluan ini dibiayai dari 1/5 hasil ghanimah
(rampasan perang) yang diperoleh kaum muslimin dari musuh-musuh yang kalah
dalam perang atau yang diperoleh dari harta kaum musyrikin tanpa perang.
Dua sumber pendapat ini sejak masa-masa penaklukan Islam pertama
dapat mencukupi kas Negara sehingga tidak mewajibkan kewajiban-kewajiban lain
diluar zakat. Kewajiban Negara pada waktu itu masih terbatas, tetapi pada zaman
sekarang kedua sumber pendapatan ini telah tiada lagi.
Untuk dapat membiayai keperluan-keperluan umum itu tidak ada jalan
lain, kecuali mewajibkan pajak atau tugas-tugas yang ditentukan bagi mereka
yang mempunyai uang untuk sekedar memenuhi keperluan-keperluan yang wajib
dibiayai sesuai dengan kaidah. Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa sesuatu yang
menjadi syarat bagi wajib adalah wajib.
Kita lihat para ahli fiqh golongan Syafi’I menetapkan bahwa tentara
regular yang digaji dari kas umum Negara tidak boleh dibiyai dari harta zakat.
Adapun saham sabilillah ialah bagi para pejuang sukarela. Akan tetapi,
mereka juga membahas apabila dalam kas Negara tidak ada uang untuk membiayai
tentara regular, sedangkan kaum muslimin membutuhkan mereka untuk memerangi
orang kafir, dari manakah biaya untuk memenuhi kebutuhan mereka itu?
Dalam hal ini, Imam Nawawi dan imam-imam lain dari golongan mazhab
Syafi’I menarjihkan bahwa membantu mereka merupakan kewajiban bagi orang-orang
kaya dikalangan kaum muslimin dan harta diluar zakat.
c. Kaidah-kaidah
umum hukum syara’
Kaidah-kaidah itu menjadi landasan pokok untuk melaksanakan
syariat, hukum-hukumnya didasarkan atas kaidah-kaidah tersebut yang dijadikan
oleh para ulama sebagai pegangan untuk membuat undang-undang, member fatwa,
atau memutuskan perkara. Dari kaidah itu timbulah istilah memelihara
kepentingan umum, menolak bahaya didahulukan atas besar manfaatnya dari dua hal
yang sama-sama bermanfaat, dan memilih sesuatu yang bahayanya lebih kecil dari
dua keadaan yang sama-sama berbahaya.
Tidak diragukan lagi bahwa mencari hukum melalui kaidah-kaidah
syariat ini tidak hanya berfikir pada membolehkan pajak semata-mata, tetapi
untuk menetapkan kewajiban serta memungutnya demi merealisasi kepentingan umat
dan Negara serta menolak segala yang membahayakannya. Jika sumber-sumber lain
yang ada padanya tidak mencukupi dan Negara Islam modern dibiarkan tanpa pajak
untuk membiayainyam dapat dipastikan bahwa dalam waktu singkat akan hilang
kemampuannya dan lambat laun akan menjadi lemah, terlebih lagi jika timbul
ancaman militer terhadapnya. Oleh karena itu, para ulama Islam dalam berbagai
masa mengharuskan mengisi kas Negara dengan hasil pajak yang ditetapkan
kewajibannya oleh kepala Negara Islam. Hal ini sebagai upaya untuk menghadapi
berbagai bahaya yang mengancam atau untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Imam Ghazali yang bermazhab Syafi’I, termasuk ulama yang sedikit
menggunakan kaidah mashalihul mursalah (atas dasar kepentingan),
mengatakan jika kas Negara itu kosong dan tidak ada dana yang mencukupi untuk
pengeluaran biaya militer, sedangkan ditakutkan masuknya musuh kedalam Negara
Islam atau tumbuhnya pemberontakan dari pihak mereka yang bermaksud jahat,
kepala Negara dibolehkan memungut biaya
dari orang kaya sekedar untuk mencukupi pembiayaan tentara. Kita mengetahui
apabila timbul dua bahaya, hukum syara’ mengharuskan untuk menolak bahaya yang
lebih besar dengan beban yang diberikan pada orang kaya daripada bahaya
mengancam jiwa dan hartanya jika negeri itu tidak ada kepala Negara yang kuat
yang dapat memelihara segala urusan Negara dan menolak segala bahaya.
Imam Syatibi, pengikut mazhab Maliki, berkata, “Apabila kepala Negara
perlu melindungi tentara untuk menutupi kebutuhan pertahanan dan melindungi
Negara yang daerahnya luas, sedangkan kas Negara kosong, padahal dibutuhkan
biaya besar untuk pembiayaanya, kepala Negara (imam) hendaklah adil dan
membebankan kepada mereka yang kaya untuk sekedar dapat mencukupi kebutuhan
sampai kas Negara berisi kembali. Kemudian kepala Negara hendaklah membebankan
biaya itu selanjutnya kepada hasil kekayaan Negara dan lain-lain.”
Pendapat seperti itu memang tidak kita temukan pada masa-masa permulaan
Islam karena pada waktu itu keuangan Negara cukup besar. Berbeda dengan zaman
kita sekarang, jika kepala Negara tidak melakukan hal seperti itu, akan
hilanglah kekuasaanya dan Negara kita akan dihadapkan pada bahaya penguasaan
orang kafir, padahal segalanya terletak
pada kekuatan kepala Negara. Dengan demikian, bagi mereka yang menghindar dari
pajak yang dikenakan atas mereka, seandainya kekuatan itu lenyap dari Negara,
bahaya itu akan mengancam harta mereka seluruhnya. Apabila bahaya yang besar (kehilangan
seluruh harta) dibandingkan dengan bahaya yang kecil, yaitu kehilangan sebagian
hartanya, sudah tentu akan memilih yang kedua daripada yang pertama.
Jadi, pendapat Ghazali dan Syatibi yang membolehkan untuk
mewajibkan pajak atau memberikannya kepada mereka yang ada dalam situasi yang
mereka sebutkan didasarkan pada kaidah “kewajiban memikul bahaya yang kecil
untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar”.
d. Jihad
dengan harta dan tuntutannya atas biaya yang besar.
Islam telah mewajibkan kaum muslim untuk berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah:
ٱنفِرُواْ
خِفَافٗا وَثِقَالٗا وَجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (41) .
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. At-Taubah: 41).
Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu serta
berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang
yang benar.
وَأَنفِقُواْ
فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ
وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ (195) .
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”
(QS. Al-Baqarah: 195).
Tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta yang diperintahkan itu
adalah kewajiban lain diluar zakat. Dianatara hak pemerintah kaum muslimin
ialah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan
harta.
Dalam buku Ghayatul Umam, Ibnu Taimiyah menyatakan, “persenjataan
dan pembiayaan tentara dizaman kita sekarang membutuhkan sumber pendapatan yang
besar. Disamping itu, kekuatan tidak terbatas pada persenjataan dan keunggulan dalam
segi kehidupan, baik industry maupun ekonomi. Semua itu membutuhkan penyediaan
biaya yang besar. Tidak ada jalan untuk memperoleh pembiayaan tersebut, kecuali
dengan mewajibkan pajak yang dianggap semacam jihad dengan harta agar tiap
individu dapat memperkuat bangsanya dan menjaga negaranya. Dengan demikian,
dirinya menjadi kuat dan agamanya terpelihara begitu pula darah dan
kehormatannya.”
e. Kerugian
dan keuntungan.
Kekayaan diperoleh dari pajak dipergunakan untuk membiayai segala
keperluan umum yang manfaatnya kembali kepada seluruh anggota masyarakat,
seperti pertahanan, keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan,
perhubungan, pengairan, dan kepentingan-kepentingan lain yang diambil
manfaatnya oleh seluruh kaum muslim yang dekat atau yang jauh.
Apabila seseorang memperoleh faedah dari Negara dan pengawasannya
serta menikmati fasilitas umum dibawah bimbingan pengaturan dan perlindungannya
terhadap keamanan dari dalam dan luar, hal ini merupakan kewajiban dari orang
itu untuk menyokongnya dengan harta yang diperlukan dalammelaksanakan tanggung
jawabnya. Hal ini sebagaimana seseorang memperoleh manfaat dan keuntungan dari
masyarakat dengan berbagai kegiatannya sebagai pelaksana dalam Negara. Jadi,
sebagai timbale baliknya, ia wajib menyerahkan jumlah tertentu dari pajak dan
kewajiban sebagai penjabaran dari prinsip yang telah ditetapkan oleh para
ulama, yaitu kerugian dibalas dengan keuntungan (alghurmu bil ghurmi).
> Jika kita sudah membayar pajak kepada pemerintah, apakah itu sudah cukup dan tidak perlu membayar zakat? apakah seorang muslim masih diwajibkan mengeluarkan zakat jika sudah membayar pajak?
> Apakah pajak diwajibkan disamping zakat?
> Jika seseorang yang mempunyai harta banyak dan harus memenuhi kebutuhan kewajiban zakat yang sudah ditetapkan, bolehkah ia menghindar dari pajak? Apa hukum baginya?
> Apakah pajak diwajibkan disamping zakat?
> Jika seseorang yang mempunyai harta banyak dan harus memenuhi kebutuhan kewajiban zakat yang sudah ditetapkan, bolehkah ia menghindar dari pajak? Apa hukum baginya?
Source:
Al-FurqonHasbi,
125 Masalah Zakat, (Solo: TigaSerangkai, 2008)
Dan Berbagai
Sumber …